Yang terperosok ke dalam jurang kemiskinan di Jakarta
Sore itu, bisa jadi momen terakhir bagi Subuh menikmati sate kambing yang dibuatnya sendiri, hasil jatah daging kurban dari masjid setempat. Esok hari, ia berencana meninggalkan Jakarta menuju kampung halaman istinya di Pemalang, Jawa Tengah. Di sana, ia bakal menjalani kehidupan baru sebagai buruh tani.
Pria berusia 65 tahun yang berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah tersebut sudah tinggal di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat sejak awal 1970-an, pindah berkala dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain. Sehari-hari, ia menggantungkan hidup sebagai buruh serabutan.
“Apa saja saya kerjain,” katanya kepada reporter Alinea.id, Minggu (10/7).
Morat-marit di lingkungan kumuh
Subuh mengaku sudah tak sanggup lagi hidup di Jakarta. Ia merasa kelimpungan memenuhi kebutuhan sehari-hari, seiring naiknya harga bahan pokok. Ia pun kesulitan membayar sewa kontrakan rumah di gang sempit di Jalan Jati Bunder, Tanah Abang. Apalagi mengirim uang ke keluarganya di kampung.
“Saya enggak tiap hari pegang duit,” ucap pria yang sudah memegang KTP DKI Jakarta itu. "Saya bingung kalau lagi sakit, mau berobat enggak punya duit.”
Ia berkisah, awalnya ke Jakarta diajak temannya ikut sebagai kuli bangunan. Ia kemudian tinggal satu atap dengan beberapa rekan perantau lain asal Pekalongan di sebuah rumah kontrakan. Akan tetapi, sejak pandemi Covid-19 pada 2020, satu persatu rekannya pulang kampung.
Hidup dengan segala himpitan ekonomi juga dirasakan Ujang, 56 tahun, seorang perantau asal Tasikmalaya, Jawa Barat. Sama dengan Subuh, Ujang pun tinggal di lingkungan padat dan kumuh di daerah Jati Bunder, Tanah Abang.
Tumpukan sampah yang menggenang di kali depan rumah kontrakannya sudah menjadi pemandangan yang lumrah. Ujang mengaku tak punya pilihan selain tinggal di sana, di tengah harga rumah kontrakan yang terus naik, terkerek harga-harga bahan pokok yang melambung pula.
“Mau enggak mau saya tetap di sini aja. Biarpun banyak sampah,” kata Ujang, Minggu (10/7).
Kini, Ujang menganggur usai berhenti bekerja sebagai teknisi mesin percetakan. “(Sekarang) kerja serabutan saja,” ujarnya.
Di tengah tantangan yang makin mencekik karena mahalnya harga kebutuhan sehari-hari, Ujang memilih bertahan di Jakarta. Sebab, ia tak tahu mau bekerja apa, bila pulang ke Tasikmalaya.
"Kalau di sini masih bisa (jadi) kuli angkat barang di pasar atau bantuin orang dagang. Kalau di Tasik, saya malah bingung," kata Ujang.
Dengan statusnya sebagai warga DKI Jakarta, Ujang mengaku tak pernah tersentuh program dari pemerintah, seperti bantuan kebutuhan dasar dan pendidikan.
“Orang-orang dapat BPJS, anak orang lain dapat KJP (Kartu Jakarta Pintar), saya mah enggak,” tuturnya.
“Saya warga Jakarta yang enggak dianggap sama pemerintah.”
Menurut Ketua RT 14 RW 14 Kebon Melati, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kusianto, masalah kemiskinan di lingkungannya bukan tanpa alasan. Kustianto mengatakan, lingkungannya menjadi tempat berkumpul keluarga prasejahtera. Banyak pencari kerja dari daerah lain yang bermukim di sana.
“Banyak yang sebenarnya bukan warga sini,” kata dia, Minggu (10/7). “Kerja serabutan. Nyewa kontrakan satu petak. Rata-rata sebenarnya pengangguran.”
Ia menuturkan, warga prasejahtera yang tinggal di sekitar Jalan Jati Bunder, menempati lahan milik PT KAI. Penumpukan sampah tidak terkendali. Akhirnya, mayoritas warga membuang sampah ke sungai.
“Karena memang tidak ada tempat sampah di sini,” ucap dia.
Sampah-sampah, yang kebanyakan plastik, memenuhi aliran sungai di Jalan Jati Bunder. “Padahal tempat ini sudah sering kena banjir,” kata Kusianto.
Kusianto pernah berinisiatif memberi sebuah tong sampah kepada para pendatang yang bekerja sebagai kuli bangunan di pasar. Namun, karena dianggap menutupi jalan yang sempit, tong sampah itu disingkirkan warga.
Celakanya lagi, kata Kusianto, banyak anak dari keluarga prasejahtera yang putus sekolah lantaran ingin bekerja. “Banyak yang cuma sampai SMP. Saya sih kasihan,” tutur dia.
Kehidupan warga di Jalan Jati Bunder, