WhatsApp di pusaran kasus peretasan
Aktivis demokrasi Ravio Patra mendatangi Polda Metro Jaya, Jakarta Pusat, Senin (27/4) sore. Didampingi empat kuasa hukum dari Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus (Katrok), Ravio resmi melayangkan laporan dugaan peretasan akun WhatsApp miliknya.
"Yang jelas laporan Ravio sudah diterima. Kita berharap bisa segera ditindaklanjuti polisi," kata salah satu kuasa hukum Ravio, Era Purnama Sari saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Selasa (28/4).
Ravio sempat dijemput paksa oleh polisi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (22/4) malam. Menurut polisi, penangkapan Ravio berawal dari laporan seorang warga. Pelapor mengaku menerima pesan yang berisi ajakan untuk menjarah.
Setelah diselidiki, pesan provokatif itu datang dari nomor milik Ravio. Polisi pun langsung bergerak menangkap Ravio. Namun demikian, Ravio membantah mengirimkan pesan-pesan tersebut. Menurut dia, WhatsAppnya diretas ketika pesan-pesan itu dikirimkan.
Menurut Era, hingga kini polisi belum mengetahui motif pelaku meretas akun WhatsApp Ravio. Namun demikian, Era membuka kemungkinan peretasan itu terkait dengan aktivitas Ravio sebagai pegiat demokrasi dalam beberapa pekan belakangan.
"Kita belum bisa memastikan. Yang jelas dia adalah orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, termasuk menyoroti kebijakan penanganan Covid-19 maupun soal proyek-proyek yang melibatkan stafsus Presiden. Kasus ini penting karena peretasan berujung pada kriminalisasi aktivis," ujar Era.
Berikut kronologis penangkapan Ravio Patra (1/3) #BebaskanRavio pic.twitter.com/80KxSkczi5
— KONTRAS (@KontraS) April 23, 2020
Peretasan akun WhatsApp Ravio turut "diviralkan" Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto di media sosial. Menurut Damar, pada mulanya Ravio menduga akunnya diretas setelah muncul tulisan 'you've registered your number on another phone' saat akan menyalakan WhatsApp.
Saat mengecek kotak masuk SMS, Ravio menemukan ada permintaan pengiriman one time password (OTP) yang biasanya dikirimkan ke nomor pengguna untuk mengonfirmasi perubahan pada pengaturan WhatsApp.
Tak hanya itu, Ravio juga mendapat panggilan sekitar pukul 13.19 WIB hingga 14.05 WIB dari dua nomor telepon dengan kode negara Indonesia, serta nomor telepon asing dengan kode negara Malaysia dan Amerika Serikat.
Ketika diidentifikasi melalui aplikasi khusus untuk melacak identitas pemilik nomor telepon, kedua nomor tersebut ternyata milik personel Polri berinisial AKBP HS dan perwira TNI berinisial Kol ATD.
"Kuat dugaan kami bahwa pelaku pembobolan menemukan cara mengakali nomor mereka untuk bisa mengambil alih WhatsApp yang sebelumnya didaftarkan dengan nomor Ravio," ujar Damar.
Terlepas dari diretas atau tidaknya WhatsApp Ravio, anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan mengatakan prosedur penangkapan peneliti di Westminster Foundation for Democracy itu sudah benar. Menurut Arteria, polisi boleh menjemput paksa Ravioa lantaran sudah mengantongi bukti-bukti.
"Sebelum itu, kan tidak tahu WhatsAppnya diretas. Dalam perspektif penegak hukum, mereka menduga Ravio menjadi orang yang langsung yang mengirimkan pesan-pesan (bernuansa provokatif) tersebut," kata Arteria kepada Alinea.id.
Meretas akun untuk menipu
Selain Ravio, kasus dugaan peretasan akun WhatsApp juga dialami pelaksana tugas Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Danton Sihombing pada 24 April lalu. Kepada Alinea.id, Danton menyatakan pelaku meretas akun WhatsAppnya untuk melakukan penipuan.
Menurut Danton, pelaku terlebih dahulu meretas akun Facebook rekannya yang tinggal di Belanda. "Saya ketemu kawan saya itu di Rotterdam pada 2016 lalu. Kami waktu itu berdiskusi soal sumbangan ke masjid di pesisir Lampung," kata Danton di Jakarta, Rabu (29/4) sore.
Pertemanan antara Danton dan rekannya itu berlanjut di Facebook. Mereka pun bertukar nomor ponsel. Tak lama sebelum WhatsApp-nya diretas, Danton mengatakan rekannya tersebut sempat mengirim pesan dengan kata-kata yang lain dari biasanya.
Ketika itu, Danton tak menaruh curiga berkepanjangan. Dia baru teringat pesan-pesan janggal rekannya itu ketika aplikasi WhatsApp di ponselnya tiba-tiba tak berfungsi karena diretas. "Gayanya lain, terus nama saya ditulis salah tiga kali," ujar Danton.
