WF Stutterheim guru sastra dan nasionalisme Amir Hamzah
Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera, atau dikenal dengan Amir Hamzah, langsung berkemas untuk melanjutkan pendidikan ke Algemene Middlebare School (AMS A-1)—sekolah setingkat SMA—di Solo, usai mendengar sekolah itu membuka jurusan sastra timur pertama di Hindia Belanda.
Saat itu, pada 1927, Amir muda mendaftarkan diri ke jurusan itu, usai menamatkan pendidikan di Christelijke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Batavia.
Bukan hanya jurusan itu yang membuat Amir melanjutkan studi ke sana. Menurut artikel “Paradoks Amir Hamzah” di dalam majalah Tempo edisi 14-20 Agustus 2017, Amir pun memilih AMS Solo karena sekolah itu dipimpin arkelog masyhur asal Belanda, Willem Frederik Stutterheim.
“Kabar dari Solo itu membuat Amir bersemangat. Pada 1927, pascalulus dari Christelijke MULO di Batavia dan mendapat restu dari ayahnya di Langkat, pemuda 16 tahun itu langsung naik sepur dan mendaftar di maktab tersebut,” tulis Tempo.
Menyemai bibit “pemberontak”
AMS didirikan pada 1926. Menurut dosen sejarah Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, di dalam tulisannya “Algemene Middlebare School 1925-1932: Potrait of the First Multicultural Education In Indonesia” yang diterbitkan jurnal Paramita, volume 28, nomor 2 (2018), di bawah pimpinan Stutterheim, sekolah ini melahirkan banyak tokoh terkemuka, seperti Dr. Prijono, Dr. Tjan Tjoe Siem, Armijn Pane, Achdiat K. Mihardja, Mohammad Yamin, dan Amir Hamzah.
Menurut Heri, saat pertama kali dibuka, AMS Solo langsung menyita perhatian banyak siswa dari beragam suku.
“Fakta historis tersebut, setidaknya membuktikan kalau sekolah yang didirikan Stutterheim ini memiliki pengajaran yang multikultural,” ujar Heri saat dihubungi Alinea.id, Senin (25/11).
Heri menuturkan, AMS Solo pimpinan Stutterheim sudah memberikan fondasi pergerakan nasional bagi Amir dan kawan-kawan. Sebab, Stutterheim terus “mencekoki” Amir dan murid-murid lainnya perihal pentingnya kesetaraan melalui pembelajaraan sastra dan sejarah.
“Ini yang memengaruhi dan sekaligus membedakan mereka dengan murid AMS lainnya. Saat di AMS Solo, Amir banyak dicekoki soal sejarah Nusantara oleh Stutterheim,” katanya. “Tujuannya, tak lain agar lebih mencintai kebudayaan Indonesia dan tak menghamba pada kebudayaan Barat.”
Lebih lanjut, Heri mengatakan, Stutterheim kerap memberikan pandangan bahwa ilmu tak melulu datang dari bangsa Eropa. Namun, bisa pula datang dari kearifan lokal bangsa sendiri.
“Saya merasa, pandangan itu timbul dari perjalanan Stutterheim yang telah banyak meneliti soal masyarakat Indonesia. Dia selalu memberikan pencerahan kepada murid-muridnya agar jangan silau terhadap kebudayaan Barat,” ujar Heri.
Stutterheim belajar ilmu sastra dan sejarah kesenian di Utrecht, Belanda. Saat Perang Dunia I, ia sempat masuk dinas militer. Setelah lulus ujian doktor dengan disertasi Rama Relief und Rama Legenden, pada 1924 ia bekerja di Oudheidkundige Dienst (Jawatan Kepurbakalaan) Hindia Belanda. Di sini ia banyak meneliti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau.
“Stutterheim sangat cinta terhadap kebudayaan timur. Karena dia seorang arkeolog,” kata Heri.
Meski mengusung semangat kebangkitan bumiputra, Stutterheim menggunakan metode Barat dalam pembelajaran. Di dalam buku Amir Hamzah: Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyi Sunyi (1979), Sutan Takdir Alisjahbana mengakui hal itu.
“AMS di Solo itu hanya namanya saja timur. Di sana, timur hanya objek daripada acara berpikir modern. Bukan hanya guru-gurunya saja yang boleh dikatakan semuanya orang Barat, tapi buku-buku serta cara berpikir yang memimpinnya adalah Barat, atau yang sekarang kita sebut modern,” tulis Sutan.
Menurut Sagimun MD di dalam bukunya Pahlawan Nasional Amir Hamzah (2011), di AMS Solo, Amir dan rekan-rekannya, seperti Armijn Pane dan Achdiat K. Mihardja dibekali semangat kebebasan. Setiap pembelajaran yang dipimpin Stutterheim, kerap dibuka ruang berdebat.
“Semangat kebangsaan yang meluap-luap itu kadang-kadang terbayang juga di dalam kelas, terutama sekali dalam pelajaran mengarang atau bercakap-cakap. Dalam jam bercakap kelas, kadang-kadang merupakan sebuah ‘parleman’ di mana murid-murid boleh mengemukakan pikirannya dengan bebas. Dalam kebebasan itu, terlihat betapa tebalnya perasaan kebangsaan yang ada, terkandung dalam dada anak-anak itu. Demikian pula pada Amir yang pandai berpidato,” kata Achdiat, seperti dituturkan di dalam buku Sagimun MD.
Semangat nasionalisme dan “perang bahasa”
Buah dari pendidikan semacam itu, timbul kesadaran kemerdekaan. Amir, yang merupakan keluarga bangsawan Melayu Kesultanan Langkat di Sumatera, kemudian menceburkan diri dalam pergerakan pemuda.
Sejak masuk AMS Solo, menurut Tempo edisi 14-20 Agustus 2017, tak jarang Amir turun ke desa. Ia memberdayakan petani sembari mengasah kemampuan menulis puisi dan prosa, yang ia kirim ke media massa berbahasa Belanda dan Melayu.
Sebagai utusan Jong Sumatranen Bond, ia pula yang mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan di dalam Kongres Pemuda II pada 1928. Usai Kongres Pemuda II, Amir bertekad meleburkan diri ke dalam organisasi kedaerahan untuk menebar semangat nasionalisme.
Kemudian, lahirlah organisasi Indonesia Muda pada 31 Desember 1931. Amir dan Armijn tercatat sebagai pengurus cabang Solo.
Untuk membumikan bahasa persatuan, Amir kerap menjadi mentor bahasa Melayu bagi rekan-rekannya di AMS Solo. Sebab, waktu itu masih banyak kaum terpelajar bumiputra yang lebih suka memakai bahasa Belanda ketimbang Melayu.
Sagimun MD menulis, saat itu bahasa Belanda menjadi kunci untuk mendapatkan pangkat tinggi dan duduk manis sebagai pejabat.
“Sehingga, tanpa dapat menggunakan bahasa Belanda, orang tidak mungkin mencapai kemajuan dan menduduki posisi yang terhormat,” tulis Sagimun.
Sagimun menilai, hal itu sengaja dilakukan pemerintah kolonial untuk melumpuhkan semangat persatuan, yang tertanam dalam Ikrar Pemuda—kelak dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
Belanda juga memerintahkan sekolah-sekolah untuk memakai bahasa daerah, agar bahasa persatuan mati. Merespons hal itu, Amir dan kekasihnya, Ilik Sundari memutuskan keluar-masuk kampung, mengajar masyarakat membaca, menulis, dan berhitung dalam bahasa Melayu.
“Mereka meyakini, tiga dasar pendidikan itu adalah awal keterbukaan wawasan,” tulis Sagimun.
Imbas keberanian Amir dan koleganya di AMS Solo, terjadilah “perang bahasa”, yang saling merebut eksistensi bahasa. Muaranya, Amir dan kolega diawasi Politieke Inlichtingen Dienst (PID)—Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda.
Terlebih lagi, Amir merupakan seorang bangsawan dari seberang Jawa, yang pergerakannya dipantau terus oleh Voor Inlandsche Zaken—sebuah badan penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan pribumi.
Banyak murid AMS Solo, terutama yang tergabung dalam Indonesia Muda, mendapat label “merah” dari PID lantaran dipandang berbahaya bagi kententeraman umum.
“Anak-anak yang dipandang ‘merah’, seperti anggota-anggota pengurus Indonesia Muda, Kepanduan Bangsa Indonesia, dan lain-lainnya seringkali ‘dibayangi’. Tidak ada yang lebih gila dari itu, anak-anak dipandang berbahaya!” tutur Achdiat di dalam buku karya Sagimun.
Stutterheim membela murid-muridnya
Amir dan kawan-kawannya pun kerap mengunjungi Singgih, Radjiman Wedyodiningrat, dan pimpinan pergerakan nasional lainnya, yang saat itu dipandang radikal oleh pemerintah kolonial.
Karena segala aktivitas murid-muridnya, Direktur AMS Solo, Stutterheim, pernah didatangi PID.
“Saya bukan babu. Di luar halaman sekolah, murid-murid saya serahkan kepada kebijaksanaan dan tanggung jawab mereka sendiri. Mereka sudah cukup dewasa, tak usah lagi diamat-amati oleh seorang babu,” kata Stutterheim, seperti tulis Sagimun di dalam bukunya.
Sastrawan Nurhayati Sri Hardini atau Nh. Dini di dalam bukunya Amir Hamzah: Pangerah dari Seberang (1981) menulis, sikap Stutterheim itu sempat membuat muridnya bertanya-tanya, apa yang bakal dilakukan sang pemimpin sekolah setelah didatangi intelijen. Banyak murid yang khawatir bakal mendapat sanksi.
“Tapi, berhari-hari lewat, tuan direktur tidak memanggil beberapa murid yang dianggap sebagai wakil keseluruhan kelas,” tulis Nh. Dini.
Penasaran, salah seorang murid mendatangi kepala sekolah. Akhirnya, diketahui bahwa PID mengingatkan Stutterheim untuk melarang murid-muridnya berpolitik dan turut dalam pergerakan nasional.
“Namun, perintah itu tak digubris Stutterheim, dan malah memperingatkan balik polisi tersebut, dengan mengatakan bahwa murid-muridnya kini telah matang untuk menentukan jalannya sendiri,” tulis Nh. Dini.
Sagimun MD pun menyebut, Stutterheim merupakan Indonesianis yang berpikiran maju. Ia memahami betul aspirasi dari murid-muridnya, yang ingin merdeka. Padahal, sebagai pimpinan sekolah, ia seharusnya patuh terhadap pemerintah kolonial.
“Akan tetapi, sebagai seorang cendekiawan yang berpikiran maju, Stutterheim dapat melihat objektivitas dari pergerakan Amir Hamzah dan koleganya,” tulis Sagimun.
Nh. Dini pun melihat, Stutterheim merupakan seorang guru yang sangat dihormati murid-muridnya di AMS Solo. Sebab, sebagai seorang Belanda, ia tak pernah menghalangi jiwa merdeka para muridnya.
Sejarawan Heri Priyatmoko mengatakan, Stutterheim sudah memberikan fondasi awal perjuangan bagi anak muda. Kecintaannya terhadap Indonesia terlihat dari caranya membina AMS Solo, dan melahirkan banyak bibit kaum pergerakan sekaliber Amir Hamzah.
“Bahkan, hal itu juga dapat dilihat dari diri Mohammad Yamin, yang begitu kental jiwa keindonesiannya pascabelajar di AMS Solo,” ujarnya.
Stutterheim turut membuat pemerintah Hindia Belanda ketakutan. Amir pun menulis puisi-puisi yang mampu merasuk jiwa banyak orang untuk menentang penjajahan.
Heri menuturkan, Stutterheim ikut serta menyemai Amir sebagai pentolan sastrawan Pujangga Baru. Secara khusus, Sagimun memasukkan Amir ke dalam golongan man of thought and inspiration.
“Orang yang dengan daya pikir dan daya ciptanya mampu menggerakkan atau menggetarakan hati ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan orang,” tulis Sagimun.
Paus sastra Indonesia HB Jassin memberi julukan “Raja Penyair Pujangga Baru” karena karya-karyanya yang indah. Pada 1933, bersama koleganya, Armijn Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana, ia mendirikan majalah Poedjangga Baroe.
Setelah itu, ia berhenti menulis dan memilih kembali ke Langkat pada 1935. Ketika itu, menurut Nh. Dini, ia pulang usai menerima telegram dari pamannya untuk dinikahkan.
Sepanjang kariernya sebagai sastrawan, menurut Sagimun, ia menulis 160 karya, baik puisi maupun prosa. Karyanya terkumpul dalam buku Boeah Rindoe (1941) dan Njanji Soenji (1937).
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 1945, ia menjabat wakil pemerintah di Langkat. Nasib nahas menimpa Amir. Ia dibunuh dalam revolusi sosial berdarah di Sumatera pada 20 Maret 1946. Ia kemudian dimakamkan di kuburan massal.
Seperti layaknya Amir, Stutterheim pun mati tragis. Setelah beberapa bulan ditahan pemerintah militer Jepang di Yogyakarta, ia meminta izin untuk memugar Candi Borobudur. Tak lama kemudian, ia jatuh sakit. Tumor otak mengantarkannya ke keabadian pada 10 September 1942.