Yang terluka dan yang terpisah karena maut Covid-19
Tangis Rian Supriatna, 22 tahun, pecah. Di depan pusara mendiang kekasihnya itu, ia terus meratap dan merapal doa. Sesekali, ia mengusap nisan dan meminta maaf kepada jasad yang terkubur di bawah tanah itu.
"Hari ini, dua tahun yang lalu, saya kehilangan dia," ungkap Rian saat berbincang dengan Alinea.id di kompleks pemakaman umum Tegal Alur, Kalideres, Jakarta Barat, Minggu (2/10) petang itu.
Tertulis dalam huruf kapital berkelir emas pada nisan itu: Fitria Supriatna. Sang ahli kubur meninggal pada 1 Oktober 2020. Usianya baru 19 tahun.
Rian bercerita Fitria meninggal karena mengidap Covid-19. Semalam, sang kekasih mengunjungi Rian lewat mimpi. Fitri, sapaan akrab Fitria semasa hidup, berkeluh kesah karena telah lama tak ditengok Rian.
"Biasanya, sebulan sekali, saya sempatkan datang ke makam. Kalau saya lama enggak ke sini, saya suka terus dimimpiin," ujar pria sehari-hari bekerja sebagai petugas keamanan di salah satu pusat grosir di Tebet, Jakarta Selatan itu.
Bagi Rian, kepergian sang kekasih kala itu terasa tiba-tiba. Rian bahkan masih ingat detail hari-hari terakhir bersama Fitri. Tiga hari sebelum meninggal, Rian masih intens mengobrol dengan Fitri via aplikasi WhatsApp.
Dalam obrolan itu, Rian sudah mengucap janji untuk mengapeli Fitri ke rumah sakit tempat dia dirawat. "Terus, dia masih manja-manjaan ke saya dan minta dibawa pulang," kenang Rian.
Hari untuk apel pun tiba. Seperti biasa, Rian mengucap selamat pagi untuk sang kekasih via pesan WhatsApp. Namun, balasan yang ia terima dari Fitri terkesan janggal. "Iya, selamat pagi juga, Bapak," ujar Rian menirukan bunyi pesan itu.
Rian langsung merasa ada yang tak beres. Itu bukan cara Fitri membalas pesan. Ia menerka Fitri sedang tak baik-baik saja sehingga ponselnya dipegang orang lain, entah itu suster atau dokter.
Di sela-sela rehat dari tugasnya berjaga, kabar buruk itu pun tiba. Sekitar pukul 09.00 pagi, ibunda Fitria menghubungi Rian. Sang kekasih ternyata baru saja menghembuskan nafas terakhirnya.
"Seketika, saya roboh... Ibunya bilang, 'Rian, Fitria sudah enggak ada.' Sejak itu, saya merasa seperti kehilangan motivasi hidup," tutur Rian.
Rian mengenal Fitri saat sama-sama bersekolah di SMK Tunas Harapan, Jakarta Barat sekitar lima tahun silam. Fitri salah satu adik kelas dia. Sejak pertama kali kenal, Rian langsung terpikat. Keduanya sepakat menjalin kasih.
Hubungan mereka kian serius usai Rian lulus SMK dan diterima kerja. Kepada orang tua Fitri, Rian bahkan telah mengungkap keinginannya untuk meminang sang kekasih. Orang tua Fitri telah setuju, begitu pula orang tua Rian.
Untuk "membiayai" realisasi mimpi itu, Rian pontang-panting cari duit. Ia berulang kali lembur. "Saya rencana sehabis Lebaran 2021 itu mau lamaran. Terus, Oktober atau November nikahnya," kenang Rian.
Biaya nikah itu, kata Rian, sudah ia kantongi saat Fitri meninggal. Ia menyimpannya di rekening khusus. Hingga kini, Rian tak mau menyentuhnya.
"Saya memang masih kebayang-bayang dia. Tapi, dia sih lewat mimpi bilang biar saya move on. Saya disuruh cari (kekasih) yang baru. Tapi, saya belum mau sepenuhnya terima dia pergi," ujar Rian.
Ditinggal saat hamil
Kehilangan orang terkasih akibat Covid-19 juga menjadi kepiluan bagi Prisca Juniver, 31 tahun. Istri dari pengamat politik Wempy Hadir itu mendadak jadi orang tua tunggal usai Wempy meninggal karena Covid-19 pada 23 Juli 2021.
"Saya shock, bahkan sempat enggak terima keadaan. Saya ternyata hamil usia empat minggu saat Wempy meninggal. Wempy juga enggak tahu kalau keadaan saya lagi hamil. Saya juga sempat enggak tahu kalau saya lagi hamil. Saya pikir cuma kecapekan saja," kata Prisca kepada Alinea.id, Sabtu (8/10).
Wempy meninggal di tanah kelahirannya di Ruteng, Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ketika itu, Wempy, Prisca dan kedua anaknya pulang kampung untuk liburan. Sebagaimana mayoritas daerah pusat penyebaran Covid-19 lainnya, NTT tengah dikepung varian Delta.
Prisca menuturkan Wempy merasa tak sehat beberapa hari setelah tiba di Manggarai. Wempy lantas memeriksakan kondisi kesehatannya ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ben Mboi di Ruteng. Karena dianggap hanya sekadar sesak, dokter menyarankan untuk rawat jalan.
Selang beberapa hari, kondisi Wempy memburuk. Dokter mendiagnosis Wempy mengalami pneumonia akibat virus Covid-19. Meski begitu, Wempy masih diminta pulang oleh dokter lantaran semua ruangan di rumah sakit sudah terisi pasien Covid-19 lainnya.
"Sampai di rumah, Wempy mengeluh tambah sesak nafas. Terus bilang, 'Antar saya ke rumah sakit. Saya sudah sesak.' Ya, sudah. Saya antar ke rumah sakit lagi," kata perempuan yang bekerja di salah satu bank di kawasan Thamrin, Jakarta itu.
Sesampainya di RSUD Ben Mboi di Ruteng, Wempy pun tak langsung mendapat penanganan lantaran rumah sakit itu sedang kebanjiran pasien Covid-19. Ia menunggu lama sampai akhirnya sempat telantar di ruang IGD rumah sakit.
Baru pada 20 Juli, Wempy mendapat kamar perawatan. Itu pun dengan fasilitas tidak memadai. Prisca mengatakan Wempy bahkan sempat tidak mendapat bantuan oksigen saat kesulitan bernafas.
Sadar penanganan terhadap sang suami serba minim, Prisca pun harus berlapang dada saat mendapat kabar dari pihak rumah sakit bila Wempy sudah mengembuskan nafas terakhir. "Saya mendapat kabar Wempy sudah tiada pada pukul 19.46 WITA pada tanggal 23 Juli 2021," kata dia.
Prisca mengaku sempat depresi berat lantaran ditinggal sang suami. Ia bingung menghadapi masa depan sebagai orang tua tunggal. Apalagi, ada jabang bayi yang terus tumbuh di perutnya. Prisca bahkan sempat pernah terpikir untuk menggugurkan kandungannya.
"Saya terus berpikir, bagaimana biaya periksa kandungan? Dari mana uang buat lahiran? Terus, bagaimana uang untuk nafkahin anak? Jadi depresi saya," kata perempuan asal Menado, Sulawesi Utara itu.
Kesedihan dan kekalutan itu ia simpan sendiri. Di depan anak-anaknya, Prisca berusaha tetap tegar. Meski sedang hamil, Prisca juga tetap bekerja sebagaimana biasanya.
"Selama 6 bulan saat hamil, mental saya terus bergejolak. Tapi, saya berusaha jangan pingsan di tempat kerja dan depan anak saya," tutur Prisca.
Prisca mulai berusaha berdamai dengan keadaan setelah melahirkan anak ketiganya pada 13 Maret lalu. Ia juga menguatkan batin untuk membenahi hidupnya yang sempat "berantakan" usai kepergian Wempy.
Kepada anak-anaknya, Prisca menjanjikan hidup yang tak berkekurangan. "Bukan berarti mereka tidak punya ayah lalu tidak bisa bahagia. Itu janji saya," kata dia.
Prisca tak selalu tangguh. Terkadang, ia pun tak mampu menyembunyikan kesedihan di hadapan ketiga anaknya. Ada kalanya ia mengajak anak-anaknya menonton YouTube untuk 'melihat' Wempy sebagai obat rindu.
"Saya lihat mereka antusias sekali kalau ada gambar Wempy di YouTube. Mereka bilang, 'Empy! Empy lagi ngomong'," kata Prisca.
Hingga kini, Prisca merasa masih sulit menengok masa lalu, terutama saat Covid-19 merenggut nyawa suaminya. Bila tak ada pandemi Covid-19, ia yakin masih bersama dengan Wempy membesarkan ketiga buah hatinya sampai dewasa.
"Bahkan saya masih terngiang, andai waktu itu Wempy di Manggarai dapat penanganan yang baik, dia tidak akan meninggal. Dia pasti masih sama saya dan anak-anak sekarang. Saya mau nangis kalau membayangkan kenapa Wempy begitu cepat diambil dari saya," tutur Prisca.
Tak pernah pulih
Episode kelam pandemi Covid-19 juga masih membekas di benak Ari Joko Indartono, 64 tahun. Pertengahan tahun lalu, Ari kehilangan istri tercinta karena dibekap Covid-19. Tutik Suparmi, sang istri, genap berusia 58 tahun saat meninggal.
"Tiga hari sebelum meninggal, dia bilang 'Pak, aku dimaafkan ya, Pak. Pak, aku minta maaf, ya.' Terus begitu. Saya enggak tahu kenapa... Tapi, kemungkinan istri saya itu sudah merasakan tanda-tanda dia mau meninggal," kata Ari kepada Alinea.id, belum lama ini.
Ari bercerita Tutik meninggal setelah lima hari menjalani isolasi mandiri di rumah mereka di Gamping, Sleman, Yogyakarta. Meskipun penderita hiptertensi, Tutik tak dirawat di rumah sakit lantaran tak ada lagi kamar kosong.
Ari bertutur sempat mencoba membawa sang istri ke Rumah Sakit Panti Rapih, Sleman dan sejumlah rumah sakit lainnya. Dari rumah sakit, ia hanya mengantongi obat-obatan yang bisa meredakan gejala penyakit sang istri.
"Dini hari itu tepatnya. Saya tengok istri saya di kamar. Saya tidur terpisah sama dia. Pas dicek ternyata istri saya sudah dingin dan sudah kaku. Itu jam 02.00 WIB pagi tanggal 26 Juli," tutur pensiunan pegawai sebuah yayasan Katolik di Yogyakarta itu.
Ari telah menjalani hidup bersama Tutik selama 35 tahun. Keduanya punya dua anak. Selain merawat rumah, Tutik biasanya menghabiskan hari menjaga anak terakhir mereka yang berkebutuhan khusus. Kini, semua pekerjaan itu harus dikerjakan Ari sendirian.
"Dari nyuci dari masak, ngepel. Saya semua. Saya mencoba belajar hidup bersama anak saya. Saya bilang ke anak saya sekarang kita belajar hidup tanpa ibu karena ibu sudah dipanggil Tuhan. Anak saya cuma bilang, 'Iya, Pak'," ujar Ari.
Setahun lebih ditinggal istri tercinta, Ari mengaku perih di hatinya belum juga pulih. Ari masih merawat barang-barang yang menyimpan memori hidup mereka. Terkadang Ari tak sanggup menatap kursi dan kasur tempat biasa mereka bersenda gurau.
"Kadangkala saya masih seperti deket. Saya sering ngomong sendiri, 'Bu, gimana di sana?' Tapi, rasanya tidak mungkin untuk menjamah. Tapi, kadang kala saya masih terngiang dan mimpi kita bicara bareng," kata Ari.
Bila rasa kangennya tak tertahan lagi, Ari mendatangi pusara Tutik yang berada di permakaman desa yang tak jauh dari rumah mereka. Saat Senin Pon, hari meninggalnya Tutik, Ari hampir selalu berada di permakaman itu.
"Saya ikhlaskan istri saya dipanggil Tuhan. Dia ditakdirkan meninggal karena Covid. Ya, sudah. Saya ikhlaskan. Memang mungkin begitu caranya. Tapi, andai istri saya diminta orang atau diambil orang, saya terus terang saya bela-belain sampai mati. Sampai mati saya enggak akan rela," kata Ari.
Dari sebuah mimpi, Ari mengaku mendapat pesan dari Tutik. Ia diminta untuk mempersiapkan diri menghadapi "hari terakhir". Ari paham ia tidak muda lagi. Selain mengenang sang istri dan merawat anaknya, ia berniat menghabiskan hidup untuk ibadah.
"Untuk bekal menyusul istri saya nanti. Saya begitu mencintainya, sampai tidur saya tidak tenang karena tidak ada dia di sisi saya. Tapi, yang patut saya syukuri saya sudah menemani dia sampai akhir hayatnya," kata Ari.