close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pembangunan infrastruktur/Antara.
icon caption
Ilustrasi pembangunan infrastruktur/Antara.
Nasional
Jumat, 16 April 2021 21:30

Ekonom: Wacana pemindahan ibu kota elitis, kurang partisipatif

Ada gap antara publik dan negara dalam wacana pemindahan ibu kota negara.
swipe

Pendiri Narasi Institute sekaligus ekonom Senior, Fadhil Hasan, meminta pemerintah menunda rencana pemindahan ibu kota negara (IKN) yang ditarget 2024. Rendahnya sosialisai menjadi alasan utama penundaan pemindahan IKN ke Kalimantan Timur.

"Apalagi pemindahan ibu kota merupakan keputusan penting dan strategis, dan sudah seharusnya menjadi wacana publik yang luas dari semua pemangku kepentingan bangsa. Dan, justru itulah yang tidak terjadi. Wacana pemindahan ibu kota hanya terjadi di kalangan elite dan lebih bersifat teknokratis, kurang partisipatif dan akuntabel," ujarnya dalam Diskusi Narasi Insitute, Jumat (16/4/21).

Menurut Fadhil, terjadi gap antara publik dan negara dalam wacana pemindahan ibu kota ini. Sementara DPR RI belum menerima draf RUU IKN. "Peletakan batu pertama pembangunan ibu kota (Ramadan) ini dilakukan tanpa ada payung hukumnya. Bagaimana jika DPR tidak menyetujui pemindahan ibu kota tersebut (walau hal ini kecil kemungkinannya). Apakah pemerintah berniat melakukan fait accompli DPR?," tambahnya.

Fadhil menegaskan, kebijakan pemindahan IKN  hal lumrah, banyak negara melakukan itu. Setidaknya dalam kurun waktu 100 tahun terakhir terdapat 30 negara yang memindahkan ibu kota negaranya. Banyak yang sukses, namun tak sedikit juga yang gagal.

Ia menambahkan, hasil kajian serius terkait faktor-faktor penyebab gagalnya pemindahan IKN di negara lain harus menjadi pertimbangan pemerintah. Fadhil menegaskan bahwa argumen membeludaknya penduduk Jakarta sebagai Ibu kota sebenarnya tidak cukup kuat pemindahan ibu kota.

“Pertama, alasan overcapacity Jakarta terkesan pemerintah ingin menghindari upaya mengatasi persoalan yang dihadapi Jakarta, dan jika pindah pun belum tentu persoalan Jakarta akan terselesaikan," terangnya.

Kedua, jelas Fadhil, jika alasannya adalah pemerataan pembangunan, sebenarnya sejak tahun 2001 pemerintah memiliki kebijakan dan instrumen seperti otonomi dan desentralisasi fiskal, melalui dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.

"Yang bertujuan untuk akselerasi pemerataan pembangunan Jawa dan luar Jawa. Lebih lanjut, Indonesia sentris sebagai orientasi pembangunan bukan hanya retorik yang hanya sederhana diterjemahkan hanya dengan secara fisik memindahkan ibu kota. Indonesia sentris seharusnya merupakan mindset dari pembuat kebijakan yang mengorientasikan keseluruhan kebijakan dan program pembangunan untuk mewujudkan keadilan sosial," sambungnya.

Senada disampaikan pakar kebijakan publik Narasi Insitute, Achmad Nur Hidayat MPP, bahwa tidak ada argumen kuat dan mendesak untuk memindahkan ibu kota negara. Justru yang lebih mendesak dan prioritas, lanjutnya, adalah pemulihan ekonomi, penanganan kesehatan, pengembangan SDM, transformasi ekonomi, pemerataan pembangunan infrastruktur yang produktif, dan pengembangan daya saing produk nasional.

"Jika dan ketika kita memiliki pertumbuhan yang lebih baik, penanganan pandemi Covid-19 telah terkelola dengan baik, pembangunan infrastruktur yang lebih merata, dan kualitas sumberdaya yang lebih baik, pemindahan ibu kota dapat dipertimbangkan," katanya.

img
Nafis Arsaputra
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan