Wabah flu Spanyol 1918, membunuh jutaan orang di Hindia Belanda
Suatu ketika, pada Juni 1918, penyair asal Inggris yang ikut wajib militer saat Perang Dunia I, Wilfred Edward Salter Owen menulis surat ke ibunya. Ia mengawali surat dengan laporan terkait para tentara yang tumbang karena terserang influenza.
Bukan dapat keprihatinan, isi surat Owen justru berbuah olok-olok rekan-rekannya. Mereka menganggap, apa yang ditulis Owen hanya sebuah lelucon. Bagi orang Inggris, penyakit influenza tergolong jinak dan lazim.
Di dalam buku Living with Enza: The Forgotten Story of Britain and Great Flu Pandemic of 1918 (2009), Mark Honigsbaum menulis, di benak orang-orang Inggris pada 1918, ancaman nyata bukan influenza, tetapi perang.
Namun, apa yang dikisahkan Owen—yang tewas kala menyeberangi jembatan di Sambre-Oise di utara Prancis pada 4 November 1918, sepekan sebelum gencatan senjata—menjadi nyata. Influenza itu jadi wabah mengerikan, yang dikenal dunia dengan flu Spanyol.
Muasal yang sumir
Di dalam tulisannya “The Influenza Pandemic of 1918 in Southeast Asia” yang terbit di buku Histories Health in Southeast Asia: Perspectives on the Long Twientieth Century (2014), Kirsty Walker menulis, flu Spanyol menyebar dengan kecepatan menakutkan ke penjuru Eropa, Amerika Serikat, dan Asia Tenggara pada Juni 1918.
Gina Kolata di dalam buku Flu: The Story of the Great Influenza Pandemic of the 1918 and the Search for the Virus that Caused it (2005) mengungkap, tentara Amerika di Prancis menyebut gejala flu ini dengan demam tiga hari, tubuh memanas, wajah memerah, dan kepala terasa terbelah. Setelah berkeringat, panas menghilang. Namun, mual dan muntah berlangsung hingga dua minggu.
Negara-negara Eropa yang terlibat Perang Dunia I, cenderung merahasiakan wabah ini. Akan tetapi, pers di Spanyol sangat semangat memberitakannya. Maka, dunia mengenalnya sebagai flu Spanyol. Meski begitu, bukan berarti penyebaran virus itu berasal dari Spanyol.
“Asal muasal virus ini sejatinya masih menjadi perdebatan,” kata kandidat PhD di University of Melbourne, Ravando Lie, yang mendalami sejarah kesehatan, saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (28/1).
Sejumlah sumber menulis informasi berbeda. Ravando mengatakan, seorang virologis asal Australia yang menggeluti masalah influenza, Frank Macfarlane Burnet menyebut, penyebaran virus berasal dari Camp Funston dan Haskell County di Kansas, Amerika Serikat.
Sedangkan North China Daily News, yang dikutip Pewarta Soerabaia menyebut, pandemik berasal dari Swedia dan Rusia, lalu menular ke China, Jepang, dan Asia Tenggara. Sementara epidemiologis Amerika menyebut, flu itu berasal dari buruh China dan Vietnam yang dipekerjakan militer Inggris dan Prancis saat Perang Dunia I.
Ravando mengatakan, selain “penyakit aneh”, “penyakit rahasia”, dan “pilek spanje”, istilah “russiasche influenza” juga pernah digunakan Pewarta Soerabaia.
“Meski, sejatinya epidemi flu Rusia telah berakhir sejak 1890,” ujar Ravando.
Namun, beberapa waktu setelah mewabah, Pewarta Soerabaia konsisten menggunakan istilah flu Spanyol dalam pemberitaan, mengikuti istilah yang dipakai di seluruh dunia.
Aan H. Reid, Jeffery K. Taubenberger, dan Thomas G. Fanning dalam “The 1918 Spanish Influenza: Integrating History and Biology”, terbit di jurnal Microbes and Infection (2001) menulis, berdasarkan berbagai analisa, flu Spanyol pada 1918 lebih erat disebabkan babi daripada unggas.
Ravando mengatakan, flu Spanyol merupakan penyakit menular paling mematikan dalam sejarah umat manusia, melebihi cacar, pes, dan kolera.
Flu Spanyol, yang termasuk virus influenza H1N1 ini, menurut Taubenberger JK dan Morens DM dalam “1918 Influenza: The Mother of all Pandemics” di Emerging Infectious Diseases (2006) menyebabkan 500 juta orang di seluruh dunia terinfeksi.
Jumlah korban diperkirakan 50 juta-100 juta orang atau 3%-5% populasi Bumi saat itu. Dibandingkan korban Perang Dunia I, jumlah ini jauh lebih besar. Perang yang berlangsung dari 1914-1918 ini meminta korban sekitar 18 juta orang.
Menular ke Hindia Belanda
Ravando menyebutkan, penyebaran flu Spanyol ke Hindia Belanda terjadi dalam dua gelombang. Gelombang pertama berlangsung pada Juli-September 1918.
“Di beberapa tempat, seperti di Pangkatan (kini Sumatera Utara, dahulu Sumatera Timur) misalnya, virus ini sudah menyebar pada Juni 1918,” tutur penulis buku Dr. Oen: Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil (2017) itu.
“Diduga kuat, penyakit ini ditularkan penumpang (kapal) yang baru saja tiba dari Singapura.”
Hasil investigasi polisi air terhadap beberapa kapal penumpang, seperti Meetsuycker, Singkarah, dan Van Imhoff, ditemukan banyak penumpang terserang flu ini.
“Virus ini bahkan menjangkiti seluruh penumpang dan awak kapal Toyen Maru yang saat itu baru tiba di Makassar, setelah berlayar dari Probolinggo,” ujar Ravando.
Gelombang kedua, terjadi pada Oktober-Desember 1918. Terutama di kawasan Hindia Belanda bagian timur, flu ini berlanjut hingga akhir Januari 1919.
“Laporan Dinas Kesehatan Sipil (Burgerlijken Geneeskundigen Dienst/BGD) Hindia Belanda tahun 1920 bahkan menyebutkan, seluruh desa di Hindia Belanda hampir tidak ada yang tidak terinfeksi influenza,” kata Ravando.
Infeksi flu Spanyol pun meluas. Surat kabar Tjahaja Timoer edisi 29 Juli 1918 melaporkan, ratusan penderita di Batavia, Sukabumi, Bandung, Cimahi, Yogyakarta, Magelang, Surabaya, dan beberapa kota besar di Jawa lainnya, meninggal dunia.
“Di Medan dan Deli, lonjakan penderita flu mengakibatkan rumah sakit di Ombilin Sawahloento kewalahan dan kekurangan tempat,” tulis Tjahaja Timoer.
Ravando mengatakan, hingga November 1918, jumlah korban flu Spanyol di Hindia Belanda kemungkinan sekitar 1,5 juta orang.
Meski demikian, menurut Kirsty Walker, pelaporan morbiditas dan mortalitas secara resmi di Hindia Belanda sangat tak akurat karena daftar kematian kurang lengkap, catatan hilang, dan kesalahan diagnosis.
“Cukup sulit menemukan statistik yang akurat, mengingat jumlah penduduk Hindia Belanda saat itu belum diketahui dengan pasti. Sensus penduduk pertama baru diadakan pemerintah kolonial pada 1920, sehingga besar kemungkinan ada banyak korban di daerah-daerah terpencil yang tidak tercatat,” ujar Ravando, yang menulis buku Puji Widhi Bhakti Pertiwi: 90 Tahun Rumah Sakit Panti Nirmala (Tiong Hwa Ie Sia) (2019).
Berdasarkan laporan Siddharth Chandra dalam “Mortality from the Influenza Pandemic of 1918-19 in Indonesia”, terbit di jurnal Population Studies (2013), flu Spanyol menghabisi populasi sebesar 23,71% di Keresidenan Madura, 21,13% di Keresidenan Banten, 20,62% di Keresidenan Kediri, 17,54% di Keresidenan Surabaya, dan 16,62% di Keresidenan Cirebon.
Usaha mencegah
Surat kabar berbahasa Belanda Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië edisi 22 Agustus 1919 melaporkan, flu Spanyol menyebabkan banyak orang mendaftarkan asuransi jiwa di usia muda. Dampaknya, flu Spanyol membuat perusahaan asuransi Arnhem merugi.
Kirsty Walker menulis, flu Spanyol ikut memengaruhi peningkatan kasus kekerasan, perampokan, dan pembunuhan di beberapa daerah di Hindia Belanda. Kristy pun menulis, flu Spanyol ikut mendorong kecemasan massal di Hindia Belanda.
Di sisi lain, surat kabar Algemeen Handelsblad edisi 1 Maret 1919 mengabarkan, kekeringan dan flu Spanyol menjadi penyebab gagal panen pada 1918.
Demi mencegah dampak sosial-ekonomi yang lebih jauh, pemerintah kolonial berupaya mengatasi epidemi dengan penelitian di laboratorium, mengoptimalkan propaganda kesehatan, dan menerbitkan influenza ordonnantie.
Pembesar dan dokter diminta mengeluarkan aturan keras untuk memblokade penumpang kereta api dan kapal laut untuk mencegah penularan. Surat kabar Kaoem Moeda edisi 22 Juni 1918 menulis, BGD mempertimbangkan untuk memperketat penjagaan pelabuhan, dengan tujuan menangkal meluasnya penularan flu Spanyol.
Salah satu propaganda kesehatan yang coba dilakukan pemerintah kolonial adalah menerbitkan buku pedoman, berjudul Lelara Influenza. Buku ini diterbitkan Balai Poestaka. Isinya berupa anjuran kesehatan dalam percakapan tokoh wayang, dengan bahasa dan huruf Jawa.
Prayitno Wibowo, dkk dalam buku Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda (2009) menulis, laboratorium kedokteran di Batavia pada 1919 telah menemukan obat berupa tablet untuk menyembuhkan penderita flu Spanyol.
“Komposisi tablet terdiri dari 0,250 aspirin, 0,150 pulvis doveri, dan 0,100 camphora. Dalam produksi perdananya, nyaris 100.000 butir tablet berhasil dibagikan kepada masyarakat,” tulis Prayitno, dkk.