close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi tes PCR. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi tes PCR. Foto Pixabay.
Nasional
Senin, 25 Oktober 2021 13:56

Wajib PCR saat naik pesawat: Dari beban rakyat hingga ajang bisnis

Bisnis layanan tes untuk Covid-19, salah satunya tes PCR, lebih liar dan tak terkendali. Pemerintah diminta menata ulang.
swipe

Kontroversi wajib menunjukkan hasil tes cepat PCR (Polymerase Chain Reaction) bagi pengguna transportasi udara masih terus bergulir. Pro-kontra jauh dari kata selesai. Perbedaan pandangan tidak hanya terjadi antara otoritas penanganan Covid-19 dengan masyarakat dan DPR, tetapi juga di internal epidemiolog dan ahli kesehatan.

Menurut epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mewajibkan pengguna transportasi udara mengantongi tes PCR tidak logis. Bagi 'Juru Wabah' ini, cukup aman bagi pengguna transportasi udara bagi yang sudah divaksinasi dan wajib memakai masker.

"Sedangkan (untuk) skrining dengan tes antigen atau PCR," tulis Pandu Riono dalam akun twitternya, @drpriono1, yang disitat Senin (25/10).

Pandu menduga, Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 mewajibkan tes PCR bagi penumpang pesawat udara dilatarbelakangi oleh ketakutan bakal terjadi gelombang ketiga Covid-19. Terutama ketika pemerintah melonggarkan pelbagai aturan dan adanya libur Natal dan tahun baru.

Padahal, kata Pandu, Kementerian Kesehatan sebagai otoritas tertinggi di bidang kesehatan tidak pernah merekomendasikan wajib tes PCR itu. "Perlu tes tetapi bisa dengan tes antigen dengan reagen antigen yang standar. Perlu dikoreksi!" kata Pandu.

Pandangan lain muncul dari petinggi Ikatan Dokter Indonesia atau IDI. Ketua Satgas IDI Zubairi Djoerban mengemukakan pentingnya syarat tes PCR bagi penumpang pesawat terbang. Transportasi pesawat, jelas Zubairi, cenderung lebih tertutup apabila dibandingkan dengan transportasi lain, sehingga potensi penularan Covid-19 lebih tinggi. 

"Saya pikir kebijakan tes PCR negatif sebelum naik pesawat itu penting. Meski tubuh memproduksi antibodi dengan vaksin, tapi tidak serta merta mencegah penularan, sehingga masker pun tetap wajib di tempat tertutup seperti pesawat," tulis Zubairi di akun twitternya, @ProfesorZubairi, Jumat (22/10).

Ia mengingatkan itu agar lonjakan kasus Covid-19 seperti terjadi pada Juli-Agustus 2021 lalu tidak berulang. Dalam dua bulan itu tercatat Indonesia pernah mengalami kematian akibat Covid-19 mencapai lebih 2.000 kasus dalam sehari. 

Pertama terjadi pada 2 Juli dengan 2.069 kasus dan kedua pada 10 Agustus dengan 2.048 kasus. Pada Juli-Agustus itu Indonesia juga pernah tercatat dengan jumlah kasus mingguan paling tinggi di dunia. Ini terpaan gelombang kedua, setelah gelombang pertama pada 2020. 

Bagi Zubairi, untuk melawan pandemi tes PCR bagi pengguna jasa transportasi udara posisinya sama penting dengan vaksin. Karena pentingnya itu, tes PCR seharusnya bisa diakses gratis. "Tapi jangan dipahami dokter mendapat komisi dari penjualan PCR," kata Zubairi.

Ilustrasi tes Covid-19. Foto Pixabay.

Ajang bisnis

Kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat dinilai diskriminatif karena beleid ini tidak berlaku bagi moda transportasi lain. Padahal, risiko penularan di moda transportasi darat, kereta misalnya, juga besar. Karena waktu yang dihabiskan penumpang relatif lebih lama. 

Inilah yang kemudian memunculkan wajib PCR tak lebih dari ajang cari cuan. Tudingan semacam ini muncul dari banyak pihak. Salah satunya datang dari anggota Komisi IX DPR, Nur Nadlifah. Politikus PKB ini menilai kebijakan tersebut nampak memihak pelaku bisnis PCR.

Bagi anggota Komisi Kesehatan ini, wajib PCR merupakan kebijakan aneh. "Kita selama ini berjuang mati-matian mengajak masyarakat mau divaksin sehingga herd immunity tercapai. Setelah perlahan diterima oleh publik, justru pemerintah sendiri yang merusaknya," kata dia.

Ia menilai, selama ini langkah mengajak masyarakat untuk mendukung vaksinasi menjadi percuma. Karena setelah divaksin, masyarakat tetap terbebani tes macam-macam. "Publik jadi berpikir, oh vaksin itu proyek bisnis kesehatan. Percuma vaksin wong masih wajib tes PCR," urai Nadlifah kepada media, Kamis (21/10).

Pandu Riono juga mengamini apabila bisnis layanan tes untuk Covid-19 lebih liar dan tak terkendali. "Lebih liar dibandingkan tes untuk pengendalian pandemi. Perlu ditata dengan tegas," kata dia.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor PCR selama Januari-Juni 2021 mencapai US$362,02 juta atau senilai Rp5,1 triliun (kurs Rp14.100/dolar). Impor alat tes PCR dilakukan dari beberapa negara, terbanyak dari Korea Selatan dan China.

Bebani rakyat

Menurut Nadlifah, aturan di Instruksi Mendagri Nomor 53 Tahun 2021 tentang PPKM yang mewajibkan tes PCR untuk perjalanan Jawa-Bali bertolak itu belakang dari keinginan pemerintah yang menggebu-gebu untuk memulihkan ekonomi yang loyo diterjang pandemi. 

Karena itu, bagi dia, warga yang mau melakukan perjalanan dan sudah menerima vaksin dosis kedua cukup menggunakan rapid antigen. "Meski saat ini sudah ada batas tertinggi harga tes PCR, bagi kebanyakan masyarakat masih tergolong mahal. Biaya tes PCR, bisa 50% dari harga tiket pesawat," kata legislator dapil Jawa Tengah ini.

Syarat wajib PCR ini tertuang di Inmendagri Nomor 53/2021 yang terbit pada 21 Oktober 2021. Di Inmendagri sebelumnya, Inmendagri Nomor 47/2021, persyaratan calon penumpang pesawat hanya berupa tes antigen (H-1) dengan syarat sudah memperoleh vaksinasi dosis kedua dan hasil negatif PCR (H-2) jika baru memperoleh vaksin dosis pertama.

Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, tes PCR karena merupakan gold standard dalam pengetesan Covid-19. Langkah ini diharapkan tidak ada kasus positif yang lolos. Juga menyusul kebijakan sit distancing yang dihapus.

"Ini dilakukan mengingat sudah tidak diterapkan penjarakan antar tempat duduk atau sit distancing dengan kapasitas penuh sebagai bagian dari uji coba pelonggaran mobilitas demi pemulihan ekonomi di tengah kondisi kasus yang cukup terkendali," kata Wiku saat konferensi pers, Kamis (21/10).

Pada hari yang sama, Kementerian Perhubungan sebagai otoritas pengatur perjalanan menerbitkan empat surat edaran. Salah satunya mengatur perjalanan udara, yakni SE Kemenhub No. 88/2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri Dengan Transportasi Udara. 

Di aturan ini dijelaskan kapasitas penumpang dapat lebih dari 70%. Namun penyelenggara angkutan udara tetap wajib menyediakan tiga baris kursi sebagai area karantina bagi penumpang yang terindikasi bergejala Covid-19. Sedangkan kapasitas terminal bandara ditetapkan paling banyak 70% dari jumlah penumpang waktu sibuk pada masa normal.

Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati menjelaskan, SE ini mulai berlaku efektif pada 24 Oktober 2021 pukul 00:00 WIB, mundur tiga hari dari moda transportasi lain. "Ini untuk memberikan kesempatan kepada maskapai dan operator bandara mempersiapkan diri serta memberikan sosialisasi kepada calon penumpang," kata Adita, Kamis (21/10).

Apakah ini berarti Pemerintah dan Satgas Penanangan Covid-19 tidak akan mengubah keputusan yang sudah dibuat?

img
Khudori
Reporter
img
Khudori
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan