close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Logo KPK. Foto istimewa
icon caption
Logo KPK. Foto istimewa
Nasional
Kamis, 23 November 2023 13:26

Yang terjadi di KPK akibat revisi UU KPK dan menempatkan orang tak berintegritas

Ada pembusukan KPK dari internal dan bukan karena serangan dari luar. Hal itu sangat disayangkan.
swipe

Polda Metro Jaya menetapkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan atau penerimaan gratifikasi, atau penerimaan hadiah, atau janji pegawai negeri, atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo.

Syahrul Yasin Limpo (SYL) sendiri telah resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi KPK pada 11 Oktober 2023. SYL diduga terlibat dalam aksi pemerasan dan penerimaan gratifikasi di Kementerian Pertanian.

Polda Metro Jaya menduga Firli Bahuri melanggar sejumlah pasal yakni, Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 65 KUHP.

Berbeda dengan sebelumnya, pada saat ini, hampir tidak ada masyarakat sipil yang berteriak lantang membela KPK. Kondisi itu jauh berbeda ketika terjadi permasalahan antara Mabes Polri dengan KPK yang kita kenal sebagai cicak vs buaya yang jumlahnya berjilid-jilid.

Mengapa begitu? Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman mengatakan, penetapan Firli Bahuri merupakan kabar baik bagi pemberantasan korupsi. Karena sangat berbahaya jika ada orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tetapi disaat yang sama memegang jabatan sebagai pimpinan KPK. 

"Tetapi, selain sebagai kabar baik bagi pemberantasan korupsi. Juga bisa dikatakan sebagai kabar buruk. Karena ternyata, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia justru diduga menimbulkan korupsi baru. Ini sekali lagi menunjukkan betapa carut marutnya dunia penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia," kata dia saat dihubungi Alinea.id, Kamis (23/11).

Kejadian ini dinilai bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Melainkan kulminasi dari berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan Firli Bahuri sejak awal. Sehingga, runtutan peristiwanya harus ditarik jauh ke belakang. Masyarakat tidak bisa melihatnya saat ini saja. 

Firli Bahuri sejak awal memang menjadi masalah karena pernah melanggar etik. Sejak masih menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, Firli Bahuri ketahuan bertemu dengan pihak terkait berperkara. Sempat dijatuhi sanksi etik. Tetapi sebelum sanksi itu dijatuhkan, Polri menarik kembali yang bersangkutan. Lantas ketika Firli Bahuri menjabat sebagai pimpinan KPK, kebiasaan lamanya ternyata tidak hilang. Di mana, masyarakat masih bisa menyaksikan ketika Firli tersandung kode etik karena naik helikopter dan diyakini masih banyak perilaku lain yang lolos dari perhatian pbulik.

"Sejak awal elite politik Indonesia itu sepertinya menghendaki sosok problematik ini menjadi pimpinan KPK. Kemudian dipadukan dengan revisi UU KPK yang membuat kedudukan KPK semakin di bawah pemerintah. Akhirnya revisi UU KPK serta konfigurasi pimpinan KPK menjadi duet maut terjadinya kondisi sekarang," ucap dia.

Hal itu sekaligus membuktikan bahwa proses pemilihan pimpinan KPK melalui pansel memang menimbulkan persoalan dikemudian hari. Masyarakat juga bisa melihat kalau revisi UU KPK membuahkan kerusakan di tubuh KPK. Hal itu terjadi karena KPK berada di bawah eksekutif dan tidak bebas dari campur tangan kekuasaan.

Situasi ini seharusnya menjadi momentum yang baik untuk memikirkan kembali pemberantasan korupsi melalui KPK. Khususnya, terkait kelemahan KPK dengan meninjau kembali UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Tentu saya berharap UU KPK ini direvisi kembali dengan mengembalikan indepedensi KPK. Kalau mau ada perubahan-perubahan, ubahlah menjadi jauh lebih baik dengan mengacu kepada the United Nations Convention against Corruption. Misalnya, dengan memberikan imunitas dalam hal pelaksanaan tugas tetapi juga penetapan kode etik yang lebih keras," kata dia. 

Hampir senada, Sekretaris Jenderal Transparency Internasional Indonesia (TII) Danang Widoyoko menyebutkan, masyarakat sipil sudah lama memprediksi kalau peristiwa seperti ini bakal terjadi. Ini karena sejak awal masyarakat sipil sudah mempertanyakan integritas Firli Bahuri saat masih dalam proses seleksi pimpinan KPK. Tetapi ternyata, pansel tetap mendorong Firli Bahuri dan hingga menjabat sebagai Ketua KPK.

"Sebelumnya kami telah mempertanyakan integritas sosok Firli Bahuri. Tetapi pansel justru terus mendorong. Jadi saya melihat ada kompromi politik di sini. Bukan mengutamakan integritas dan sekarang terbukti. Ini bom waktu yang ditinggalkan pansel bentukan Jokowi. Hal lainnya adalah adanya revisi UU KPK," ucap dia saat dihubungi Alinea.id.

Revisi UU KPK dan penempatan orang yang tak berintegritas menyebabkan terjadinya pembusukan KPK. Ada pembusukan KPK dari internal dan bukan karena serangan dari luar. Hal itu sangat disayangkan. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan masyarakat sipil tidak membela Firli Bahuri pada saat ini. Walaupun sebenarnya masyarakat sipil berharap agar KPK masih menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

"Dulu dibela karena mereka masih menerapkan standar integritas. Kasus yang dialamatkan ke KPK pun dicari-cari. Jadi yang dulu itu integritasnya dan sangat kental dengan muatan politisnya. Kalau sekarang tidak. Malah ada foto ketika Firli bertemu dengan SYL. Kami sendiri tidak berurusan dengan politik dalam menyikapi setiap kasus yang dihadapi KPK," ucap dia.

Jadi ke depan, Danang berharap agar pemilihan pimpinan KPK memperhatikan integritas calon pimpinan KPK dan itu tidak bisa ditawar. Di sisi lain, integritas internal KPK harus kembali ditingkatkan. Sehingga tidak ada lagi informasi ada unsur pimpinan atau pegawai KPK yang bermain golf dengan orang berperkara. Jika itu tidak dilakukan, maka bakal mengurangi kepercayaan masyarakat kepada KPK.

"Kalau mau dilakukan secara fundamental, maka revisi UU KPK perlu menjadi opsi. Memang ini membutuhkan waktu lama," ucap dia.

Wakil Sekretaris Jenderal FITRA Ervyn Kaffah pun menyebut, kalau penetapan Firli Bahuri sebagai tersangka menjadi bagian akhir atau titik kulminasi runtuhnya kredibilitas KPK sebagai lembaga independen pemberantas korupsi yang telah berjalan beberapa tahun terakhir. 

Mengeroposnya krebilitas KPK telah diawali dengan keberhasilan sejumlah kelompok untuk memperlemah KPK melalui revisi UU KPK pada 2017, yang berakibat KPK berada di bawah kendali eksekutif dan kelompok politik tertentu. Itu jauh berbeda dengan visi awal KPK sebagai lembaga independen pemberantasan korupsi. Pelaksanaan tugas KPK selama beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa KPK telah menjadi proxy (alat politik) kelompok tertentu,  untuk menekan kelompok lain yang memiliki kepentingan berbeda atau mengancam kepentingannya. 

"Saya mengingatkan masyarakat untuk terus  menjaga dan memperkuat KPK. Namun cara berpikirnya mestinya tidak incremental dan parsial. Perlu melakukan dekonstruksi atas eksistensi KPK sebagai lembaga penegak hukum dalam arsitektur pemberantasan korupsi di Indonesia. Penguatan KPK harus ditempatkan dalam kerangka pengembalian KPK sebagai lembaga independen pemberantasan korupsi di Tanah Air sebagaimana visi awal saat pembentukan KPK pada 2003," papar Ervyn. 

Terkikisnya kepercayaan publik kepada KPK memang diakui Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI MPO) Mahfut Khanafi. Mahfut mengatakan, kasus ini tidak hanya mencoreng lembaga pemberantasan korupsi, tetapi juga semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga antirasuah ini. 

"Apabila ini benar, tentu sangat memalukan dan menciderai nilai institusi pemberantasan korupsi yang selama ini menjadi kuda pacu penangkapan koruptor" ujar Mahfut.

Apalagi KPK didirikan atas dasar kebutuhan mendirikan lembaga yang dapat menjadi harapan terakhir untuk memberantas para koruptor baik ditingkat bawah maupun elite. Namun, hari ini masyarakat kecewa karena embaga ini ternyata mal fungsi. Maka dia juga menyarakan perlu ada evaluasi di tubuh institusi KPK.

Ada baiknya Ketua KPK segera mundur dari posisinya saat ini. Hal ini tertuang dalam pasal 32, UU 19/2019 tentang Perubahan Kedua UU KPK. Secara rinci, pasal 32 ayat (2) UU KPK menyebut pimpinan KPK yang berstatus tersangka harus diberhentikan sementara dari jabatannya.

img
Hermansah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan