close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Rafale, jet tempur serbaguna diproduksi Dassault Aviation yang berbasis di Prancis dan dibeli Indonesia sebagai upaya modernisasi alutsista. Unsplash
icon caption
Rafale, jet tempur serbaguna diproduksi Dassault Aviation yang berbasis di Prancis dan dibeli Indonesia sebagai upaya modernisasi alutsista. Unsplash
Nasional
Jumat, 11 Februari 2022 18:12

Yang perlu diperhatikan RI usai membeli Rafale-Scorpene

MRO, kemampuan sapras, dan SDM menjadi beberapa hal yang disoroti pengamat militer ISESS, Khairul Fahmi.
swipe

Pemerintah perlu memperhatikan beberapa hal menyusul adanya perjanjian kerja sama dengan Prancis dalam pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista), khususnya 42 Rafale secara bertahap dan dua Scorpene.

Selain pembelian, pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menyatakan, pemerintah perlu memastikan pemeliharaan dan perawatan (maintenance, repair, and overhaul/MRO), kemampuan sarana prasarana (sapras), serta sumber daya manusia (SDM) pengelola alutsista.

"Penting untuk memastikan ketersediaan anggaran yang memadai dan kedisiplinan pengelola dalam hal itu, termasuk juga kedisiplinan pengelolaan dalam hal itu penting untuk dipastikan dengan baik," ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (11/2).

Sebab, ungkapnya, potensi kefatalan yang mengakibatkan kerugian dan korban jiwa akan selalu membayangi apabila ketersediaan anggaran yang memadai dan kedisiplinan dan pembinaan kemampuan terabaikan. "Itu dapat terjadi [meskipun] secanggih apa pun, sebaru apapun alat utama sistem persenjataan yang digunakan."

Khairul pun mengingatkan pemerintah untuk mewujudkan target industri pertahanan yang kuat dan kemandirian alutsista pada masa depan. Hal ini perlu direalisasikan agar Indonesia tidak bergantung dengan negara tertentu dalam pemenuhan kebutuhan alutsista.

Menurutnya, perluasan kerja sama pengadaan alutsista dengan Prancis, yang sebelumnya dengan Amerika Serikat (AS), Rusia, Inggris, dan Korea, bakal memperkaya pengalaman dan kemampuan dalam negeri.

"Apalagi, kerja sama ini juga dibarengi dengan banyak rencana kerja sama lain yang terkait dengan transfer teknologi, kolaborasi riset maupun pengembangan alutsista, dan pembangunan fasilitas MRO," jelasnya. "Kalau ini terwujud, tentu akan meningkatkan efisiensi dan menjadi nilai tambah yang signifikan."

Oleh karena itu, Khairul menekankan pentingnya mewujudkan MRO terwujud agar Indonesia bisa menjalankan pemeliharaan dan perbaikan sepenuhnya di dalam negeri, termasuk Rafale dan pesawat-pesawat lainnya yang sudah dan akan dibeli dari Prancis.

"Tapi, tidak boleh dilupakan juga untuk memastikan kesiapan PTDI (PT Dirgantara Indonesia) dan industri penerbangan dalam negeri untuk mempersiapkan diri dan kemampuannya menjalankan skema itu," katanya mengingatkan.

Tantangan dan kendala
Di sisi lain, Khairul memaklumi jika Indonesia hanya mampu membeli enam Rafale pada tahap awal dari total komitmen 42 unit. Pangkalnya, tidak mudah melakukan modernisasi alutsista di tengah keterbatasan anggaran dan pandemi Covid-19 yang tidak kunjung reda.

"Dibutuhkan ruang fiskal yang memadai untuk menjawab harapan masyarakat agar TNI dapat segera menggunakan alutsista muda, berteknologi terkini, dan mumpuni," ungkapnya.

Karenanya, dirinya beranggapan, pembelian enam Rafale sebagai upaya modernisasi alutsista dengan memperhitungkan kondisi keuangan negara.

"Jika tidak [memperhatikan kondisi keuangan negara], maka bukan hanya enam yang akan dibeli saat ini, tapi bisa lebih dari itu mengingat kondisi alutsista udara kita yang penuh keterbatasan," ucapnya.

"Dan pembelian itu tentunya dilakukan setelah mendapatkan persetujuan pembiayaan dari Kementerian Keuangan. Untuk ini, saya harus apresiasi Menhan (Menteri Pertahanan), Prabowo, yang sudah berhasil meyakinkan disetujuinya rencana pembelian," imbuhnya.

Urgensi modernisasi alutsista
Pembelian Rafale pun dianggapnya sebagai langkah tepat. Pangkalnya, sekalipun ada keterbatasan anggaran dan berbagai tantangan lainnya, tetap penting mendapatkan alutsista dengan spesifikasi tinggi dan dapat digunakan untuk berbagai misi (multimission) guna melengkapi dan memperkuat pertahanan kita dan efektivitasnya. 

"Mengingat banyaknya tantangan dalam menegakkan kedaulatan dan menjaga keamanan perairan, juga penting bagi kita untuk memprioritaskan tambahan alutsista laut yang memiliki efek deterens paling tinggi, yaitu kapal selam. Dalam hal ini, Scorpene sangat layak kita miliki," sambungnya.

Khairul menerangkan, tantangan dan ancaman yang dihadapi Indonesia, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam menjaga kedaulatannya tidak terbilang kecil. Dicontohkannya dengan anggaran pengadaan alutsista negara-negara lain.

Berdasarkan data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), bebernya, AS, Tiongkok, India, Rusia, dan Inggris tergolong lima negara besar yang terus meningkatkan belanja pertahanannya.

"Mereka mewakili sekitar 62% anggaran belanja militer global. Tiongkok bahkan terus mencatat kenaikan signifikan sepanjang 26 tahun terakhir. Bila tidak memiliki pertahanan yang kuat, Indonesia tidak memiliki posisi tawar dalam menghadapi dinamika lingkungan strategis," tegasnya.

Oleh sebab itu, Indonesia berada dalam posisi sulit dan dilematis. Dengan demikian, menurut Khairul, tidak bisa lagi membenturkan antara urgensi pembangunan kesejahteraan dengan upaya menjaga kemampuan pertahanan untuk menangkal gangguan dan ancaman terhadap kedaulatan negara.

"Perang, bagaimanapun harus selalu diposisikan mungkin hadir dan terjadi. Karena itu, pembangunan kekuatan dan kemampuan pertahanan merupakan salah satu cara untuk memperkecil ancaman terjadinya perang," tandasnya.

img
Fatah Hidayat Sidiq
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan