close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kuasa hukum tersangka kasus dugaan kepemilikan senjata ilegal Kivlan Zein, Tonin Tahta Singarimbun (kedua kiri) memberikan pernyataan kepada wartawan seusai mengikuti sidang putusan praperadilan penetapan tersangka kliennya di Pengadulan Negeri Jakarta Se
icon caption
Kuasa hukum tersangka kasus dugaan kepemilikan senjata ilegal Kivlan Zein, Tonin Tahta Singarimbun (kedua kiri) memberikan pernyataan kepada wartawan seusai mengikuti sidang putusan praperadilan penetapan tersangka kliennya di Pengadulan Negeri Jakarta Se
Nasional
Selasa, 20 Agustus 2019 08:25

Instruksi Wiranto bentuk PAM Swakarsa saat Kivlan Zen tak punya jabatan

Instruksi Wiranto datang di saat Kivlan Zen tak menyandang jabatan apa pun di TNI. Sebagai bawahan, Kivlan sigap menjalankan perintah.
swipe

Menjelang masa akhir pemerintahan Presiden Soeharto, Panglima ABRI (saat ini TNI) Jenderal TNI Wiranto memerintahkan anak buahnya untuk membentuk Pasukan Pengamanan Masyarakat atau PAM Swakarsa. Adalah Kivlan Zen, perwira tinggi tanpa jabatan di Mabes TNI, yang mendapatkan tugas membentuk pasukan tersebut. 

“Wiranto memanggil Kivlan Zen dan diperintahkan untuk membentuk PAM Swakarsa,” kata kuasa hukum Kivlan Zen, Tonin Tachta membuka percakapan kepada Alinea.id di Jakarta pada Senin (19/8).

Ketika diminta atasannya, Kivlan Zen sempat bingung. Selain tak punya jabatan di TNI, ia juga tak memiliki banyak uang untuk membentuk PAM Swakarsa, yang belakangan diketahui jumlahnya mencapai puluhan ribu orang.

Toh Kivlan tetap menjalankan perintah atasan. Kepada Kivlan, kata Tonin, Wiranto menjanjikan sebuah jabatan setelah misi selesai. Apa itu? "Menjadi orang nomor satu atau disegani di korps TNI," kata Tonin.

Mendapat angin segar, Kivlan membayangkan dirinya bakal menyandang jabatan setingkat Pangdam atau Kapolda—dalam istilah kepolisian—karena memiliki kapasitas mengamankan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum Presiden Soeharto lengser.

“Pak Kivlan bilang, ‘Bagaimana saya menjalankan? Saya gak punya jabatan. (Kata Wiranto) Ya sudah nanti kalau berhasil, kamu saya kasih jabatan’. Bayangan Pak Kivlan paling enggak (dia) sudah jadi Pangdam. Maka dikerjakan perintah itu untuk mengamankan Sidang Istimewa (MPR). Padahal sebenarnya itu kapasitas Pangdam dan Kapolda,” ucap Tonin. 

Tonin menjelaskan, untuk menjalankan tugas dari Wiranto, Kivlan saat itu hanya diberi uang sebesar Rp400 juta. Uang itu tak cukup lantaran anggota PAM Swakarsa terbilang banyak, mencapai 30.000 orang. Karena itu, untuk sekadar makan bagi para personel Kivlan harus rela merogoh kocek pribadinya. 

“Kalau kasih makan untuk 30 ribu orang dikali Rp10 ribu saja sekali makan sudah habis Rp300 juta. Kalau dikali tiga sudah Rp900 juta. Kalau dikali tujuh hari Rp6,3 miliar, kalau 8 hari Rp7,2 miliar. Makanya Pak Kivlan habis sekitar Rp7 sampai Rp8 miliar,” ucap Tonin.

Tonin mengungkapkan, kebutuhan PAM Swakarsa bahkan bisa melonjak. Sebab, selain untuk kebutuhan makan, kliennya juga harus keluar uang untuk membeli alat komunikasi. Juga akomodasi untuk mobilisasi anggota PAM Swakarsa dari satu tempat ke tempat lain. Ini membutuhan uang untuk menyewa mobil. 

Belum cukup, Kivlan kembali harus mengeluarkan uang santunan dari kantong pribadi jika ada anggota PAM Swakarsa yang meninggal. Diketahui, dalam gugatan yang dilayangkan Kivlan kepada Wiranto, korban meninggal sebanyak enam orang sejak PAM Swakarsa dibentuk.

Setelah tugas selesai dikerjakan, Tonin mengungkap, jabatan yang pernah dijanjikan Wiranto kepada Kivlan Zen tidak pernah terwujud. Untuk menutupi kebutuhan anggota PAM Swakarsa, Kivlan sampai berutang dan menjual harta bendanya.

"Karena Pak Kivlan hanya dikasih Rp400 juta, akhirnya Pak Kivlan jual rumah, utang sana, utang sini," ujarnya.

Menagih Janji

Setelah pekerjaan PAM Swakarsa selesai, Kivlan Zen tak tinggal diam. Menurut penuturan Tonin, kliennya sudah dua kali menagih uang yang dikeluarkan dipakai untuk membentuk PAM Swakarsa. Tagihan tersebut ditujukan kepada B.J Habibie, yang ketika itu menjabat sebagai Presiden sementara menggantikan Presiden Soeharto.

Tonin menerangkan, ketika itu BJ Habibie mengaku sudah memberikan uang operasional pembentukan PAM Swakarsa kepada Wiranto. Pemberian uang tersebut turut disaksikan mantan Menteri Koperasi, almarhum Adi Sasono, dan Jimly Asshiddiqie. Atas dasar itulah, Kivlan kemudian melayangkan gugatan kepada Wiranto. 

"Itulah makanya digugatlah (Wiranto) karena Pak Kivlan paham hanya melewati gugatan bisa dapat atau pulang haknya, pulang uangnya, kalau tidak (menggugat), tak dapat," ungkap Tonin.

Sementara itu, dalam proses persidangan, gugatan yang memasuki tahap mediasi ini tak berjalan mulus. Pasalnya, kuasa hukum Wiranto meninggalkan persidangan begitu saja. Tonin menyayangkan tindakan tersebut. Pada akhirnya sidang mediasi harus ditunda selama dua pekan.

"Kemarin waktu mediasi itu pengacaranya Pak Wiranto pulang. Sidang mediasi selanjutnya tanggal 29 Agustus 2019,” ucap Tonin.

Peluang Ungkap Pelanggaran HAM

Gugatan yang dilayangkan Kivlan kepada bekas atasannya, Wiranto, ditanggapi sejumlah pihak. Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakata, M. Rasyid Ridha Saragih, menyebut gugatan tersebut berpeluang untuk mengusut pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada tahun 1998.

Apalagi, kata Rasyid, dari gugatan tersebut secara gamblang terdapat pengakuan Kivlan Zen bahwa memang ada komando yang terstruktur dan sistematis terkait pembentukan PAM Swakarsa oleh Wiranto.

"Bahwa memang PAM Swakarsa itu didirikan berdasarkan perintah langsung dari Wiranto," kata M. Rasyid.

Menurutnya, mengenai tindak lanjut untuk mengusut pelanggatan HAM tinggal menunggu pembuktian Kivlan Zen atas gugatannya kepada Wiranto: apakah ada surat perintah secara resmi atau tidak? 

Pada intinya, lanjut Rasyid, dengan adanya gugatan tersebut baik Kivlan Zen maupun Wiranto dianggap telah mengakui mereka saling kontak secara langsung membahas pembentukan PAM Swakarsa. Hal itulah yang kemudian bisa dimintai pertangungjawabannya.

“Artinya sebenarnya Komnas HAM dan Kejaksaan Agung bisa langsung memanggil mereka berdua (Kivlan Zen dan Wiranto) untuk mengusut pelanggaran HAM 98 karena ada pengakuan itu,” ujarnya.

“Itu yang perlu dikonfrontasi apakah memang komando resmi atau tidak resmi atau di luar resmi. Intinya bisa dimintai pertanggungjawaban.”

Di sisi lain, dengan pengakuan Kivlan Zen dalam gugatannya, Rasyid turut menyampaikan bahwa yang perlu diminta pertanggungjawaban bukan hanya eksekutor, melainkan sampai kepada tokoh intelektualnya.

Selain Wiranto, menurutnya, pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban juga Habibie. Sebab, Habibie pihak yang turut mengalirkan dana untuk PAM Swakarsa.

"Iya ada aliran dana juga (dari Habibie) walaupun mungkin gak banyak, gak bisa kontribusi banyak, tapi pembentukan itu (PAM Swakarsa) sepengetahuan Habibie juga. Artinya Habibie melakukan, dia terlibat, entah bagaimana dan sejauh mana keterlibatannya,” kata Rasyid.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Tito Dirhantoro
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan