close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Mantan Dirut PLN Sofyan Basir mengikuti sidang dengan agenda pembacaan putusan atau vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (4/11). /Antara Foto
icon caption
Mantan Dirut PLN Sofyan Basir mengikuti sidang dengan agenda pembacaan putusan atau vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (4/11). /Antara Foto
Nasional
Selasa, 12 November 2019 21:19

Yang luput ditimbang hakim dalam vonis bebas Sofyan Basir

Ada sembilan pertemuan antara Sofyan Basir, Eni Maulani Saragih, dan pengusaha Johannes Kotjo.
swipe

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesian Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun menilai, majelis hakim pengadilan Tipikor tidak mempertimbangkan sejumlah fakta penting saat memvonis bebas Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir dalam perkara suap proyek PLTU MT Riau.

Menurut Tama, hakim Pengadilan Tipikor luput menyoroti sejumlah pertemuan yang terjadi antara Sofyan Basir, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, dan pengusaha penyuap Eni, Johannes Budisutrisno Kotjo. 

"Dalam hal kewajaran saja, ada direktur BUMN bicara soal proyek di BUMN itu sendiri melibatkan anggota DPR RI, dan pengusaha, membicarakan soal penunjukan langsung sebuah proyek. Dari sana saja sudah mulai kelihatan terindikasikan bahwa memang ini sesuatu hal yang tidak tepat," kata Tama saat dihubungi oleh Alinea.id, Selasa (12/11).

Sofyan divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor, Senin (4/11) lalu. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan eks Dirut BRI itu tidak terbukti membantu Eni menerima suap dan tidak mengetahui pemberian duit suap dari Johannes Kotjo kepada Eni.  

Dalam dakwaan dan sejumlah fakta persidangan, setidaknya terdapat sembilan kali pertemuan antara Sofyan, Eni, dan Johannes Kotjo. Kesembilan pertemuan itu berlangsung di berbagai tempat, mulai dari kediaman Setya Novanto hingga di ruang kerja Sofyan. Pertemuan itu terjadi dalam kurun dua tahun, yakni dari 2016 hingga 2018.

"Nah kedepan, kalau memang pertimbangan ini tidak dilihat oleh hakim, maka akan banyak direksi BUMN (badan usaha milik negara) melakukan hal serupa. Ini kan bagian dari pelanggaran hukum," terang Tama.

Lebih jauh, Tama menilai, perbuatan pembantuan Sofyan semakin terlihat jelas ketika mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) itu langsung menandatangani Power Purchased Agreement (PPA) proyek PLTU MT Riau-1 sebelum letter of intent (LOI) disepakati. Bahkan, kesepakatan PPA itu dibuat dengan tanggal maju atau backdate.

Dalam surat dakwaan Sofyan, kesepakatan PPA Proyek tersebut diteken pada tanggal 6 Oktober 2017. Padahal, proyek IPP baru ditandatangani Supangkat Iwan Santoso selaku Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN (Persero) dan Dwi Hartono selaku perwakilan perusahaan konsorsium pada tanggal 17 Januari 2018.

"Nah, biasanya kan ada (caranya) bagaimana menjelaskan tanda tangan mengenai backdate tersebut kan. Seharusnya ini juga diperhatikan oleh majelis hakim," ujar Tama.

Tama mengatakan, kesepakatan perjanjian PPA itu juga menunjukkan bahwa Sofyan melanggar aturan internal PT PLN. Sebelum menyepakati perjanjian PPA tersebut, menurut dia, seharusnya Sofyan membahasnya dulu di tingkat direksi. 

"Padahal, ada Pasal 11 butir 12 dalam ketentuan anggaran dasar PT PLN, dirut berhak dan berwenang bertindak untuk dan atas nama direksi serta mewakili perseroan dengan ketentuan semua tindakan direktur tersebut telah disetujui dalam rapat direksi. Nah, ini kan penting harus disampaikan," jelas Tama.

KPK akan layangkan kasasi

Terpisah, Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan, hingga kini KPK belum menerima salinan putusan hakim yang membebaskan Sofyan dari segala tuntutan. Namun demikian, Febri memastikan bakal melayangkan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). 

"Sebenarnya untuk pernyataan kasasi itu kan ada batas waktu 14 hari. Jadi, paling lambat sebelum 18 November. Tentu kami akan menyampaikan sikap kasasi itu secara resmi sekaligus juga proses lebih lanjut adalah menyerahkan memori kasasinya," ungkap Febri di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (12/11). 

Menurut Febri, KPK telah mengidentifikasi sejumlah fakta hukum yang dianggap luput dari pertimbangan hakim. "Ada terkait dugaan pengetahuan terdakwa terhadap praktik suap atau motivasi dari Eni Saragih ketika meminta bantuan dan bertemu berulang kali, termasuk juga mengurusi kepentingan Johannes Kotjo," jelas dia. 
 

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan