Menimbang pos baru bagi ratusan perwira tinggi menganggur
Pada 16 Mei 2019 dalam acara buka puasa bersama dengan anggota TNI dan Polri di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Presiden Joko Widodo mengatakan, akan segera meneken payung hukum untuk penambahan jabatan perwira tinggi (pati) TNI. Jumlah pati TNI itu, kata Jokowi, sekitar 100 orang.
Menurut Jokowi, penambahan jabatan tersebut dilatarbelakangi tugas TNI yang akan semakin berat di masa depan. Setidaknya ada 150 jenderal tentara yang tak punya jabatan alias non-job.
Salah satu pemicu menumpuknya pati TNI ini karena kebijakan perubahan usia pensiun pati, dari usia 55 tahun menjadi 58 tahun. Sayangnya, jumlah perwira yang berlebih itu tidak diimbangi dengan jabatan di posisi pati. Kondisi ini membuat banyak jenderal yang menganggur.
Awal tahun ini, Jokowi pun pernah berjanji akan segera ada restrukturisasi berupa penambahan 60 pos jabatan baru.
Penyebab
Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri membeberkan, ada kultur yang merusak sistem perekrutan di dalam tubuh TNI.
Kiki memberikan contoh. Menurutnya, di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Seskoal) sering terjadi apa yang disebutnya dengan istilah “masuk angin”—sebuah istilah yang merujuk kerap terjadinya calon perwira yang seharusnya belum layak naik jabatan, tetapi menempuh jalur kilat karena “titipan” politisi.
Walhasil, hal ini ikut membuat penumpukan yang terjadi di dalam struktur TNI, terutama perwira tinggi dan menengah.
"Kan sebelumnya kita sudah tahu berapa Letkol yang dibutuhkan, jadi berapa yang mesti ikut Sesko. Tapi, kemudian porsinya menjadi berlebih," kata Kiki kepada reporter Alinea.id di Jakarta, Selasa (28/5).
Kiki mengatakan, seharusnya politisi tak bisa masuk ke dalam ruang teknis militer. Sebaliknya, militer pun harus disterilkan dalam kegiatan politik praktis.
Sementara itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati ketika dihubungi pada Senin (27/5) mengatakan, membengkaknya jumlah pati TNI merupakan akumulasi persoalan penataan dalam tubuh institusi yang belum dikelola dengan baik.
Dihubungi terpisah, Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri melihat, sistem promosi karier bagi pati TNI menjadi salah satu penyebab membengkaknya jumlah jenderal nonjob. Sistem promosi, sebut Ghufron, perlu diperketat supaya bisa menekan jumlah pati, tanpa menghambat hak-hak anggota TNI untuk meraih jabatan.
Ghufron khawatir, solusi yang diambil pemerintah menambah 100 pos baru itu sekadar pendekatan jangka pendek. Menurut dia, selama masalah utama rekrutmen dan sistem promosi pati tak diperhatikan, masalah yang sama akan muncul kembali.
"Perbaikan harus menyeluruh. Tanpa menyelesaikan masalah lain, maka surplus jenderal akan terjadi. Perlu visi besar untuk menyelesaikan," ujar dia ketika dihubungi, Senin (27/2).
Dibutuhkan perhitungan
Ghufron Mabruri mengapresiasi langkah Jokowi yang bakal mengatasi masalah surplus jenderal dengan membuka pos-pos jabatan baru. Akan tetapi, Ghufron mengingatkan, agar keinginan Jokowi itu jangan sampai menabrak aturan lainnya, tertutama terkait jabatan TNI di wilayah sipil.
Ghufron menyebutkan, di dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, ada pembatasan ketat jabatan apa saja yang boleh dijabat perwira TNI aktif.
“Selama tidak melanggar ketentuan itu, langkah presiden perlu didukung,” tutur Ghufron.
Di samping itu, Ghufron menyarankan, penempatan pos baru perlu dilakukan kajian komprehensif. Tujuan kajian tersebut agar penyelesaian soal surplus jenderal tak jadi pemecahan masalah yang hanya tambal dan sulam.
Perihal pos-pos jabatan anyar yang dilontarkan Jokowi, Kiki Syahnakri mengatakan, presiden harus punya perhitungan. Termasuk risiko yang akan menjadi beban nantinya. Sebab, menurut mantan Panglima Penguasa Darurat Militer Timor-Timor pada 1999 ini, akan terjadi struktur TNI yang terlalu gemuk.
"Pos baru itu apa saja? Apakah membesar organisasi? Organisasi yang baik itu piramida bentuknya, kalau ada penambahan di tingkat kolonel di posisi tengah, maka bentuknya menjadi tidak ideal karena besar di bagian tengah. Enggak sehat dong," ujar Kiki.
Di sisi lain, Kepala Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas) Universitas Bhayangkara Jakarta Hermawan Sulistyo mengatakan, sesungguhnya untuk jangka pendek, rencana Jokowi itu bisa saja dipakai guna mengakomodir jenderal nganggur di institusi TNI.
“Minimal solusi sebagian lah. Karena problemnya banyak sekali itu,” kata Hermawan, yang juga peneliti LIPI itu, saat dihubungi, Senin (27/5).
Wasisto Raharjo Jati memberi saran, seharusnya penambahan pos jabatan baru disesuaikan dengan kebutuhan TNI, atau dilakukan pensiun dini untuk mengatasi kelebihan jumlah pati. Senada dengan Kiki, Wasisto pun mengatakan, penambahan pos baru berpotensi membuat institusi TNI menjadi gemuk.
"Kecenderungan pati yang lebih menyukai jabatan di mabes (markas besar) menjadikan postur TNI gemuk," kata Wasisto.
Visi pertahanan
Di sisi lain, Ghufron Mabruri pun menyarankan pemerintah untuk memikirkan visi kebangsaan, tantangan keamanan, dan pertahanan Indonesia. Ia menjelaskan, Indonesia perlu memperkuat sistem pertahanan melalui Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Sebab, hakikatnya Indonesia adalah negara kepulauan. Pertahanan yang paling krusial, katanya, ialah udara dan laut.
“Sisi itu perlu mendapat perhatian serius pemerintah jika pembukaan pos baru dimaksudkan untuk memperkuat pertahanan Indonesia. Jadi, penguatan di AL (Angkatan Laut) dan AU (Angkatan Udara) perlu, tanpa menegasikan di AD (Angkatan Darat) karena itu esensi pertahanan kita ke depan," kata Ghufron.
Sementara itu, Kepala bidang Penerangan Umum Pusat Penerangan (Kabidpenum Puspen) TNI, Kolonel Sus Taibur Rahman saat diminta konfirmasi tentang pos-pos baru yang direncanakan Presiden Jokowi, mengatakan pihaknya belum menerima informasi lebih lanjut soal gambaran pos-pos baru yang akan dibentuk dalam institusi TNI.
"Kita kan tidak pegang data itu karena data tersebut di Kemenhan (Kementerian Pertahanan). Kita belum dapat informasi mengenai itu. Kalau kita pegang, pasti akan kami sampaikan ke rekan media," kata Taibur saat dihubungi, Rabu (29/5).
Taibur mengaku, pihaknya juga tengah mendata jumlah perwira tinggi dan menengah yang tak punya posisi struktural. Sedangkan pihak Kementerian Pertahanan, meski sudah dihubungi reporter Alinea.id, tak ada yang bisa dikonfirmasi terkait masalah pos-pos baru ini.