Setelah menguasai ponsel Danton, pelaku kemudian mengirim pesan yang berisikan permintaan sumbangan yang akan dikirim ke yayasan yang berkaitan dengan masjid di pesisir Lampung. "Jadi dia (pelaku) pakai nama saya untuk penipuan. Udah ada korbannya. Ada kawan yang kena," ujarnya.
Danton menuturkan, ia baru sadar WhatsAppnya diretas setelah beberapa rekannya menghubungi dia via fitur pesan di Instagram dan menelepon istrinya.
"Saya kemudian menulis status di Facebook dan Instagram agar teman-teman saya tahu jika WhatsApp saya dibajak orang. Tapi, ada teman saya yang sudah telanjur mengirim (uang)," ujarnya.
Setelah itu, Danton kemudian menghubungi pusat bantuan WhatsApp. Sehari berselang, akun Danton berhasil dipulihkan. "Kemudian saya ke provider saya untuk ganti SIM, tapi nomor yang sama," jelas Danton.
Kasus Danton kini tengah ditangani Direktorat Cyber Crime Polda Metro Jaya. Danton juga telah menghubungi rekannya di Belanda untuk memastikan peretasan itu.
"Katanya benar jika akun Facebook rekan saya di Belanda itu diretas orang lain. Rekan saya itu sudah ganti akun Facebook baru," terang Danton.
Akun WhatsApp publik figur jadi sasaran
Pakar keamanan siber Alfons Tanujaya mengatakan peretasan WhatsApp marak karena aplikasi bertukar pesan itu paling banyak digunakan di Indonesia. Dalam sejumlah kasus, kata Alfons, korban peretasan ialah publik figur.
"Publik figur (jadi target karena) memang datanya mudah diketahui sehingga mengambil alih nomor WhastApp itu sangat mudah," kata Alfons kepada Alinea.id di Jakarta, Rabu (29/4) lalu.
Menurut dia, secara teknis akun WhatsApp juga mudah diretas. Ia mencontohkan modus membajak akun dengan duplikasi kartu SIM. Peretas, kata Alfons, hanya perlu membeli kartu dengan nomor korban dan mencari OTP WhatsApp pengguna.
"Masukan saja nomor yang diincar. Gitu lho. Lalu, WhatsApp secara otomatis memberikan pemberitahuan, 'Benar enggak mau pindah ke nomor yang diincar itu?' Kalau misalnya orang tidak sengaja mengklik itu atau karena satu dan lain hal mengklik (notifikasi) itu, maka otomatis bisa pindah," kata dia.
Menurut Alfons, peretasan akun bisa diminimalisasi jika pemilik aplikasi memperketat registrasi pengguna. Namun demikian, menurut Alfons, langkah itu tidak bakal diambil lantaran potensial bikin ribet pengguna dan membuat WhatsApp ditinggalkan.
"Mereka juga dilema kalau hilangkan fitur ini, misalnya orang ada ponsel baru. Mau instal WhatsApp harus izin provider dulu, mesti ke WhatsApp dulu, atau apa gitu. Mungkin mereka memikirkan sisi praktisnya saja," jelas dia.
Jumlah pengguna WhatsApp di dunia saat ini diperkirakkan telah mencapai dua miliar orang. Di Indonesia, hampir semua ponsel dipasangi aplikasi tukar pesan berlambang gagang telepon yang didominasi warna hijau itu.
Karena itu, menurut Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi, wajar jika akun WhatsApp jadi sasaran peretas. Ia menyebut jumlah kasus peretasan meningkat dalam tiga tahun terakhir. "Ini (peretasan juga seringkali) berkaitan dengan politik," ujar Heru.
Meski begitu, dugaan peretasan Ravio dan Danton perlu dibuktikan terlebih dahulu melalui digital forensik. Metode itu, kata Heru, juga bisa digunakan untuk mengetahui identitas para pelaku dan motif mereka.
"Jadi, harus memang harus diselidiki lebih jauh. Digital forensiknya yang kita bisa lihat dari hapenya. Kejadiannya seperti apa, jam berapa, mungkin kloningnya dari siapa," kata Heru.
Khusus kasus Ravio, Heru mengatakan terlalu dini untuk menyimpulkan keterlibatan aparat keamanan dalam peretasan. Menurut Heru, penegak hukum hanya diperbolehkan meretas perangkat elektronik milik seseorang untuk kasus-kasus tertentu.
"Istilahnya intersepsi. Jadi, intersepsi yang legal. Tapi, enggak sembarang yang disadap, harus ada masalahnya. Kita juga pengin tahu kasus sebenarnya seperti apa. Tapi, kita tetap melakukan praduga tak bersalah," kata dia.
Alinea.id berulangkali mencoba mengklarifikasi isu maraknya kasus dugaan peretasan kepada pihak WhatsApp. Namun, permintaan wawancara Alinea.id hanya dibalas dengan rilis pers yang isinya panduan untuk memperketat keamanan pengguna WhatsApp.