Wacana pemindahan ibu kota dan cita-cita pemerataan ekonomi
Rencana pemindahan ibu kota negara kembali mencuat, setelah digelar rapat terbatas “Tindak lanjut Rencana Pemindahan Ibu Kota” di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4). Sebelumnya, dalam pemerintahan Joko Widodo pernah muncul wacana tersebut pada 2017.
Rencana ini memancing berbagai respons publik. Setyo A. Putro, seorang pekerja media di Jakarta mengatakan, tak masalah bila ibu kota pindah. Jakarta, kata dia, sudah terlalu padat.
“Mungkin ada baiknya ibu kota pemerintahan dipindah, tapi pusat bisnis tetap di Jakarta,” kata Setyo kepada Alinea.id, Selasa (30/4).
Hanya, kata dia, yang perlu dipertimbangkan, apakah pemindahan ibu kota memang lebih mendesak daripada isu pemerataan. Setyo mengatakan, seharusnya pemerintah mulai berpikir bagaimana caranya orang dari daerah tidak perlu ke ibu kota untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
“Semisal itu enggak dipikirin, mau dipindah ke Kalimantan sekalipun, pasti di sana bakal jadi kayak Jakarta lagi,” ujarnya.
Sedangkan seorang warga Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Muhammad Iqbal tak setuju bila ibu kota dipindah ke kotanya. “Karena harga tanah akan semakin mahal, dan akan ada kemacetan,” ujar Iqbal saat dihubungi, Selasa (30/4).
Bagaimana nasib Jakarta?
Sebenarnya, rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke tempat baru bukan cerita anyar. Pada masa Sukarno, Palangkaraya sebagai ibu kota sudah didengungkan.
Pada masa Orde Baru, timbul wacana menjadikan Jonggol, Bogor, sebagai ibu kota. Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah dibentuk tim khusus untuk mengkaji pemindahan ibu kota.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hadir dalam rapat kabinet terbatas yang membahas fase awal ide soal rencana tempat baru bagi ibu kota di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4).
Ia mengatakan, dalam rapat tersebut, Presiden Joko Widodo melihat tantangan utama Indonesia sekarang adalah adanya ketimpangan distribusi kesejahteraan dan penduduk.
“Jawa amat padat, sementara daerah-daerah lain penduduknya sedikit. Strategi besarnya itu,” kata Anies saat ditemui di Balai Kota, Jakarta, Senin (29/4).
Menurut Anies, yang akan dipindah hanya administrasi pemerintahan di kantor-kantor kementerian. Ia melanjutkan, kegiatan perekonomian, perdagangan, dan perbankan tidak mengalami akan pindah dari Jakarta.
“Jadi bukan memindahkan kegiatan perekonomiannya. Perekonomian dan lain-lain tetap di Jakarta. Pak presiden menggarisbawahi ini baru fase pembahasan. Belum sampai fase keputusan,” tutur Anies.
Anies menuturkan, alasan utama pemindahan ibu kota adalah pemerataan penduduk dan perekonomian.
Rencana pemindahan ibu kota negara kembali mencuat, setelah digelar rapat terbatas “Tindak lanjut Rencana Pemindahan Ibu Kota” di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4). Sebelumnya, dalam pemerintahan Joko Widodo pernah muncul wacana tersebut pada 2017.
Rencana ini memancing berbagai respons publik. Setyo A. Putro, seorang pekerja media di Jakarta mengatakan, tak masalah bila ibu kota pindah. Jakarta, kata dia, sudah terlalu padat.
“Mungkin ada baiknya ibu kota pemerintahan dipindah, tapi pusat bisnis tetap di Jakarta,” kata Setyo kepada Alinea.id, Selasa (30/4).
Hanya, kata dia, yang perlu dipertimbangkan, apakah pemindahan ibu kota memang lebih mendesak daripada isu pemerataan. Setyo mengatakan, seharusnya pemerintah mulai berpikir bagaimana caranya orang dari daerah tidak perlu ke ibu kota untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
“Semisal itu enggak dipikirin, mau dipindah ke Kalimantan sekalipun, pasti di sana bakal jadi kayak Jakarta lagi,” ujarnya.
Sedangkan seorang warga Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Muhammad Iqbal tak setuju bila ibu kota dipindah ke kotanya. “Karena harga tanah akan semakin mahal, dan akan ada kemacetan,” ujar Iqbal saat dihubungi, Selasa (30/4).
Bagaimana nasib Jakarta?
Sebenarnya, rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke tempat baru bukan cerita anyar. Pada masa Sukarno, Palangkaraya sebagai ibu kota sudah didengungkan.
Pada masa Orde Baru, timbul wacana menjadikan Jonggol, Bogor, sebagai ibu kota. Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah dibentuk tim khusus untuk mengkaji pemindahan ibu kota.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hadir dalam rapat kabinet terbatas yang membahas fase awal ide soal rencana tempat baru bagi ibu kota di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4).
Ia mengatakan, dalam rapat tersebut, Presiden Joko Widodo melihat tantangan utama Indonesia sekarang adalah adanya ketimpangan distribusi kesejahteraan dan penduduk.
“Jawa amat padat, sementara daerah-daerah lain penduduknya sedikit. Strategi besarnya itu,” kata Anies saat ditemui di Balai Kota, Jakarta, Senin (29/4).
Menurut Anies, yang akan dipindah hanya administrasi pemerintahan di kantor-kantor kementerian. Ia melanjutkan, kegiatan perekonomian, perdagangan, dan perbankan tidak mengalami akan pindah dari Jakarta.
“Jadi bukan memindahkan kegiatan perekonomiannya. Perekonomian dan lain-lain tetap di Jakarta. Pak presiden menggarisbawahi ini baru fase pembahasan. Belum sampai fase keputusan,” tutur Anies.
Anies menuturkan, alasan utama pemindahan ibu kota adalah pemerataan penduduk dan perekonomian.
Stimulus fiskal
Untuk anggaran, dikutip dari situs setkab.go.id, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan biaya yang dibutuhkan untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke luar Pulau Jawa sekitar Rp323 triliun hingga Rp466 triliun.
Menanggapi besarnya biaya pemindahan ibu kota ini, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menuturkan, proyek pemindahan ibu kota ini merupakan proyek panjang, yang sudah mempertimbangkan segala pengeluaran APBN.
Sementara itu, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, sumber pembiayaan bisa berasal dari empat sumber.
“Dari APBN khususnya untuk initial infrastructure dan juga fasilitas kantor pemerintahan dan parlemen, kemudian dari BUMN (Badan Usaha Milik Negara) untuk infrastruktur utama dan fasilitas sosial. Kemudian KPBU (Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha) untuk beberapa unsur utama dan juga fasilitas sosial, dan swasta murni khususnya yang terkait dengan properti perumahan dan fasilitas komersial,” kata Bambang dalam rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, seperti dikutip dari situs setkab.go.id, Senin (29/4).
Piter menuturkan, jangan hanya memandang soal pengeluaran, tetapi dilihat stimulus fiskal. Sebab, ada aliran dana dan ekspansi fiskal yang akan menstimulus perekonomian untuk tumbuh.
“Justru pemerintah kita harapkan membuat proyek seperti ini,” ucap Piter saat dihubungi, Selasa (30/4).
Piter sepakat, pemisahan pusat bisnis dan pemerintahan harus dilakukan. Maka, kata dia, pemindahan ibu kota akan jauh lebih efektif, karena bisa membuat titik pusat perekonomian baru.
“Sehingga fokus dari kegiatan itu tidak hanya di satu wilayah. Dengan pemindahan ini, diharapkan nanti akan muncul pusat pertumbuhan ekonomi baru,” kata dia.
Untuk itu, Piter menyarankan, memilih tempat yang tepat bagi ibu kota baru. Piter setuju bila ibu kota baru pindah ke Kalimantan, karena pertimbangan aman secara geografis. Terutama aman bencana gempa bumi.
“Memang kebetulan daerah Kalimantan memang belum tumbuh,” ujarnya.
Piter menuturkan, keberadaan Jakarta tak akan berkurang, justru semakin lebih baik. Kota ini akan fokus bisnis utama.
“Jauh lebih baik nanti. Akan lebih merata. Saya kira ini kita sambut baik, kita support dan tidak lagi sekadar wacana,” tutur Piter.
Kota satelit
Sementara itu, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna mengatakan, membangun sebuah kota baru tak bisa dalam waktu yang pendek. Pembangunan untuk menjadi kota yang tumbuh kembang, kata dia, bisa sampai 20 hingga 30 tahun.
“Kalau 5 tahun pertama hanya pada pembangunan fisiknya. Pembangunan jaringan jalan, perkantoran, pusat-pusat kegiatan. Tapi belum punya kemampuan langsung berfungsi sebagai pusat pemerintahan,” ujar Yayat saat dihubungi, Selasa (30/4).
Yayat mengatakan, skenario yang perlu dilakukan, ibu kota baru itu harus terintegrasi dengan kota utama. Menurutnya, hal ini penting dalam konteks dukungan utilitas, fasilitas, dan penyediaan pendukung kehidupan kota.
“Ibaratnya kayak kota satelitnya dari kota utama. Dalam satu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi pemerintahan,” ujar Yayat.
Dengan begitu, kata Yayat, ketika fungsi pemerintahan di ibu kota baru, maka kesiapan fasilitas penghuni kota bisa disiapkan kota utama. “Tidak dalam arti membangun kota yang mulai dari nol,” katanya.
Yayat melanjutkan, bila ingin membangun kota baru, syarat yang paling penting, harus ada ketersediaan lahan. Lahan bisa tersedia dari tanah negara, konversi hutan, kawasan perkebunan, atau bekas pertambangan.
Yayat sepakat Jakarta hanya menjadi pusat bisnis. Sebab, menurutnya, selama ini Jakarta punya dua beban, yakni beban sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis.
“Biarkan Jakarta kayak New York-nya di Amerika, tumbuh secara mandiri,” ujar Yayat.
Yayat melanjutkan, dengan fungsi pelayanan pemerintahan, ia berharap ibu kota baru tak sepadat seperti Jakarta. “Kalau misalnya kita main ke Putrajaya (Malaysia), main ke Canbera (Australia) itu, kotanya sepi-sepi saja. Yang kita lihat perkantoran semua,” tutur Yayat.
Di sisi lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke luar Pulau Jawa merujuk pada Amerika Serikat yang memindahkan ibu kota pemerintahannya dari New York ke Washington DC.
“Ada Washington yang jadi ibu kota lebih kecil, ada New York yang menjadi kota dagang dan kota bisnis, serta kegiatan lainnya masyarakat,” kata Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Selasa (30/4).
Beberapa negara di dunia sudah melakukan pemindahan ibu kota. Misalnya, pada 1927 Australia memindahkan ibu kotanya dari Melbourne ke Canberra. Ibu kota Brasil dahulu Rio de Janeiro. Lantas, pada 1960 mereka memindahkan pusat pemerintahan ke Brasilia. Negara tetangga kita, Myanmar pun memindahkan ibu kota dari Yangoon ke Naypyidaw pada 2005.