close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Surat izin ormas FPI akan habis pada 20 Juni 2019. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Surat izin ormas FPI akan habis pada 20 Juni 2019. Alinea.id/Oky Diaz.
Nasional
Kamis, 16 Mei 2019 20:50

Wajah lain FPI dan jejak perizinan di Kemendagri

Di Kemendagri, FPI ditandai dengan nomor SKT 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014. Masa berlaku SKT FPI dari 20 Juni 2014 hingga 20 Juni 2019.
swipe

Kantor Sekretariat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Petamburan III, Tanah Abang, Jakarta Pusat sedang direnovasi. Penghuninya untuk sementara pindah bertugas ke Kantor Mujahidah Pembela Islam (MPI)—barisan Muslimat FPI yang aktivitasnya fokus masalah sosial kemasyarakatan—tak jauh dari Kantor DPP FPI.

Di sana, reporter Alinea.id menemui seorang pria setengah baya, mengenakan sarung bermotif kotak-kotak putih dan kaus oblong. Ia baru saja menunaikan salat zuhur dan merapikan ruangan.

"Sebenarnya saya malas terima media. Jadi, beruntung Anda bisa wawancara dengan saya. Biasanya, saya tidak menolak kedatangan media. Tetapi enggan berbicara, dan mendingan saya ajak makan, minum, atau merokok," kata Ustaz Saroji kepada reporter Alinea.id, Kamis (16/5).

Saroji merupakan Kepala Sekretariat DPP FPI. Bukan apa-apa, ia berkisah, wartawan yang datang bukan menulis berita, tetapi malah “membuat” berita. Tak jarang beritanya malah menyimpang dari keterangan sesungguhnya.

“Kalau ceritanya seperti itu, ngapain Anda wawancara? Bikin aja berita FPI semau Anda. Anda bikin jelek silakan. Bagus silakan," ujar Saroji.

Tak ada wajah garang FPI, seperti yang terlihat di banyak media. Saroji menerima dengan ramah dan terbuka.

Kantor Laskar Pembela Islam di Petamburan, Jakarta Pusat. Alinea.id/Manda Firmansyah.

Amar ma’ruf nahi munkar

FPI dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 di Pondok Pesantren Al-Umm, Kampung Utan, Ciputat, Jakarta Selatan. Khamami Zada di dalam bukunya Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia (2002) menulis, agenda utama perjuangan FPI menuntut pengembalian Piagam Jakarta, memberantas tempat-tempat maksiat, membela umat Islam saat terjadi konflik beragama dan solidaritas dunia Islam.

Saroji mengungkapkan, FPI juga bergerak di bidang sosial kemasyarakatan. FPI merupakan induk organisasi yang memiliki sayap organisasi bernama Hilal Merah Indonesia (Hilmi). Organisasi ini tangkas turun membantu korban bencana alam maupun kemanusiaan.

“Jadi, kalau ada bencana di manapun, Hilmi itu pasti ada. Dari Sabang sampai Merauke, kalau terjadi bencana, Hilmi pasti turun ke lapangan,” kata Saroji.

Saroji memberikan contoh. Ketika gempa bumi dan tsunami besar melanda Selat Sunda pada Desember 2018, FPI terjun ke lapangan mengatasnamakan sayap organisasinya, Hilmi.

“Bencana dan kemanusiaan terdapat pada amar ma’ruf, sedangkan ketika kita bicara mengawal hukum yang ada konstitusi, dan menyoroti kemaksiatan, kemungkaran, dan kezaliman, maka letaknya pada nahi munkar,” ujarnya.

Saroji mengatakan, amar ma’ruf dan nahi mungkar harus berjalan seimbang. Menurutnya, amar ma’ruf itu caranya lembut, sedangkan nahi munkar caranya tegas.

Sejumlah aktivis ormas Front Pembela Islam (FPI) membentang poster dan spanduk saat menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Komisi Independen Pemilihan (KIP) Lhokseumawe, Aceh, (25/4). /Antara Foto.

“Kita mengurusi kemanusiaan dengan tegas dan lembut. Ketegasan itu memang perlu, bukannya ketegasan itu dilarang. Ketegasan itu harus disesuaikan dengan tempat dan waktunya. Tidak serta merta orang alergi dengan kata-kata keras dan tegas,” kata Saroji.

Sebab, kata Saroji, tegas dan lembut merupakan bagian dari sikap alami manusia yang perlu dihargai. Begitu pula dengan perasaan marah, bahagia, dan tertawa yang memang manusiawi. Ia pun mengatakan, sikap tegas dan lembut FPI tergantung dengan konteksnya.

“Seperti apabila sedang berzikir, istigasah, dan taklim, FPI akan bersikap lembut,” tutur Saroji.

Saroji berkisah pula hubungan batin antara FPI dan Palestina. Kata Saroji, masyarakat Palestina pun sudah sangat familier dengan FPI. Sebab, FPI ikut mendirikan rumah sakit di Gaza.

Awalnya, rumah sakit itu dinamakan Rumah Sakit Islam Indonesia. Kemudian, berganti menjadi Rumah Sakit Umat Islam Indonesia. Di rumah sakit itu, kata Saroji, terdapat ruangan khusus Front Pembela Islam.

“Nggak tahu kan? Karena media itu enggak mau tahu tentang FPI. Media mau tahunya kalau FPI sudah berjibaku, mau tahunya seperti itu. Bahkan, diberitakan sebulan penuh,” ujar Saroji.

Dibandingkan organisasi masyarakat berbasis agama, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, Saroji mengakui FPI tergolong baru. Bila NU berciri pesantren dan Muhammadiyah berciri pendidikan modern, maka FPI berfokus pada kegiatan amar ma’ruf nahi munkar.

“FPI nyaris sama dengan Nahdlatul Ulama,” ucapnya.

Kantor Sekretariat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Petamburan III, Tanah Abang, Jakarta Pusat sedang direnovasi. Penghuninya untuk sementara pindah bertugas ke Kantor Mujahidah Pembela Islam (MPI)—barisan Muslimat FPI yang aktivitasnya fokus masalah sosial kemasyarakatan—tak jauh dari Kantor DPP FPI.

Di sana, reporter Alinea.id menemui seorang pria setengah baya, mengenakan sarung bermotif kotak-kotak putih dan kaus oblong. Ia baru saja menunaikan salat zuhur dan merapikan ruangan.

"Sebenarnya saya malas terima media. Jadi, beruntung Anda bisa wawancara dengan saya. Biasanya, saya tidak menolak kedatangan media. Tetapi enggan berbicara, dan mendingan saya ajak makan, minum, atau merokok," kata Ustaz Saroji kepada reporter Alinea.id, Kamis (16/5).

Saroji merupakan Kepala Sekretariat DPP FPI. Bukan apa-apa, ia berkisah, wartawan yang datang bukan menulis berita, tetapi malah “membuat” berita. Tak jarang beritanya malah menyimpang dari keterangan sesungguhnya.

“Kalau ceritanya seperti itu, ngapain Anda wawancara? Bikin aja berita FPI semau Anda. Anda bikin jelek silakan. Bagus silakan," ujar Saroji.

Tak ada wajah garang FPI, seperti yang terlihat di banyak media. Saroji menerima dengan ramah dan terbuka.

Kantor Laskar Pembela Islam di Petamburan, Jakarta Pusat. Alinea.id/Manda Firmansyah.

Amar ma’ruf nahi munkar

FPI dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 di Pondok Pesantren Al-Umm, Kampung Utan, Ciputat, Jakarta Selatan. Khamami Zada di dalam bukunya Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia (2002) menulis, agenda utama perjuangan FPI menuntut pengembalian Piagam Jakarta, memberantas tempat-tempat maksiat, membela umat Islam saat terjadi konflik beragama dan solidaritas dunia Islam.

Saroji mengungkapkan, FPI juga bergerak di bidang sosial kemasyarakatan. FPI merupakan induk organisasi yang memiliki sayap organisasi bernama Hilal Merah Indonesia (Hilmi). Organisasi ini tangkas turun membantu korban bencana alam maupun kemanusiaan.

“Jadi, kalau ada bencana di manapun, Hilmi itu pasti ada. Dari Sabang sampai Merauke, kalau terjadi bencana, Hilmi pasti turun ke lapangan,” kata Saroji.

Saroji memberikan contoh. Ketika gempa bumi dan tsunami besar melanda Selat Sunda pada Desember 2018, FPI terjun ke lapangan mengatasnamakan sayap organisasinya, Hilmi.

“Bencana dan kemanusiaan terdapat pada amar ma’ruf, sedangkan ketika kita bicara mengawal hukum yang ada konstitusi, dan menyoroti kemaksiatan, kemungkaran, dan kezaliman, maka letaknya pada nahi munkar,” ujarnya.

Saroji mengatakan, amar ma’ruf dan nahi mungkar harus berjalan seimbang. Menurutnya, amar ma’ruf itu caranya lembut, sedangkan nahi munkar caranya tegas.

Sejumlah aktivis ormas Front Pembela Islam (FPI) membentang poster dan spanduk saat menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Komisi Independen Pemilihan (KIP) Lhokseumawe, Aceh, (25/4). /Antara Foto.

“Kita mengurusi kemanusiaan dengan tegas dan lembut. Ketegasan itu memang perlu, bukannya ketegasan itu dilarang. Ketegasan itu harus disesuaikan dengan tempat dan waktunya. Tidak serta merta orang alergi dengan kata-kata keras dan tegas,” kata Saroji.

Sebab, kata Saroji, tegas dan lembut merupakan bagian dari sikap alami manusia yang perlu dihargai. Begitu pula dengan perasaan marah, bahagia, dan tertawa yang memang manusiawi. Ia pun mengatakan, sikap tegas dan lembut FPI tergantung dengan konteksnya.

“Seperti apabila sedang berzikir, istigasah, dan taklim, FPI akan bersikap lembut,” tutur Saroji.

Saroji berkisah pula hubungan batin antara FPI dan Palestina. Kata Saroji, masyarakat Palestina pun sudah sangat familier dengan FPI. Sebab, FPI ikut mendirikan rumah sakit di Gaza.

Awalnya, rumah sakit itu dinamakan Rumah Sakit Islam Indonesia. Kemudian, berganti menjadi Rumah Sakit Umat Islam Indonesia. Di rumah sakit itu, kata Saroji, terdapat ruangan khusus Front Pembela Islam.

“Nggak tahu kan? Karena media itu enggak mau tahu tentang FPI. Media mau tahunya kalau FPI sudah berjibaku, mau tahunya seperti itu. Bahkan, diberitakan sebulan penuh,” ujar Saroji.

Dibandingkan organisasi masyarakat berbasis agama, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, Saroji mengakui FPI tergolong baru. Bila NU berciri pesantren dan Muhammadiyah berciri pendidikan modern, maka FPI berfokus pada kegiatan amar ma’ruf nahi munkar.

“FPI nyaris sama dengan Nahdlatul Ulama,” ucapnya.

Izin ormas

Saroji menuturkan, meski FPI tak ditemani secara langsung oleh imam besar mereka, Habib Muhammad Rizieq bin Hussein Shihab, kegiatan keorganisasian tetap berjalan.

Namun, kini ada masalah menyoal perizinan FPI sebagai organisasi masyarakat di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Beberapa orang menyarankan izin tak diberikan lagi untuk organisasi ini. Semisal petisi “Stop Ijin FPI” yang terpampang di Change.org sejak 6 Mei 2019, dibuat oleh Ira Bisyir.

Sang pembuat petisi, Ira Bisyir, mengingatkan izin organisasi ini akan berakhir dan mengajak warganet menandatangani petisi untuk menuntut Kemendagri mencabut izinnya. Hingga kini, petisi tersebut nyaris ditandatangani 500.000 warganet.

Sehari kemudian, muncul petisi tandingan bertajuk “Dukung FPI Terus Eksis”. Petisi yang dibuat Imam Kamaluddin ini sudah ditandatangani nyaris 200.000 warganet.

Ketua Umum FPI Ahmad Sobri Lubis tak memusingkan ada pihak yang ingin FPI bubar. Ia mengaku, sudah biasa mendengar hal itu.

“Sudah ketahuan lah siapa yang membenci FPI, seperti pelaku maksiat, LGBT, dan aliran sesat. Semua orang baik tenang, Muslim maupun non-Mulism. Semuanya nyaman dengan FPI. FPI berupaya berbuat baik, tetapi kami tidak menerima kemungkaran,” kata Ahmad saat ditemui di Hotel Sofyan, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (13/5).

Beberapa spanduk Imam Besar FPI Habib Muhammad Rizieq bin Hussein Shihab di sekitar Petamburan, Jakarta Pusat. Alinea.id/Manda Firmansyah.

Di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Pengelolaan Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakatan disebutkan, organisasi masyarakat yang tak berbadan hukum perlu mengurus perpanjangan surat keterangan terdaftar. Dari situs resmi Kementerian Dalam Negeri diperoleh informasi, FPI ditandai dengan nomor surat keterangan terdaftar (SKT) 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014. Masa berlaku SKT FPI dari 20 Juni 2014 hingga 20 Juni 2019.

“Kita akan perpanjang. Semua berkas sudah disiapkan. Syarat-syaratnya sudah kita miliki,” ujar Ahmad.

Sementara itu, Saroji meluruskan bahwa FPI tak mengenal istilah izin dalam pembentukannya. “Yang ada hanya terdaftar. Makanya, ada surat semacam surat keterangan terdaftar (SRT). Bukan surat izin,” kata Saroji.

Menurutnya, tak perlu izin karena berorganisasi dan berkumpul di Indonesia sudah dilindungi undang-undang. Apalagi, kata Saroji, FPI sudah masuk usia hampir 21 tahun.

“Organisasi kami bukan organisasi abal-abal, organisasi kami resmi, terdaftar di Kemendagri. Hanya saja, orang-orang yang tidak menyukai FPI menggoreng isu tersebut. Menggiring opini masyarakat bahwa FPI tidak disukai masyarakat sehingga harus dibubarkan,” ucap Saroji.

Meski begitu, Saroji maklum ada orang-orang yang tak menyukai FPI. Ia pun tak pernah memaksa agar orang untuk menyukai FPI.

Dihubungi terpisah, dosen Sosiologi Universitas Indonesia (UI) Nadia Yovani menyarankan Kemendagri meninjau ulang tujuan FPI dalam berkas-berkas yang diajukannya.

“Apakah tujuan FPI sudah tercapai atau tidak,” kata Nadia saat dihubungi, Kamis (16/5).

Menurut Nadia, bila sudah terdaftar, semestinya FPI memang sudah memenuhi indikator kelayakan sebagai organisasi masyarakat. Ia pun menyarankan, Kemendagri mempublikasikan laporan kelayakan organisasi masyarakat yang sudah terdaftar agar tak terjadi kesalahpahaman.

“Ketika sekarang terjadi perdebatan tentang diperpanjang atau dicabutnya (izin FPI) di tengah masyarakat, maka menunjukkan keberadaan FPI dinilai pro-kontra. Karena organisasi masyarakat lain tidak terlalu tajam pro-kontranya, seperti NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, dan lain-lain,” kata Nadia.

Berdasarkan penelusuran, selama ini belum ada kasus organisasi masyarakat yang ditolak perpanjangan izinnya. Akan tetapi, Kemendagri pernah menolak pengajuan izin ormas Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Berkali-kali Gafatar mengajukan izin, tetapi Kemendagri tak memberikan izin dengan alasan mereka radikal.

Selain itu, Kemendagri juga sudah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Alasannya, ormas ini bertentangan dengan ideologi Pancasila.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan