close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi anak yatim piatu yang orang tuanya meninggal karena Covid-19. Alinea.id/Bagus Priyo
icon caption
Ilustrasi anak yatim piatu yang orang tuanya meninggal karena Covid-19. Alinea.id/Bagus Priyo
Nasional
Selasa, 27 Juli 2021 16:49

Cerita mereka yang "mendadak" yatim karena Covid-19

Jumlah anak yatim di Indonesia bakal naik signifikan seiring melonjaknya jumlah kasus Covid-19 selama dua bulan terakhir.
swipe

Rasa haru masih menyelimuti Nisa Fitriani Daud saat mengenang mendiang ayahnya. Nisa terutama kerap teringat percakapan terakhirnya dengan sang ayah via panggilan video, sekitar tiga bulan silam. Ketika itu, sang ayah tengah terbaring lemah di ruang intensive care unit (ICU) Rumah Sakit Pelni, Jakarta Barat.

“Pokoknya saya cuma bisa beraniin diri bilang ke bapak, 'Ya, bapak jangan khawatir. Bapak yang penting sembuh aja. Insyaallah aku bisa jagain adik-adik, jagain mamah, bisa sekolahin (adik) sampai selesai.' Aku juga enggak tahu sih kenapa bilang kayak gitu. Mungkin firasat kali, ya,” tutur Nisa saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (21/7).

Ucapan itu diutarakan Nisa supaya sang ayah tak stres memikirkan kondisi rumah tangga. Ketika itu, Nisa masih berharap ayahnya bisa lekas pulih dari Covid-19 yang ia derita. 

Namun, nasib berkata lain. Kondisi kesehatan sang ayah justru kian memburuk. Beberapa hari setelah percakapan terakhir itu, ayah Nisa mengembuskan nafas terakhir. 

Mendapat kabar duka itu, Nisa sempat merasa putus asa. Pasalnya, sang ayah merupakan tulang punggung keluarga. Ketika itu, bisnis yang digeluti ayah Nisa pun bangkrut. Kedua adik Nisa masih kuliah dan ia pun belum punya pekerjaan tetap. 

“Jadi, memang waktu bapak meninggal itu, hancur banget, ya. Saya juga enggak tahu harus gimana karena memang saya, di situ, kan baru selesai sekolah," kata perempuan berusia 25 tahun itu. 

Nisa tak mau pasrah dengan keadaan. Berbekal gelar sarjana ilmu kedokteran, ia lantas "berkeliling" mencari pekerjaan. Salah satu puskesmas di Kelurahan Rawamangun, Jakarta Timur, menerimanya sebagai pegawai magang. 

Peran sebagai tulang punggung keluarga pun kini diambil alih Nisa. Meski saat ini bergaji pas-pasan, Nisa bertekad untuk membiayai sekolah kedua adiknya hingga lulus bangku kuliah. "Insyaallah, kita ada rezekinya. Yang penting, mereka belajar yang benar aja," tutur Nisa. 

Pekerjaan sebagai tenaga kesehatan, kata Nisa, membantunya bangkit dari keterpurukan. Perlahan, Nisa mulai bisa meredam kesedihannya ditinggal sang ayah. Apalagi, setiap hari Nisa disibukkan dengan antrean pasien Covid-19 di puskesmas tempat dia bekerja. 

"Karena ada kesibukan juga. Jadinya, pas lagi beraktivitas, enggak kepikiran (bapak). Yang pasti sih, kalau untuk move on, pikirnya ke depan aja. Kita juga enggak bakal bisa terus-terusan berduka karena kan enggak bakal mengubah apa pun," ucap Nisa.

Nasib tak kalah menyedihkan dialami Pamungkas, 5 tahun. Bersama kakaknya, ia kini menghuni Panti Balita Madania di kawasan Maguwoharjo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Keduanya merupakan anak yatim baru yang masuk pada periode Maret-Juli 2021.

“Dia (dan kakaknya) dititipkan (ibunya) karena bapaknya baru meninggal (karena Covid-19) itu,” kata Arum Tyas, salah seorang pengurus Panti Balita Madania, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (22/7).

Menurut Arum, Pamungkas sempat jadi bocah pemurung. Saat awal masuk panti, ia tak mau bersosialisasi dengan teman sebayanya. Pamungkas lebih banyak menghabiskan waktu dengan menangis. Berulang kali, ia menanyakan keberadaan ibu kandungnya. 

“Akhirnya, kan diajak main ke atas, salat, makan. Tetapi, adiknya (Pamungkas) enggak mau makan, nangis. Tetapi, alhamdulillah setelah dua sampai tiga hari, sudah biasa saja. Dia sudah mau main sama teman-temannya," tutur Arum.

Menurut Arum, Pamungkas bisa cepat menerima kehidupan barunya lantaran rutin dihibur rekan-rekannya di panti asuhan. "Soalnya kan anak-anak di tempat kami itu lumayan aktif. Ya, kita bilangin, 'Dek, ini ada teman baru. Bareng-bareng, ya'," kata Arum.

Ilustrasi anak-anak yatim yang tinggal di panti asuhan. /Foto Pixabay

Potensi ledakan jumlah anak yatim

Data Satgas Penanganan Covid-19 per Kamis (22/7) menunjukkan setidaknya sudah ada 79.032 orang yang meninggal karena Covid-19 di Indonesia. Sekitar 14,8% atau sekitar 11.696 orang di antaranya berusia 19-35 tahun atau berada pada usia produktif.  

Berbasis angka itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti memperkirakan sudah banyak anak-anak yang kini hidup tanpa diasuh langsung oleh orang tua kandungnya selama pandemi Covid-19.

“Jumlah itu menggambarkan bahwa tidak sedikit anak-anak Indonesia yang kehilangan ayah atau ibunya atau bahkan kehilangan keduanya karena meninggal akibat sakit Covid-19," ujar Retno saat dihubungi Alinea.id, Kamis (22/7).

Jika gelombang pandemi tak kunjung surut, Retno khawatir Indonesia bakal bernasib seperti India. Per Sabtu (5/6), setidaknya ada 3.632 anak yang menjadi yatim piatu di India karena kedua orang tuanya meninggal akibat Covid-19. Sekitar 26.176 anak tercatat kehilangan salah satu orang tua. 

“Data serupa bisa saja menimpa anak-anak Indonesia pascalonjakan kasus Covid-19 di Indonesia selama dua bulan terakhir. Jadi, perlu penanganan yang manusiawi, berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan kepentingan terbaik bagi anak," kata dia. 

Menurut Retno, pemerintah perlu segera merancang program bantuan untuk melindungi anak-anak yang terdampak Covid-19, khususnya bagi mereka yang kehilangan satu atau dua orang tuanya sekaligus. Upaya itu bisa dimulai dengan memilah data pasien Covid-19 yang meninggal. 

Pemilahan data, lanjut dia, dapat dilakukan dengan memisahkan antara jumlah pasien Covid-19 meninggal pada usia produktif dan yang meninggal dengan status sebagai tulang punggung keluarga. Data anak-anak yang ditinggalkan orang tua mereka juga perlu dikompilasi. 

"Harus dilakukan pemetaan wilayah domisilinya anak-anak tersebut agar penanganannya melibatkan pemerintah daerah secara langsung. Dalam hal ini,  peran dinas dukcapil setempat bisa diaktifkan dengan dasar kartu keluarga yang diperbaharui karena ada keluarga yang meninggal,” kata Retno.

Data itu, kata Retno, bisa jadi acuan untuk penyaluran bantuan terhadap anak-anak yang orang tuanya meninggal karena Covid-19. Ia berharap pemerintah pusat dan daerah setidaknya bisa menjamin akses pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak serta memastikan mereka tetap diasuh keluarga terdekat.

“Panti asuhan seharusnya menjadi pilihan terakhir. Penanganan ini tentu memerlukan kehadiran negara serta dukungan APBN dan APBD demi kelangsungan hidup dan masa depan anak-anak yang masih di bawah umur,” ucap Retno.

KPAI, lanjut Retno, juga meminta pemerintah mengawasi praktik-praktik menyimpang dalam mengadopsi anak. Ia khawatir kasus-kasus perdagangan anak dan pelecehan anak di bawah umur kian marak saat pandemi. "Ini seiring maraknya permohonan adopsi anak di media sosial," kata dia. 

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan potensi ledakan populasi anak yatim piatu perlu disikapi secara serius. Menurut Arist, anak yatim piatu yang lahir karena pandemi Covid-19 merupakan generasi penerus bangsa yang perlu dikelola. 

“Berarti banyak anak telantar kan (karena orang tuanya meninggal akibat Covid-19). Kalau negeri ini diisi oleh anak telantar bagaimana? Ya, tentu dampaknya jadi anak telantar,” ujar Arist saat dihubungi Alinea.id, Kamis (22/7).

Mencuplik data Kementerian Sosial (Kemensos), Arist mengatakan, jumlah balita telantar sebelum pandemi mencapai 3.488.309 orang. Angka ini diyakini bakal membengkak bila anak-anak telantar di atas umur lima tahun turut terdata.

"Itu sebelum ada corona. Apalagi, kalau corona (saat ini) dan kita tidak atasi. Seperti pengalaman India, ya, akan ada banyak anak telantar yang menjadi beban bagi negara," ujar Arist.

Arist mengajak seluruh pihak, termasuk masyarakat umum, berperan serta memutus mata rantai penularan Covid-19. Menurut dia, itu merupakan cara yang paling efektif mencegah terkatrolnya angka kematian orang tua. "Ini (naiknya jumlah yatim-piatu) sudah menjadi ancaman," imbuh dia.

Ilustrasi anak-anak yang terdampak pandemi Covid-19 di Indonesia. /Foto Antara

Baru sebatas kumpulkan data 

Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar mengaku kementeriannya tidak punya  program bantuan langsung kepada anak yang kehilangan orang tua akibat Covid-19. Sesuai tugas utamanya, Kementerian PPPA fokus pada perumusan kebijakan perlindungan anak.

"Lalu, terkait upaya penanganan anak, tentu kita melengkapi kebijakan-kebijakan yang belum ada. Contohnya, mengawali pandemi 2020, kita keluarkan protokol terkait pengasuhan,” tutur Nahar saat dihubungi Alinea,id, Kamis (22/7).

Menurut Nahar, Kementerian PPPA telah mengeluarkan sejumlah produk kebijakan dalam melindungi anak selama pandemi Covid-19. Salah satunya ialah layanan saluran siaga 129. Lewat saluran itu, warga bisa melaporkan langsung permasalahan perempuan dan anak kepada Kementerian PPPA. 

“Hal-hal yang terkait perempuan dan anak-anak, diantaranya ketika ada masalah terkait pengasuhan. Selain itu, ada program di daerah terkait pusat pembelajaran keluarga. Itu juga untuk mendorong kualitas pengasuhan keluarga yang layak. Terus, ada sosialisasi, penguatan kapasitas, keluarga, orang tua dalam memberi pengasuhan," tutur dia. 

Infografik Alinea.id/Bagus Priyo

Ihwal data anak-anak yatim piatu atau yang kehilangan salah satu orang tua karena Covid-19, Nahar mengaku Kementerian PPPA belum memilikinya. Namun, ia menegaskan pemerintah tengah berupaya untuk mengumpulkan data tersebut. 

"Kita juga sudah bersurat juga ke daerah-daerah untuk meminta data itu. Semoga nanti, dari data yang terkumpul itu, kita bisa tindak lanjuti dengan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan," ujar Nahar. 

Kepada Alinea.id, mantan Direktur World Health Organization (WHO) Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama mengatakan pemerintah perlu meracik kebijakan penanganan Covid-19 yang lebih baik. Dengan begitu, persoalan-persoalan turunan seperti meledaknya populasi yatim piatu tidak akan lahir pascapandemi. 

"Lebih bagus kita bicara bagaimana kita menanggulangi (Covid-19) supaya ini jangan lebih berat lagi. Karena kita enggak tahu (ledakan populasi anak yatim piatu) bisa terjadi atau enggak? Yang jelas, kita harus berupaya saja supaya (kasus Covid-19) ini tidak naik lagi,” ujar Tjandra. 

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan