Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar mendata sekitar 201 titik api pada Selasa (14/8), yang terpantau di areal konsesi. Sementara Citra Modis C6 Kalbar NASA 2018, dengan confidence 80-100% di Peta Sebaran Investasi di Kalbar, menemukan 790 titik api.
Direktur Walhi Kalbar Anton P Wijaya tidak sepakat dengan pernyataan Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PPI KLHK) Ruandha Agung Sugardiman. Sebelumnya Ruandha memang sempat menyebutkan, penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalbar karena ulah masyarakat.
Anton langsung menampik pernyataan Ruandha, yang dinilai tak berpijak pada data, subjektif, dan terindikasi melindungi korporasi yang sengaja membakar lahan. Ini, lanjutnya, merupakan cerminan rendahnya komitmen PPI KLHK dalam menegakkan hukum dalam kasus kejahatan lingkungan.
Namun demikian, Walhi Kalbar tidak menampik fakta ada masyarakat yang mengelola lahannya dengan cara membakar dalam skala kecil. Hal itu dikuatkan dengan melihat titik api yang ada di dalam dan di luar konsesi.
Masyarakat sendiri dalam hal ini mempunyai hak untuk mengolah lahan dengan cara tradisional, sebagaimana amanah dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. "Dengan luasan tertentu, UU PPLH mengakomodir rakyat mengelola lahannya sesuai dengan adat budaya dan tradisinya," katanya di Pontianak, Jumat (24/8).
Kebakaran hutan dan lahan pun harus dilihat tak hanya dari kuantitas berapa banyak titik kebakaran saja, tetapi melihat kualitas dan dampak dari kebakaran tersebut.
"Seratus petani membakar lahan pertanian yang luasnya terbatas, dampaknya tidak sama dengan satu perusahaan melakukan pembersihan lahan yang luasnya ribuan hektare. Kerusakan dan polutan asap yang dihasilkan sangat mengerikan. Apalagi jika ratusan perusahaan perkebunan melakukannya," lanjutnya.
Dalam kesempatan itu, dia mendesak Menteri KLHK Siti Nurbaya Bakar, untuk mengklarifikasi pernyataan Dirjen PPI dan memastikan KLHK tetap komitmen menegakkan hukum kepada korporasi. Ini sekaligus menjadi jalan utama dalam memperbaiki tata kelola sumber daya alam di Indonesia.
Selain itu, Walhi Kalbar juga menagih komitmen politik Presiden Joko Widodo untuk menyelamatkan rakyat dari paparan asap kebakaran hutan dan lahan dengan menegakkan hukum kepada korporasi-korporasi yang konsesinya terbakar.
"Tanggung jawab hukum ada pada korporasi dan birokrasi sebagai pemilik izin konsesi dan pemberi izin, kenapa masyarakat yang disalahkan. Negara jangan lagi melindungi para penjahat lingkungan di Indonesia," katanya.
Pernyataan Ruandha menjadi ganjalan besar terhadap komitmen negara dalam melindungi rakyatnya dari dampak bencana ekologis. Hal ini dikuatkan dengan kemenangan Citizen Law Suit di Kalimantan Tengah kepada Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran, dan DPRD Kalimantan Tengah, dalam kasus kebakaran hutan dan lahan.
Mahkamah Agung pun menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya Nomor 118/Pdt.G.LH/ 2016/ PN Plk tanggal 22 Maret 2017. Lembaga itu menghukum para pembanding, semua para tergugat I, II, III, IV, V dan VI untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam kedua tingkat peradilan sejumlah Rp150 ribu.
Adapun tergugat I (Presiden Jokowi) diputuskan untuk menerbitkan Peraturan Pelaksana dari UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, dengan melibatkan peran serta masyarakat.
"Putusan untuk menerbitkan Peraturan Pelaksana dari UU Nomor 32 Tahun 2009 ini sangat penting untuk segera dilakukan, agar negara tidak selalu gagal dalam urusan pengendalian kebakaran hutan dan lahan," kata Anton.
Jika tidak ada putusan Pengadilan Tinggi sekali pun, melindungi rakyat dengan menyediakan lingkungan hidup yang sehat adalah mandat konstitusi yang harus dilaksanakan oleh negara, katanya.
Sumber: Antara