Wajah timpang vaksinasi Covid-19
Berdasarkan data dari situs web Satgas Penanganan Covid-19, yaitu covid19.go.id, Provinsi Lampung menjadi salah satu wilayah di luar Jawa dan Bali yang memiliki tingkat penyebaran Covid-19 cukup tinggi. Jumlah kasus Covid-19 di Lampung mencapai 37.136 atau 1,1% penyumbang kasus Covid-19 secara nasional.
Dari 15 kabupaten/kota yang ada di Lampung, sejak Selasa (3/8) 13 di antaranya berstatus zona merah alias wilayah berisiko tinggi penularan Covid-19. Tingkat kematian akibat Covid-19 di Lampung juga tergolong tinggi.
Data Satgas Penanganan Covid-19 menyebut, Lampung menjadi provinsi di luar Jawa-Bali nomor dua paling tinggi angka kematian akibat Covid-19, setelah Riau. Bila Riau per 4 Agustus 2021 melaporkan kematian akibat Covid-19 sebanyak 2.755 orang, maka di Lampung ada 2.332 orang yang wafat karena Covid-19.
Parahnya lagi, Lampung juga tercatat sebagai daerah dengan tingkat vaksinasi Covid-19 terendah di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), per 5 Agustus 2021 Lampung terendah menerima dosis pertama vaksin Covid-19, hanya 9,33%.
Persentase itu ada di bawah Papua (14,8%) dan Maluku Utara (11,71%). Untuk penerima dosis kedua, Lampung ada di urutan nomor tiga dari yang paling buncit, yakni 5,9%, di atas Sumatera Barat (5,53%) dan Nusa Tenggara Barat (5,7%).
Stok terbatas
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kadis Kominfo) Provinsi lampung, Ganjar Jationo mengaku, pihaknya agak kelimpungan mengatasi pandemi. Keterbatasan stok vaksin, menurutnya, membuat laju penularan kian sulit terkendali.
“Kalau ada (vaksin) semakin banyak yang bisa diselamatkan,” kata Ganjar saat dihubungi Alinea.id, Senin (2/7).
Ganjar mengatakan, Pemprov Lampung sejauh ini baru menerima 1,2 juta dosis vaksin. Sementara, ada sekitar 6,6 juta warga Lampung yang perlu divaksinasi.
“Bila setiap orang perlu dua dosis, maka 6,6 juta dikalikan dua ya 13,2 juta dosis,” ujarnya.
Ketersediaan stok vaksin itu sangat bergantung dari pasokan pemerintah pusat. Hal itu membuat program vaksinasi di Lampung tak bisa optimal. Padahal, kata dia, animo masyarakat di Lampung sangat tinggi untuk melakukan vaksinasi.
“Daerah selalu diukur vaksinasinya rendah. Padahal, pasokannya bergantung pemerintah pusat,” ucap Ganjar.
Ganjar memohon kepada pemerintah pusat untuk tak fokus pada pemenuhan vaksin Covid-19 di Jawa dan Bali. Sebab, banyak daerah lain di luar Jawa-Bali yang tengah kritis, namun kurang didukung pasokan vaksin.
“Kami berharap, pusat memberikan stok vaksin yang relatif lebih cepat dan jumlahnya lebih banyak,” kata Ganjar.
“Supaya kami bisa menahan laju virus di kelompok rentan, seperti lansia.”
Sejauh ini, Ganjar menyebut, Pemprov Lampung hanya bisa menyiasati keterbatasan stok vaksin dengan mengutamakan vaksin untuk kelompok rentan di zona merah. "Itu pun sedikit sekali.”
Di sisi lain, juru bicara vaksinasi Covid-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengaku sudah menerima keluhan pemerintah daerah soal ketimpangan jumlah vaksin. Ia menyebut, problem itu terjadi lantaran pasokan vaksin yang datang tak sekaligus. Sehingga tak semua daerah langsung mendapatkan jatah vaksin sesuai kebutuhan.
Indonesia baru mendapatkan 150 juta dosis vaksin, dari total kebutuhan 426 juta dosis. Dengan demikian, ujar Nadia, perlu langkah cermat menyiasati kebutuhan di tengah keterbatasan vaksin.
Nadia mengatakan, pemerintah sudah memetakan prioritas kelompok yang layak mendapatkan vaksin, dengan menimbang kerentanan dan aspek pertumbuhan ekonomi. Hal ini berimbas pada daerah yang tak optimal mendapat jatah vaksin.
“Tahap awal, berdasarkan prioritas ada tenaga kesehatan. Jumlah (dosis vaksin) lansia dan pekerja pelayanan publik pasti berbeda,” kata dia saat dihubungi, Senin (2/8).
“Lalu juga ada pertimbangan dalam rangka menggerakan pertumbuhan ekonomi, seperti pariwisata di Bali.”
Ia mengatakan, pemerintah bakal terus berusaha memenuhi kebutuhan vaksin di daerah, dengan menimbang jumlah pasokan vaksin yang datang hingga Desember 2021.
“Jadi, pasti kurang karena kita distribusi vaksin berdasarkan jumlah vaksin yang kita terima dari produsen di luar negeri,” tuturnya.
Bulan ini, Indonesia akan menerima 50 juta dosis vaksin berbagai merek. “Ada Sinovac, AstraZeneca, dan Pfizer,” kata Nadia.
Nadia mengatakan, sejauh ini vaksin yang ada masih dikonsentrasikan di zona merah Jawa-Bali. Alasannya, kondisi penularan Covid-19 masih mengkhawatirkan. Namun, kata Nadia, pemerintah bakal berupaya memenuhi kebutuhan vaksin di daerah secara bertahap, jika stok memenuhi.
Berdasarkan data dari Kemenkes, total kebutuhan vaksin minggu 3 dan 4 Juli 2021 sebanyak 6.657.920 dosis. Sementara, total distribusi vaksin pada minggu pertama Agustus 2021 sebanyak 5.460.400 dosis, dengan rincian dosis pertama sebanyak 1.403.500 dan dosis kedua sebanyak 4.056.900.
Jawa Timur menjadi provinsi penerima distribusi vaksin tertinggi, yakni 781.300 dosis. Sementara penerima distribusi vaksin terendah ada di Kalimantan Utara dengan 8.400 dosis.
Siapa yang prioritas?
Mantan Direktur World Health Organization (WHO) Asia Tenggara sekaligus Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas indonesia (FK UI) Tjandra Yoga Aditama menilai, pasokan vaksin yang terbatas di dunia merupakan penyebab utama ketersediaan vaksin di Indonesia juga terbatas.
Tjandra menerangkan, Indonesia masih sangat bergantung pada negara lain soal pasokan vaksin. Akhirnya upaya vaksinasi sangat ditentukan dari penyaluran negara produsen vaksin.
Anggota Covid-19 Vaccine Global Access (COVAX) Independent Allocation of Vaccines Group (IAVG) itu menjelaskan, sangat sulit memvalidasi kebutuhan vaksin setiap negara karena tak sebanding dengan ketersediaan vaksin yang ada.
“Kemarin kami ketemu Dirjen WHO (Tedros Adhanom Ghebreyesus) secara Zoom. Dia bilang, tugas memvalidasi vaksin tidak mudah karena vaksin yang mau dibagi sedikit,” kata Tjandra saat dihubungi, Minggu (1/8).
Para anggota IAVG, menurut Tjandra, agak kebingungan membagi rata alokasi vaksin setiap negara. Ia menyarankan Pemerintah Indonesia meningkatkan diplomasi habis-habisan agar bisa mendapatkan vaksin dari kerja sama multilateral atau bilatertal.
“Atau pun membeli,” kata Tjandra.
Tjandra mengingatkan, pemerintah harus segera mengatasi ketimpangan vaksinasi. Pasalnya, hal itu bisa berujung fatal berupa tingginya angka kematian.
“Kalau kita mau analisa, yang meninggal adalah mereka yang rentan. Artinya, mereka itu harus dapat vaksin," ucap Tjandra.
Data dari Kemenkes menunjukkan, per 5 Agustus 2021 total vaksinasi dosis pertama sebanyak 48.834.123, sedangkan dosis kedua sebanyak 22.210.379 dari sasaran vaksinasi 208.265.720 orang.
Tjandra menyarankan pula agar pemerintah fokus pada zona merah di luar Jawa-Bali, yang menurutnya tak kalah mengkhawatirkan.
“Prinsipnya, dasar pengendalian penyakit menular adalah kita gempur daerah yang sedang tinggi-tingginya,” kata dia.
Dihubungi terpisah, Direktur Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI) Olivia Herlinda mengingatkan agar prioritas alokasi vaksin tak bisa semata-mata dilihat dari status zona merah. Sebab banyak daerah yang tak mampu melakukan testing dan tracing secara optimal, sehingga seolah terlihat seperti zona hijau.
Menurutnya, belakangan juga banyak daerah yang menurunkan testing dan tracing agar terlihat aman dari Covid-19. Imbasnya, tak mendapat alokasi vaksin yang sebanding dengan kebutuhan.
Terkait skala prioritas, Olivia menyarankan agar pemerintah merancang ulang definisi kelompok rentan. Alasannya, banyak kelompok yang sebenarnya perlu mendapat vaksin lantaran keadaan mendesak.
"Kelompok rentan itu banyak variabelnya karena daerah satu sama lain bisa berbeda konteks. Ada yang melihat latar belakang ekonomi atau dia tidak punya akses kesehatan," kata Olivia ketika dihubungi, Senin (2/8).
Ia pun menyarankan pemerintah daerah memperbaiki data terlebih dahulu, sebelum merengek minta vaksin dari pemerintah pusat. Ia melihat, banyak daerah yang tak punya data mutakhir terkait orang yang layak mendapat prioritas vaksinasi.
Olivia pun mengaku khawatir terjadi kemelut di daerah akibat ketimpangan vaksinasi. Tanpa langkah serius mengatasi hal ini, ia menyebut, bakal banyak korban jiwa karena tak terlindung vaksin.
“Ketimpangan kayak gini malah akan membuat daerah tertinggal semakin tertinggal,” ujar Olivia.
“Akhirnya lebih banyak masyarakat rentan yang berisiko terinfeksi dan meninggal.”
Sementara itu, epidemiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Windhu Purnomo memandang, situasi pandemi saat ini tak bisa lagi dibendung dengan hanya menciptakan kekebalan kelompok 70%. Sebab, antibodi yang ditimbulkan dari vaksin sudah tak mampu menahan gempuran virus Corona varian baru.
"Sekarang sebanyak mungkin populasi harus dikejar untuk vaksinasi," kata Windhu ketika dihubungi, Minggu (1/8).
Akan tetapi, Windhu melihat, agak sulit menjangkau seluruh populasi atau setidaknya 208 juta penduduk. Karena vaksin yang tersedia sekarang baru sekitar 180 juta dosis.
Sisa vaksin lainnya masih tertahan di Bio Farma lantaran masih dalam proses penyempurnaan karena datang setengah jadi. Ia mendorong agar sisa vaksin itu dipercepat prosesnya.
“Supaya segera didistribusikan,” kata Windhu.
Lebih lanjut, ia menyarankan pemerintah agar tak hanya diam menunggu pasokan vaksin dari luar negeri. Sarannya, pemerintah bisa menyiasati keterbatasan vaksin dengan membuat skala prioritas vaksinasi yang proporsional.
Kelompok rentan, seperti lansia di daerah zona merah di luar Jawa-Bali, menurut Windhu, bisa menjadi prioritas vaksinasi tersebut.
“Banyak daerah yang lansianya belum sampai 15% untuk vaksin pertama. Jadi, lamban sekali untuk lansia,” ucapnya.
Sedangkan untuk daerah, ia menyarankan agar vaksinasi diutamakan pada daerah zona merah level tiga dan empat, yang kini sudah mulai terlihat di luar Jawa-Bali.
“Daerah seperti Lampung, Sumatera Barat, Aceh, dan Papua yang level tiga harus dipercepat karena positivity rate mereka sudah tinggi,” katanya.
“Maluku Utara itu 29,59% positivity rate-nya, Sumatera Barat di atas 30%, Papua juga. Aceh lebih parah lagi, di atas 40%.”