Majelis Hakim Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, telah menjatuhkan vonis bersalah kepada tujuh aktivis Papua pada Rabu, 17 Juni 2020. Mereka dinyatakan melanggar Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang Makar.
Ketujuh terdakwa kerusuhan di Papua tersebut adalah Buchtar Tabuni divonis 11 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 17 tahun), Fery Kombo divonis 10 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 10 tahun), Irwanus Uropmabin divonis 10 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 5 tahun), Agus Kossay divonis 11 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 15 tahun), Stevanus Itlay divonis 11 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 15 tahun), Alexander Gobay divonis 10 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 10 tahun), dan Hengky Hilapok divonis 10 bulan penjara (dari tuntutan jaksa 5 tahun).
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid sangat menyayangkan putusan pengadilan tersebut.
"Walaupun putusannya jauh lebih ringan dibandingkan tuntukan Jaksa Penuntut Umum, tetap saja, seharusnya tujuh tahanan nurani tersebut dari awal tidak ditangkap, dipenjara dan dituntut secara hukum. Mereka seharusnya dibebaskan dan seluruh tuduhannya dihapuskan,” kata Hamid via keterangan tertulis.
Menurutnya, memenjarakan mereka di tengah pandemi saat ini benar-benar bertentangan dengan hak asasi manusia.
“Mereka tidak melakukan tindakan kriminal apapun seperti yang dituduhkan, mereka hanya mengikuti aksi protes damai, menggunakan hak-hak mereka untuk berekspresi, berkumpul dan mengemukakan pendapatnya untuk memprotes tindakan rasisme,” jelasnya.
Dia menambahkan, iktikad baik otoritas di negara ini sangat dinantikan. "Dasar hukumnya jelas sudah ada. Pasal 14 ayat 2 UUD 1945 telah mengatur tentang amnesti dan abolisi. Di era Presiden BJ Habibie, tahanan politik atau tahanan nurani Timor-Timur dibebaskan. Presiden Jokowi sendiri bahkan membebaskan lima tahanan nurani Papua di awal periode pertama kepemimpinannya,” katanya.
Putusan ini, sambung Hamid, telah menunjukkan kegagalan negara untuk menghormati hak-hak asasi manusia.
"Juga kegagalan pemerintah dalam memenuhi janjinya untuk melindungi kebebasan berekspresi. Bagaimana bisa mereka dijatuhi hukuman, sementara yang mereka lakukan dilindungi oleh hukum negara bahkan konstitusi,” terangnya.
Pihaknya mendesak negara untuk menghentikan kriminalisasi terhadap orang Papua dengan penggunaan pasal makar.
“Sudah saatnya seluruh tahanan hati nurani Papua dan Maluku dibebaskan, apalagi di tengah wabah global Covid-19 ini. Hakim dan jaksa juga seharusnya peka pada situasi wabah sekarang ini, di mana situasi penjara sesak dan tidak sehat. Pertimbangan HAM harus menjadi fokus dari penanganan Covid-19,” pungkasnya.
Diketahui, ketujuh aktivis Papua itu ditangkap karena mengikuti aksi unjuk rasa di Jayapura, Papua, pada Agustus 2019 lalu. Proses hukum mereka kemudian berlanjut ke persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan.