close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Para aktivis Walhi menolak penerbitan SK Menteri LHK tentang penurunan status hutan Kamojang dan Gunung Papandayan./ Armidis/ Alinea
icon caption
Para aktivis Walhi menolak penerbitan SK Menteri LHK tentang penurunan status hutan Kamojang dan Gunung Papandayan./ Armidis/ Alinea
Nasional
Rabu, 06 Maret 2019 16:35

Dugaan penumpang gelap di SK penurunan status cagar alam Kamojang

Dugaan muncul karena kawasan yang dirubah statusnya mencapai 4.000 hektare.
swipe

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Walhi Jawa Barat (Jabar) memprotes penerbitan Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) nomor SK.25/MENLHK/SETJEN/PLA.2/1/2018. SK tersebut menjadi dasar hukum untuk menurunkan status hutan Kamojang dan Gunung Papandayan yang semula cagar alam menjadi taman wisata alam (TWA).

Staf advokasi Walhi Jabar, Wahyudin, menduga ada kepentingan lain di balik penerbitan SK tersebut. Dugaan ini muncul karena untuk pertambangan panas bumi (geothermal), tidak butuh kawasan yang mencapai 4.000 hektare. Karena itu, dugaan SK ini membuka celah kerusakan cagar alam semakin menguat.

"Kalau jumlahnya ribuan, mau dipakai apa. Kami menduga akan ada penumpang gelap pebisnis wisata alam," kata dia di depan Kantor Kementerian LHK, Jakarta, Rabu (6/3).

Penerbitan SK tersebut juga dinilai dilakukan secara diam-diam. Sebab SK perubahan itu tidak dimuat dalam website LHK maupun Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat sebagai informasi publik. Walhi baru mengetahui setahun setelah SK diterbitkan.

"Ini SK terbit pada 10 Januari 2018, tapi terbitnya sembunyi-sembunyi. Kami mempertanyakan hal itu," kata koordinator aksi Opick Nurdin.

Opick menjelaskan, SK tersebut luput mempertimbangkan aspek ekologis terkait fungsi cagar alam, untuk menjaga resapan air.

"Sebelum SK ini saja, bencana ekologis sudah terjadi. Banjir bandang di Majalaya, banjir di kabupaten Bandung," ujarnya.

Di sisi lain, dia melihat SK itu diterbitkan untuk mengakomodasi aktivitas pertambangan geothermal di area cagar alam. Padahal, menurut Opick, cagar alam tidak diizinkan untuk aktivitas apapun selain keperluan riset.

"Belakangan ini, proyeksinya itu sudah ada. SK itu seakan-akan melegitimasi pertambangan geothermal," ucap dia.

Dia pun mempertanyakan alasan pemerintah yang berlindung dengan alasan melakukan restorasi. Terlebih ada akvitas pertambangan geothermal yang terjadi di kawasan tersebut.

Menurut Opick, alasan pemerintah untuk merestorasi kawasan hutan tidak bisa dimaklumi. Bila alasan itu yang dipakai pemerintah, semestinya tidak ada penurunan status cagar alam.

"Kalau alasan restorasi, statusnya bukan diturunkan tapi diperketat dengan status cagar alam," kata Opick.

Lebih lanjut, Opick mempertanyakan penurunan stasus hutan yang mencapai sekitar 4000 hektare sebagaimana SK tersebut. Padahal, idealnya, penurunan status hutan hanya dilakukan pada area sekitar 100 hektare.

"Ini sisanya untuk apa? Itu yang kita pertanyakan kepada KLHK," ucap Opick.

Perubahan status hutan dalam SK Menteri LHK meliputi Cagar Alam Kamojang seluas sekitar 2.391 hektare dan Cagar Alam Gunung Papandayan seluas sekitar 1.991 hektare menjadi Taman Wisata Alam (TWA). Keduanya terletak di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.

img
Armidis
Reporter
img
Gema Trisna Yudha
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan