Walhi nilai pidato kenegaraan Jokowi sarat kontradiksi
Pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Sidang Tahunan MPR 2023 di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Rabu (16/8), dinilai memuat banyak kontradiksi, khususnya menyangkut lingkungan dan hak asasi manusia (HAM). Hilirisasi nikel, misalnya.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi, berpendapat, Jokowi tidak menunjukkan kegelisahan atas kegentingan krisis di Indonesia. Sebab, terus mendorong hilirisasi pertambangan, termasuk nikel, yang mengakibatkan krisis ekologi dan iklim. Ini seperti yang terjadi di Morowali, Sulawesi Tengah, dan Pulau Obi, Maluku Utara.
"Hilirisasi nikel terbukti telah memorak-porandakan bentang alam di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara, baik di darat maupun di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Sampai dengan tahun 2022, konsesi lahan untuk tambang nikel di Indonesia mencapai 1.037.435,22 hektare. Dari jumlah itu, lahan seluas 765.237,07 hektare berada dalam kawasan hutan," ujarnya dalam keterangannya.
Hilirisasi nikel, sambung Zenzi, juga mencemari laut dan menghancurkan pulau-pulau kecil, terutama sumber air bersih. Ini seperti yang dirasakan warga desa-desa di Kecamatan Wawonii Tenggara, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara.
"Sumber air, sungai, laut, sampai air-air yang mengalir ke rumah-rumah warga pun keruh, berwarna oranye bercampur lumpur. Krisis air bersih terjadi selama hampir tiga pekan pada bulan Mei 2023," katanya.
Di Halmahera Timur, Maluku Utara, hilirisasi nikel pun memaksa lebih dari 5.000 nelayan tradisional berhenti melaut dan meninggalkan profesinya. Pangkalnya, pencemaran laut dan hancurnya ekosistem pesisir dan pulau kecil terakumulasi akibat pertambangan nikel.
Menurutnya, respons Jokowi tentang mengatasi polusi udara dengan mendorong kendaraan listrik juga menunjukkan ketidakpahaman atas besarnya timbulan emisi dan ancaman kerusakan lingkungan yang dihasilkan hilirisasi nikel, salah satu komponen dalam pembuatan baterai kendaraan listrik. Setidaknya 50 juta ton emisi setara CO2 akan dilepaskan ke atmosfer akibat perubahan tutupan lahan buntut pemberian lebih dari 1 ha konsesi pertambangan nikel.
"Dalam proses produksinya, jumlah emisi CO2 yang dihasilkan untuk memproduksi per ton nikel kelas 1 dari bijih laterit Indonesia diperkirakan mencapai 59 ton emisi setara CO2. Selain itu, jaringan energi Indonesia yang masih sangat bergantung pada pada energi fosil, termasuk pada kawasan-kawasan industri yang menjadi menjadi pusat utama pemrosesan nikel, diperkirakan menyumbang setidaknya 200 juta ton emisi," sambungnya.
Dalam konteks yang lebih besar, ungkap Zenzi, hilirisasi nikel bakal menghancurkan kemampuan adaptasi masyarakat dalam menghadapi krisis iklim pada masa mendatang. "Dalam pidatonya, Jokowi menutup mata terhadap situasi yang dialami oleh masyarakat di tapak."
Walhi juga mencatat adanya kontradiksi perlindungan HAM dalam pidato kenegaraan tersebut. Zenzi menyampaikan, Jokowi mengklaim konsistensi Indonesia dalam menjunjung HAM, kemanusiaan, dan kesetaraan serta kesuksesan Indonesia menghadapi krisis dunia 3 tahun terakhir mendongkrak dan menempatkan Indonesia kembali dalam peta percaturan dunia.
Baginya, klaim itu patut dipertanyakan mengingat terjadi peningkatan pelanggaran HAM dan kriminalisasi terhadap masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini pun diakui Komisi Nasional (Komnas) HAM yang menyebut kepolisian, korporasi, dan pemerintah pusat sebagai pihak yang paling banyak diadukan pada 2022.
"Di lapangan, pelanggaran HAM dapat dilihat dalam kasus pembangunan Bendungan Wadas di Jawa Tengah; penembakan warga di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah; penangkapan masyarakat Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat; serta rencana Pembangunan Eco City di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, yang akan menggusur 4.000 keluarga," bebernya.
"Kasus penangkapan, kekerasan, dan hilangnya nyawa mahasiswa ketika berdemo menolak UU (Undang-Undang) Cipta Kerja menggenapi paradoks perlindungan HAM di Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi. Tahun 2023 saja, catatan Walhi, terdapat lebih dari 12 warga yang dikriminalisasi karena memperjuangkan hak atas tanah dan wilayah kelolanya," imbuh dia.
Kontradiksi juga termuat dalam isu pembangunan infrastruktu yang disampaikan Jokowi. Zenzi mengatakan, ambisi pembangunan megainfrastruktur untuk melanggengkan dominasi korporasi dan lembaga keuangan sangat terlihat dalam agenda pembangunan melalui skema proyek strategis nasional (PSN). Sebagian besar PSN adalah proyek-proyek infrastruktur dan rutin dicap sebagai keberhasilan rezim Jokowi daripada pemerintahan sebelumnya.
Padahal, jelas Zenzi, PSN bersifat sistemik dan tak terbatas pada proyek infrastruktur saja. Klasifikasi proyek sebagai PSN pada praktiknya pun sangat longgar dan tak terikat kriteria dasar, operasional, dan strategis. Kelonggaran ini, regulasi, insentif pajak, jaminan keamanan sebagai obyek vital nasional, hingga jaminan keberlangsungan pekerjaan, membuka celah campur tangan oligarki dan korporasi mengintervensi kategorisasi proyek sebagai PSN demi mengejar berbagai keuntungan.
"Ambisi pembangunan infrastruktur tersebut jauh dari agenda perlindungan dan pemulihan lingkungan. Alih-alih menjadi agenda perlindungan dan pemulihan lingkungan, fakta yang tersaji di depan publik adalah berbagai PSN justru menimbulkan berbagai persoalan, seperti kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, hingga memicu bencana ekologis," urainya. Dicontohkannya dengan pembangunan KSPN di Mandalika, Bendungan Bener, dan Waduk Lambo yang menggusur dan merampas ruang hidup rakyat.
Selain itu, Walhi mendapati kontradiksi pidato tentang penyelesaian konflik dan pengakuan hak. Jelang berakhirnya kekuasaannya, Jokowi berjanji menyelesaikan konflik agraria dan mengembalikan tanah kepada rakyat yang masuk dalam program prioritas pemerintah. Namun, masalah tersebut sama sekali tak dibahas Jokowi. Padahal, Walhi melaporkan terjadi 33 kasus konflik agraria yang merampas lebih dari 1 juta ha wilayah kelola rakyat dan menunggu untuk segera diselesaikan.
"Selain 33 kasus tersebut, Komnas HAM mencatat ada 1.078 pengaduan terkait konflik agraria dan sumber daya alam (SDA) pada tahun 2021-2022. Konflik-konflik agraria tersebut melibatkan aktor-aktor negara yang menanti penyelesaian kasus, mulai dari belasan hingga hampir 100 tahun seperti kasus agraria di Pakel, Banyuwangi," ucapnya.
Zenzi berpendapat, lambannya penyelesaian konflik dan pengakuan hak rakyat kontradiktif dengan cepatnya negara mengakomodasi kepentingan korporasi dalam penguasaan ruang. Sekitar 33 juta ha hutan Indonesia saat ini dibebani izin di sektor kehutanan. Sementara itu, lebih kurang 4,5 juta ha wilayah izin usaha pertambangan berada di kawasan tutupan hutan dan ada 3,3 juta ha sawit dalam kawasan hutan.
"Ini belum termasuk proyek-proyek lumbung pangan (food estate) di kawasan hutan," tegasnya. "Bukan hanya itu, hingga Juni 2022, berdasarkan catatan Walhi, sekitar 8,5 juta hektare hutan tropis Indonesia telah dilepaskan. [Sebesar] 71%-nya atau 6 juta hektare untuk perkebunan monokultur sawit."
Lebih jauh, Zenzi sangsi optimisme Jokowi soal Indonesia masuk 5 besar kekuatan ekonomi dunia pada 2045 terwujud. Alasannya, RI akan dihadapi segudang masalah serius pada periode tersebut.
"Pada tahun 2045, Indonesia akan menghadapi situasi genting, yaitu puncak dari dampak buruk krisis iklim, yang ditandai oleh krisis air bersih, krisis pangan, banjir bandang dan longsor di mana-mana, cuaca dan panas ekstrem, kebakaran hutan dan lahan, tenggelamnya desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil," tutupnya.