close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Djoko Tjandra (rompi merah muda), menenteng map saat tiba di Gedung Bundar, Kompleks Kejagung, DKI Jakarta, Selasa (25/8/2020). Alinea.id/Ayu Mumpuni
icon caption
Djoko Tjandra (rompi merah muda), menenteng map saat tiba di Gedung Bundar, Kompleks Kejagung, DKI Jakarta, Selasa (25/8/2020). Alinea.id/Ayu Mumpuni
Nasional
Jumat, 30 Juli 2021 13:22

Vonis Djoko Tjandra disunat, PKS: Dagelan hukum kembali terjadi

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memangkas masa hukuman Djoko Tjandra selama setahun menjadi 3 tahun 6 bulan dalam kasus red notice.
swipe

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, mengkritisi putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang memangkas hukuman Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra menjadi 3 tahun 6 bulan penjara. Langkah ini dinilai dagelan hukum dan mencederai rasa keadilan.

Pengadilan Tipikor Jakarta sebelumnya memvonis Djoko Tjandra 4 tahun 6 bulan penjara karena terbukti menyuap Irjen Napoleon dan Brigjen Prasetijo dalam kasus red notice. Dia juga terbukti menyuap Pinangki Sirna Malasari, seorang jaksa dalam upaya permohonan fatwa Mahkamah Agung (MA).

"Dagelan hukum kembali terjadi di depan publik. Pengadilan Tinggi Jakarta memangkas hukuman Djoko Tjandra dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun penjara. Mencederai keadilan masyarakat dan bukan tidak mungkin dapat menghilangkan efek jera bagi pelaku korupsi. Keprihatinan kita bersama," kata Mardani dalam keterangannya, Jumat (30/7).

Dirinya mengatakan, fenomena tersebut menimbulkan anggapan matinya gerakan antikorupsi. Selain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang mengendur, aspek implementasi semangat antikorupsi dalam hal hukuman juga kian mundur.

"Ketika itu, saya mengapresiasi penangkapan yang bersangkutan. Banyak pelajaran penting yang bisa diambil seperti rangkaian proses penanganan," ujarnya.

Menurut Mardani, kasus Djoko Tjandra merupakan masalah luar biasa (extraordinary). Karenanya, publik berharap koruptor lain yang kabur dari Indonesia, termasuk yang buron di dalam negeri, harus dikejar dan diungkap.

Sayangnya, sambungnya, cerita akhir dari kasus Djoko ini secara tidak langsung menjadi potret amburadulnya penegakan hukum di Tanah Air. "Jika kejadian seperti ini terus berulang, sistem penegakan hukum bisa rusak."

"Begitu juga dengan wibawa aparat penegak hukum. Sampai tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum yang jadi luntur. Pentingnya sensitivitas keadilan bagi masyarakat," imbuhnya.

Mardani mengingatkan, Korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Ia masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

"Sulit diterima jika para pengadil memberikan hukuman ringan kepada pelakunya, apalagi jika melibatkan penegak hukum. Tidak ada negara yang maju tapi tidak tegas dan jelas penegakan hukumnya," tandasnya.

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan