Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat, sepanjang lima tahun kebijakan Poros Maritim Dunia (PMD), banyak memberikan dampak negatif ke banyak ruang hidup dan masyarakat pesisir.
KIARA mencatat ada lebih dari 41 proyek reklamasi di seluruh pesisir Indonesia pasca kebijakan PMD ditetapkan, proyek ini dinilai memberikan dampak ke lebih dari 700 ribu keluarga nelayan.
Tak hanya itu, proyek pertambangan di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, juga terus mengalami peningkatan. Data dari KIARA di tahun 2018, ada lebih dari 1895 izin usaha pertambangan (IUP) telah terbit di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Akibatnya, lebih dari 35 ribu keluarga nelayan terdampak dan terancam ruang hidupnya.
"Peningkatan proyek reklamasi dan pertambangan pesisir, laut, serta pulau-pulau kecil adalah gambaran betapa ide PMD yang digaungkan oleh Jokowi jauh panggang dari api," ujar Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati dalam sebuah diskusi di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan pada Selasa (28/1).
Susan juga menilai, pernyataan presiden Joko Widodo di periode pertamanya tentang PMD, yang menyebut nelayan akan jadi pilar utama dalam visi Indonesia PMD hanyalah omong kosong belaka.
"Fakta di lapangan membuktikan bahwa kehidupan nelayan semakin sulit, akibat pembangunan yang tidak memprioritaskan kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya," tutur Susan.
Periode kedua Jokowi
Pada periode kedua kepemimpinan Jokowi, Susan menyebut Jokowi masih tetap mendorong laut sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, dengan memposisikannya sebagai tempat pariwisata berskala besar.
Melalui proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KPSN), Jokowi terus membangun sejumlah infrastruktur untuk menunjang pariwisata tersebut.
Sejumlah proyek pembangunan pariwisata yang didorong dalam skema KPSN, disebut Susan, telah berdampak buruk bagi masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir. Seperti di kawasan Mandalika, Nusa Tenggara Barat dan Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
"KIARA mencatat lebih dari 4 ribu jiwa terdampak proyek pariwisata di Labuan Bajo. Sementara di Mandalika, lebih dari 45 ribu nelayan kehilangan ruang tangkapnya," ucap Susan.
Susan menyebut, kebijakan PMD dan KPSN tak mampu memberikan dampak signifikan untuk mengurangi angka kemiskinan masyarakat pesisir di Indonesia. Dari data KIARA, setidaknya ada 544.748 rumah di desa pesisir yang menggunakan listrik non PLN.
Selain itu, ada 561.065 rumah di desa pesisir yang belum teraliri listrik. Dengan demikian, total rumah tangga yang belum menikmati listrik dari negara sebanyak 1.105.813 rumah tangga perikanan. Dengan demikian, sulitnya masyarakat untuk mengakses listrik, disebut Susan adalah salah satu bentuk kemiskinan yang ada di kawasan pesisir.
Selain listrik, fasilitas air minum disebut Susan juga menjadi persoalan, karena tidak sedikit kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang perairannya sudah tercemar. KIARA mencatat di 2.693 desa pesisir masih menggantungkan kebutuhan air minumnya pada air kemasan.
"Sementara untuk memenuhi kebutuhan lain, masyarakat di 1.308 desa pesisir mengandalkan air ledeng yang dikelola oleh PAM atau PDAM. Masyarakat di 590 desa menggunakan air ledeng tanpa meteran," kata Susan.
Data tersebut, dinilai Susan, menjunjukkan penggunaan air tanah di desa-desa pesisir di Indonesia semakin sedikit, dan mengindikasikan bahwa pencemaran di desa-desa pesisir yang meracuni air dan tanah pada kawasan semakin massif terjadi.
"Akibatnya, penggunaan air kemasan dan permintaan air PAM semakin tinggi. Berarti, buruknya akses terhadap air bersih dan kondisi lingkungan hidup adalah fakta kemiskinan yang ada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil," tutup Susan.