Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), Boni Hargens, mengusulkan perlu ada program cuci otak ulang kepada warga negara Indonesia eks ISIS yang berada di Suriah. Menurutnya, ini perlu dilakukan sebelum mereka benar-benar dipulangkan ke Indonesia.
“Perlu ada proyek semacam cuci ulang otak sebelum mereka boleh bergabung dalam kehidupan sosial dengan masyarakat yang lain,” dalam kata Boni melalui keterangan resminya di Jakarta, Jumat (7/2).
Boni menilai, program cuci otak ulang merupakan bagian dari repatriasi yang perlu dilakukan secara bertahap terkait rencana Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk memulangkan 660 warga Indonesia yang tergabung dengan gerakan ISIS di Timur Tengah.
"Repatriasi warga eks ISIS itu bagian dari pertanggungjawaban kemanusiaan yang mesti dipikul oleh negara. Kita semua mengutuk keberpihakan mereka pada ideologi dan gerakan teroris, tetapi bagaimanapun mereka juga warga negara yang memiliki hak asasi yang di dalamnya negara secara etis dituntut memberikan perlindungan," ucap Boni.
Namun demikian, kata Boni, sebelum dilakukan repatriasi perlu ada studi demografik yang komprehensif tentang keluarga eks ISIS, siapa yang secara ideologis paling radikal, siapa yang hanya ikut dan menjadi korban dari keputusan suami atau ayah, dan seterusnya.
Dari situ negara dapat membuat skala untuk mengelompokkan mereka berdasarkan seberapa besar tingkat berbahayanya yang mungkin mereka timbulkan.
Boni mengatakan repatriasi bertahap tersebut yaitu para eks ISIS tersebut dilokalisasi di suatu tempat. Ini bisa dilakukan seperti warga yang datang dari Cina ditampung di Natuna. Tujuan dilokalisasi untuk diredoktrinasi terkait nilai-nilai dasar tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam bingkai NKRI.
“Ideologi teroris itu bukan hal yang sederhana untuk dikikis atau dinetralisir. Butuh waktu. Untuk itu, mesti ada regulasi yang jelas dari pemerintah tentang bagaimana proses redoktrinasi sebagai langkah awal dari tahapan repatriasi,” ujarnya.
Setelah itu berhasil dilaksanakan, para warga eks ISIS mesti diberi kepastian tentang mata pencaharian, ruang sosial tempat mereka akan tinggal di tanah air. Menurut Boni, akan menimbulkan problematik kalau mereka kembali tinggal di kampung asal mereka. Hal itu merugikan diri sendiri sekaligus masyarakat di sekitarnya.
Stigma sebagai teroris akan terus menjadi aib yang merusak kebahagiaan hidup mereka di tengah masyarakat. Masyarakat juga akan selalu waspada dan curiga. Kehidupan macam itu akan sangat rumit. Untuk itu, perlu ada pemukiman khusus untuk mereka dengan sumber pencaharian yang jelas yang sudah dirancang oleh negara.
“Langkah ini berguna juga untuk surveillance oleh agensi terkait untuk memastikan pengawasan tentang perkembangan perilaku mereka setelah kembali ke Tanah Air,” tuturnya.
Kemudian, setelah kembali menetap di tanah air, pemerintah harus sudah memikirkan segala bentuk ekses negatif yang mungkin terjadi akibat perlakuan negara terhadap mereka.
Perlakuan yang terlalu istimewa bisa memicu kecemburuan di kalangan masyarakat lain dan bahkan menyuburkan semangat untuk bergabung dengan jaringan teroris karena merasa teroris dapat diampuni. Hal macam ini harus sudah menjadi bagian dari pertimbangan.
Sebaliknya, kata dia, kalau perlakuan negara terlalu dianggap kejam, maka hal itu akan menjadi dendam sejarah yang terwariskan pada generasi berikutnya dalam keluarga eks ISIS. "Artinya, kita sedang memelihara bom waktu," kata Boni.
Selanjutnya, seluruh rangkaian repatriasi sebaiknya menjadi kewenangan penuh pihak keamanan dan badan intelijen tanpa eksposur media untuk menghindari efek berita yang tidak positif.
Pemerintah Bersama legislatif memikirkan aturan hukum atau legislasi dan regulasi yang tepat untuk repatriasi. Sedangkan institusi keamanan seperti Kepolisian bekerja sama dengan BNPT dan BIN berperan aktif dalam seluruh rangkaian repatriasi bersama kementerian dan lembaga negara lain yang relevan.
Menurut Boni, sejahat apapun seorang warga negara, harus selalu ada ruang pengampunan di ranah hukum positif. Meski begitu, harus diakui repatriasi eks teroris tidak mudah. Dilemanya cukup serius karena di satu sisi, meskipun mereka memiliki hak asasi yang perlu dilindungi negara, mereka juga berpotensi menjadi masalah bagi keselamatan banyak orang.
Di lain sisi, negara akan tampak kehilangan kualitas moralnya ketika membiarkan warganegaranya melarat di luar negeri meskipun karena kesalahannya sendiri. “Dalam situasi seperti ini perlu ada jalan tengah,” ujarnya. (Ant)