Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut ada tren kenaikkan bencana hidrometeorologi (banjir, longsor, dan angin puting beliung) di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Rinciannya, sebanyak 1.942 pada 2014, 1.668 pada 2015, 2.286 pada 2016, 2.840 pada 2017, 2.492 pada 2018, 3.722 pada 2020.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati mengungkapkan, Indonesia turut berkontribusi dalam pemanasan global dan perubahan iklim. Sebab, melakukan penggundulan hutan, menghancurkan lahan gambut, hingga terkait pertambangan batu bara dan PLTU.
"Sekarang memang kita sedang berada dalam lingkaran setan. Karena dampak perubahan iklim (dan pemanasan global) berupa cuaca ekstrem, curah hujan tinggi, angin puting beliung, menerpa kita, tetapi kita tidak sadar, dan terus melakukan eksploitasi," ucapnya dalam konferensi pers virtual, Jumat (29/1).
"Sehingga, ibarat kita sekarang menggali lubang kubur kita sendiri," lanjutnya.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, kata Nur, panen bencana ekologis belakangan ini masih ada kaitannya dengan penguasaan ruang berbasis izin eksploitasi sumber daya alam (SDA) oleh oligarki (kekuatan elit politik-ekonomi).
Akar masalah bencana ekologis di Indonesia sesungguhnya dapat dirunut sejak rezim Orde Baru mengingkari konstitusi, dengan memberikan izin penguasaan SDA ke oligarki.
Jika ditilik lebih lanjut, sebesar 60% penguasaan ruang berbasis izin SDA di Indonesia sudah dialokasikan ke korporasi (terutama perusahaan sawit). Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.833/2019 menetapkan bahwa luas tutupan sawit nasional itu 16.381.959 hektar (sekitar 1,2 kali luas pulau Jawa).
Diketahui, sebanyak 262 anggota DPR RI saat ini berafiliasi dengan 1.016 korporasi. Maka, produk undang-undang yang dihasilkan pun bertujuan untuk memperbesar kekuasaan dan kekayaan, seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja.
"Jadi, tidak heran kalau di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, semua itu mengalami kebakaran hutan ketika musim kemarian. Itu sudah rutin dialami. Memang banjir besar sekarang terjadi di Kalsel, tetapi sebenarnya tiap tahun bencana ekologis, seperti banjir tadi, terus berulang," tuturnya.
Sebelumnya, BMKG menyebut ada potensi multibahaya akibat dari cuaca ekstrem dan bencana alam. Dari gempa bumi hingga tsunami diprediksi akan terjadi pada bulan Januari-Maret 2021.
"Puncaknya untuk bencana hidrometeorologi itu dikhawatirkan Januari-Februari," kata Ketua BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan pers virtual, Jumat (15/1). Menurutnya, ada peluang cuaca ekstrem dan bencana alam dapat terjadi bersamaan.
Terkait hal itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat telah terjadi 185 bencana dalam rentang waktu 1-21 Januari 2021. Data per 21 Januari 2021 pukul 10.00 WIB, bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, dan puting beliung, masih mendominasi.