Kualitas air alami di Indonesia tidak layak untuk dikonsumsi. Demikian ditegaskan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nasional, Nur Hidayati.
Bahkan, menurut dia, tingkat kematian balita di Indonesia terbanyak masih diakibatkan penyakit yang dibawa oleh air dan udara, seperti kista, hingga diare. Padahal, dari segi kuantitas, Indonesia semestinya tidak kekurangan sumber-sumber air tawar untuk digunakan dalam kebutuhan sehari-hari.
Di sisi lain, kawasan perkotaan di Indonesia sudah dikepung polusi udara. Persoalan lingkungan hidup sangat dekat warga kota, karena ketika keluar rumah sudah pasti menghirup udara kotor.
"Sebenarnya aneh juga kalau ada orang yang tidak percaya krisis iklim, krisis lingkungan hidup itu sudah terjadi. Fakta-fakta terkait turunnya kualitas lingkungan hidup kita sebenarnya sudah kita rasakan. Bukan lagi di depan mata, tetapi sudah kita alami," ucapnya dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (24/2).
Menurut dia, ketidaksadaran warga terkait penurunan kualitas lingkungan hidup disebabkan saat ini terjadi normalisasi suatu kondisi yang seharusnya buruk, tetapi sudah dianggap niscaya atau hal normal.
Sebelumnya, Indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) secara nasional pada 2020 diklaim melebihi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
"Kita tentu patut bersyukur, karena data hasil pemantauan yang kita lakukan, tahun 2020 IKLH secara nasional itu melebih target RPJMN. Artinya, hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup baik dan bersih itu bisa kita penuhi ya, meskipun kalau kita lihat angkanya, masih berada pada 70,27. Kalau target di RPJMN 68,71," ujar Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) M.R Karliansyah dalam konferensi pers virtual, Rabu (24/2).