Cerita mereka yang 'mendadak' jadi kader parpol jelang Pemilu 2024
Izul tak bisa menahan kekesalannya saat menemukan nomor induk kependudukan (NIK) miliknya ada dalam situs khusus yang dibikin Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di situs itu, ia terdata sebagai salah satu kader Partai Gelora. Padahal, ia merasa tak pernah berhubungan dengan partai besutan Anis Matta itu.
"Data NIK saya sudah digunakan tanpa izin oleh Gelora untuk kepentingan politik," kata Izul saat berbincang dengan Alinea.id, Jumat (9/8).
Izul memeriksa NIK miliknya di situs KPU, pekan lalu. Ia tergugah melakukan itu setelah unggahan figur muda Nahdlatul Ulama Ainun Najib di Twitter. Dalam unggahan itu, Ainun memaparkan laporan warga yang kebingungan karena identitas dirinya dicatut partai politik.
"Dari situ, saya langsung cek NIK saya di situs KPU. Eh, ternyata nama saya terdata sebagai anggota Gelora," ujar warga Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, itu.
Izul tentu saja jengkel. Ia mengaku alergi dengan partai politik. Ia khawatir pencatutan nama itu bakal menimbulkan beragam persoalan di masa depan.
"Sebagai contoh, kalau kita mau daftar CPNS (calon pegawai negeri sipil), kan harus terbebas dari partai politik mana pun. Lah, kalau begini, bagaimana? Nama saya ada di Gelora," ujar Izul.
Usai mengetahui namanya dicatut sebagai anggota Gelora, Izul langsung melaporkan ke KPU. Ia meminta namanya dikeluarkan dari keanggotaan Partai Gelora. "Saya enggak pernah sama sekali bersentuhan dengan Gelora," imbuh Izul.
Izul tak tahu bagaimana Partai Gelora bisa mendapatkan nama dan NIK-nya. Ia menduga data pribadi dan NIK-nya termasuk dalam data pemilih tetap (DPT) KPU yang belakangan santer dikabarkan diretas. "Kayaknya karena bocor terus dijual, terus sampai ke tangan Gelora," kata dia.
Nasib serupa dialami Fikri Abdillah warga Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Di situs KPU, Fiqri terdata sebagai anggota Partai Keadilan Persatuan (PKP). Padahal, ia tak pernah mendaftar jadi kader di partai yang kini dipimpin Yussuf Solichien itu.
Fikri mengetahui datanya "disalahgunakan" setelah melihat rentetan komentar warganet di Twitter, awal September lalu. Warganet marah lantaran data mereka dipakai seenaknya oleh parpol.
"Dari situ (media sosial), saya langsung cek pada hari itu juga di situs KPU," kata Fikri kepada Alinea.id, Senin (12/8).
Fikri tak tahu kenapa ia bisa "mendadak" jadi kader PKP. Ia menduga datanya termasuk dalam data yang diretas dan diperjualbelikan. "Kayaknya dari salah 1 provider kartu SIM," ujar dia.
Seperti Izul, Fikri juga khawatir pencatutan nama itu bakal menimbulkan persoalan. Ia terutama takut nama dan datanya disalahgunakan untuk penipuan dan kejahatan berbasis digital.
"Artinya kan data kita diperjualbelikan. Imbasnya, bisa ke spam, phising, dan data-data penting bisa jadi juga bisa diretas," kata Fikri.
Fiqri mengaku sudah melaporkan pencatutan nama itu ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Ia meminta namanya dikeluarkan dari daftar kader PKP. Namun, laporan itu belum diproses petugas Bawaslu.
Partai Gelora dan PKP tercatat dalam 24 parpol calon peserta Pemilu 2024 yang berkasnya dinyatakan lengkap oleh KPU pada Agustus lalu. Partai Gelora parpol anyar, sedangkan PKP sudah pernah ikut pemilu sebelumnya.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gelora Mahfuz Sidik mengakui ada kesalahan data yang di-input ke sistem informasi partai politik (Sipol) KPU. Ia mengklaim kekeliruan itu diketahui setelah Gelora memverifikasi ulang data kepengurusan. Namun, data itu sudah terlanjur masuk Sipol KPU.
"Kami melakukan verifikasi terhadap semua anggota yang terdaftar di database keanggotaan. Walhasil, ada tingkat kesalahan juga, semisal data yang tidak lengkap, data yang tidak bisa diverifikasi kebenaran atau keberadaan orangnya," kata Mahfuz saat dikonfirmasi Alinea.id, Senin (12/8).
Mahfuz menduga kesalahan terjadi karena rekrutmen anggota secara daring yang digelar Partai Gelora sejak dua tahun lalu. Dalam rekrutmen itu, Partai Gelora mewajibkan setiap anggota menyertakan surat pernyataan bersedia menjadi kader.
"Tapi, tidak semua bisa terlaksana. Jadi, memang ternyata ada error dengan tingkat atau jumlah tertentu. Sekitar 2-3% yang tidak terverifikasi. Yang sudah terinput ke Sipol KPU akan di TMS-kan (tidak memenuhi syarat) dan diganti dengan KTA (kartu tanda anggota) baru," ujar mantan anggota DPR RI itu.
Alinea.id juga sudah mencoba mengklarifikasi dugaan pencatutan nama warga sebagai kader parpol kepada Sekjen PKP Syahrul Mamma. Namun, Syahrul menolak berkomentar.
Publik diminta proaktif
Anggota Bawaslu Divisi Penanganan Pelanggaran dan Data Informasi, Puadi mengatakan Bawaslu telah menerima sebanyak 212 laporan dari masyarakat yang mengeluhkan nama dan NIK mereka dicatut sejumlah parpol sebagai kader parpol-parpol itu.
Selain masyarakat umum, Bawaslu juga menemukan sebanyak 282 pegawai Bawaslu di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota yang tercantum dalam keanggotaan kepengurusan partai di Sipol KPU.
"Oleh karena itu, Bawaslu telah memberikan saran perbaikan agar KPU melakukan penghapusan nama atau NIK tersebut dari Sipol agar tidak merugikan masyarakat," kata Puadi saat dihubungi Alinea.id, Senin (12/8).
Bawaslu, kata Puadi, sudah mengeluarkan seperangkat aturan untuk mengatasi persoalan itu. Juli lalu, misalnya, Bawaslu telah merilis Surat Edaran (SE) Nomor 16 Tahun 2022 Tentang Pencegahan Terhadap Dugaan Pelanggaran dan Potensi Sengketa Proses Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2024.
Dalam SE itu, Bawaslu provinsi, kabupaten, dan kota diminta untuk memastikan jaminan terhadap perlindungan hak individu dalam hal penyalahgunaan data dan identitas yang berkaitan dengan pemenuhan persyaratan keanggotaan partai politik.
"Selain itu, Bawaslu juga telah menerbitkan Surat Instruksi Nomor 2 Tahun 2022 yang menginstruksikan untuk melakukan sosialisasi atau imbauan kepada masyarakat untuk memastikan nama dan data pribadi tidak tercantum dalam keanggotaan atau kepengurusan partai politik dalam Sipol," kata Puadi.
Selain mengeluarkan seperangkat aturan, Puadi mengatakan, Bawaslu juga telah membuka posko pengaduan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Ia juga menyarankan masyarakat proaktif melaporkan dugaan pencatutan nama ke KPU sebagaimana diatur dalam Pasal 140 PKPU 4/2022.
"Segera dilakukan sampai dengan sebelum penetapan partai politik peserta pemilu untuk dilakukan klarifikasi dan hasilnya menjadi bahan pertimbangan dalam penetapan partai politik peserta pemilu nanti," tutur Puadi.
Komisioner KPU August Mellaz mengungkapkan persoalan pencatutan data masyarakat oleh partai politik sedang ditangani KPU melalui tahap seleksi administrasi. Tanpa merinci, ia mengatakan, sudah banyak masyarakat yang melaporkan namanya dicatut.
"Kalau nanti ada laporan masyarakat yang terbukti memang dicatut oleh partai, maka partai diminta untuk melakukan perbaikan. Kalau tidak sanggup, ya, nanti bisa gagal menjadi peserta pemilu," kata August kepada Alinea.id, Senin (12/8).
Menurut August, ada dua tipe penyalahgunaan data masyarakat yang dilakukan partai politik. Pertama, warga bukan kader, namun terdata sebagai anggota parpol. Kedua, masyarakat terdata sebagai anggota parpol tertentu, tetapi juga terdata sebagai anggota parpol lain.
"Tanggal 14 September akan dilakukan rekapitulasi nasional untuk verifikasi administrasi. Bukan hanya masalah keanggotaan parpol yang kita verifikasi, tapi soal kantor, pengurus, rekening dan struktur. Sampai kemudian keanggotaan partai politik yang 1 per 1.000 di setiap daerah," kata August.
Sesuai PKPU Nomor 3 Tahun 2022, proses pendaftaran dan verifikasi partai politik calon peserta Pemilu 2024 digelar pada 29 Juli hingga 14 Desember 2022. Pada pertengahan September, KPU bajal menetapkan parpol yang lolos seleksi administrasi.
"Nanti akan dilanjutkan verifikasi faktual sampai Desember. Dalam tahap sampai Desember nanti, masyarakat diharapkan aktif mengecek datanya untuk memastikan datanya tidak disalahgunakan partai," kata August.
Dalam proses verifikasi faktual, August mengatakan seluruh perangkat KPU semua di daerah bakal turun ke lapangan untuk memeriksa kebenaran semua dokumen yang diserahkan semua parpol ke KPU. "Termasuk soal keanggotaan yang sudah diperiksa berjenjang oleh KPU," tegas dia.
Usut tuntas
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agusyati memandang pencatutan data masyarakat tanpa izin merupakan fenomena yang rutin terjadi setiap menjelang pemilu. Khusus pada pemilu kali ini, fenomena itu mengemuka lantaran KPU menyediakan situs daring untuk mengecek data masyarakat yang kemungkinan disalahgunakan.
"Bisa diketahuinya ada NIK yang dicatut karena sekarang publik bisa mengakses dan cek langsung di Sipol, apakah namanya dicatut oleh parpol atau tidak. Timbul kesadaran publik untuk mengecek hal ini," kata Khoirunnisa kepada Alinea.id, Senin (12/8).
Menurut Khoirunnisa, pencatutan nama warga sebagai kader parpol menunjukkan sejumlah parpol sebenarnya tidak siap untuk jadi calon peserta Pemilu 2024. Ia menduga itu lazimnya dilakukan partai baru atau pun partai gurem yang masih minim simpatisan.
"Karena syarat untuk mendaftar jadi peserta pemilu cukup berat. Salah satunya harus punya anggota 1000 atau 1 per 1.000 dari jumlah penduduk di setiap kabupaten dan kota. Artinya, jika ada sekitar 540 kabupaten dan kota, setiap partai politik harus mengumpulkan sekitar 500-an anggota. Ini syarat yang cukup berat," kata dia.
Lebih jauh, Khoirunnisa berpendapat maraknya kasus-kasus dugaan pencatutan nama oleh parpol perlu diusut tuntas. Terlebih, fenomena itu berkelindan dengan kasus-kasus dugaan kebocoran data masyarakat yang terjadi belum lama ini.
"Sekarang kan sudah timbul kesadaran publik untuk cek namanya di Sipol. Sekarang tinggal bagaimana kesadaran publik ini bisa difasilitasi oleh penyelenggara pemilu untuk dipulihkan," kata Khoirunnisa.
Awal September lalu, muncul isu kebocoran 1,3 miliar data kartu registrasi sim prabayar. Isu kebocoran data itu terkuak setelah akun bernama Bjorka mengungkapnya dalam forum Breached.to. Sebanyak 1,5 juta data sampel yang diumbar di forum itu telah diverifikasi pakar sebagai data pengguna yang valid.
Sebelumnya, kasus pencurian data milik pelanggan dan nasabah juga sempat dilaporkan menimpa Bank Indonesia, Tokopedia, Bukalapak, BPJS Kesehatan, PLN, Pertamina. Data pribadi milik publik itu lazimnya diperjualkan situs pasar gelap digital.
Menurut Khoirunnisa, bukan tidak mungkin parpol tertentu menjadi salah satu pelanggan data-data hasil peretasan itu. "Kalau saat verifikasi nanti terbukti dukungannya tidak benar, tentu bisa jadi partai ini tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilu," kata dia.