WNA asal Kanada diduga jadi korban markus oknum Divhubinter Polri
Seorang warga negara Kanda berinisial SG (50), yang sudah menetap di Bali dan membangun usaha sejak 2020, diduga ditangkap menggunakan red notice bodong. Sebab, dokumen tersebut tidak ada di dalam situs web (website) Interpol.
"Bisa jadi, karena red notice SG enggak ada dalam website Interpol," ucap kuasa hukum SG, Pahrur Dalimunthe, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (4/6).
Pahrur menyampaikan, kasus ini bermula pada Februari 2023. Kala itu, oknum Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polri dengan membawa selembar kerta red notice menemui SG dan menyampaikan akan menangkap yang bersangkutan dalam waktu 4-6 minggu.
Namun, bisa dibantu agar tidak ditangkap dengan menyerahkan sejumlah uang. Lantaran identitas di dalam red notice itu berbeda dengannya, SG sempat mengabaikan permintaan oknum tersebut.
Beberapa waktu kemudian, oknum itu kembali datang bersama beberapa orang. Saat pertemuan, mereka menyampaikan tentang penangkapan.
"Karena merasa terganggu dan ingin agar tidak diganggu kembali, atas permintaan oknum-oknum tersebut, SG mengirimkan sejumlah uang sebesar Rp750 juta, Rp150 juta, dan Rp100 juta. Kesemuannya dikirimkan melalui transfer," tutur Pahrur.
Oknum tersebut kembali menemui SG beberapa waktu kemudian. Pun kembali meminta sejumlah uang dengan nominal lebih besar, Rp3 miliar, dan diklaim bakal dibagikan kepada beberapa pihak di Divhubinter Polri. Jika diserahkan pada 20 April 2023, SG kembali dijanjikan takkan ditangkap.
"Karena merasa bukan dia yang ada pada red notice tersebut, SG menolak memberikan uang Rp3 miliar tersebut dan merasa bahwa oknum-oknum ini adalah sindikat," ungkapnya.
Nahas, pada 19 Mei 2023, SG tiba-tiba ditangkap di kediamannya di Canggu, Kabupaten Badung, Bali. Selain itu, kediamannya digeledah dan beberapa dokumen pribadinya disita.
"Kesemua tindakan tersebut dilakukan sewenang-wenang tanpa berdasar hukum, melanggar KUHAP," tegas Pahrur.
Sehari berselang, lanjut Pahrur, oknum kepolisian memaksa kliennya menandatangani beberapa dokumen bahasa Indonesia, yang belakangan diketahui tentang surat penangkapan dan penahanan berdasarkan serta mencantumkan nama SG sebagai tersangka atas suatu tindak pidana berdasarkan adanya laporan polisi (LP) model A dan surat perintah penyidikan (sprindik). SG tidak bisa berbahasa Indonesia dan saat itu tidak didampingi pengacara.
"Jelas-jelas SG tidak terlibat dalam pidana apa pun di Indonesia. Adanya LP, penyidikan, dan penetapan tersangka dalam dokumen tersebut menandakan bahwa SG melakukan tindak pidana di Indonesia. Nyatanya tidak pernah ada," katanya.
"Adanya LP, penyidikan, dan penetapan tersangka pada hari yang sama adalah pelanggaran serius terhadap hukum acara pidana di Indonesia," sambungnya. Sejak menandatangani surat penangkapan dan penahanan, SG ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Polda Bali.
Pahrur mengungkapkan, kliennya kembali dijanjikan dapat bebas dan takkan ditangkap kepolisian maupun Imigrasi apabila menyerahkan uang Rp3 miliar. Iming-iming itu disampaikan oknum yang sama ketika SG ditahan di Rutan Polda Bali selama beberapa kali.
Lantaran merasa menjadi korban penipuan (scamming), SG menolak memenuhi permintaan itu. Namun, setelah 16 hari ditahanan, ia tiba-tiba diberitahukan bahwa akan dibawa ke Australia melalui Denpasar, Bali, pada Minggu, 4 Juni 2023, pukul 22.00 Wita.
"Kejanggalan lainnya adalah SG dibawa tanpa ada serah terima dengan otoritas Kanada di Indonesia. Jadi, tidak diketahui akan dibawa ke mana klien kami," ucapnya.
Pahrur berpendapat, membawa seorang warga negara asing (WNA) bukan ke negara asalnya adalah pelanggaran ekstradisi. "Ini juga bentuk pelanggaran serius terhadap acara pidana di Indonesia dan hak asasi manusia (HAM) internasional," tegasnya.
Pahrur menambahkan, Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Kanada. Dengan demikian, tidak bisa melakukan penangkapan seseorang yang tercantum dalam red notice.
Apalagi, lazimnya penangkapan buronan luar negeri di Indonesia harus dilakukan langsung oleh penegak hukum dari negara asal yang menerbitkan red notice, baik memiliki perjanjian ekstradisi ataupun tidak. Penyerahannya pun dilakukan di Indonesia.
Indonesia, sambung Pahrur, juga memiliki undang-undang (UU) dan peraturan pelaksana tentang ekstradisi. Salah satu isinya, penyerahan tahanan antarnegara yang tak memiliki hubungan ekstradisi hanya bisa dilakukan jika atas permintaan diplomatik ke Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan hanya bisa dilakukan jika memperoleh persetujuan presiden dan diputuskan berdasarkan pengadilan negeri (PN), di mana buronan tersebut ditangkap.
"Maka, apa yang dilakukan oleh oknum Dihubinter kepolisian itu juga melanggar UU Ekstradisi karena membawa seseorang secara ilegal ke luar negeri, lalu menyerahkannya kepada pihak lain di luar negeri," terangnya.
Jika hal tersebut terjadi, Pahrur mengkhawatirkan keselamatan SG terancam karena kliennya adalah saksi kunci yang mengetahui secara jelas modus dan bukti-bukti adanya makelar kasus (markus) dalam penangkapan buronan interpol di Indonesia.
Atas dasar itu, Pahrur mendesak Polri menunda pelaksanaan penyerahan kliennya ke Australia hingga status SG jelas.
"Harus ada kesamaan data antara red notice Interpol dan identitas SG. Red notice harus tercantum dalam website interpol sebagaimana buronan lainnya," tegasnya.
Pahrur juga mendorong pihak Kanada datang ke Indonesia dan mengikuti aturan yang mengikat jika ingin dilakukan penyerahan SG.
Dia pun meminta KPK, Propam Polri, dan Kompolnas ikut melakukan investigasi dalam dugaan kuat markus buronan Interpol yang menjerat kliennya. "Karena ini merupakan tindakan yang merusak nama baik Indonesia di mata internasional," katanya.
"Kami juga menuntut pihak-pihak yang menerima uang, yang terlibat, harus ditindak, sebagaimana tindakan yang selama ini dilakukan oleh Bapak Kapolri untuk bersih-bersih oknum yang tidak bertanggung jawab," tandas Pahrur.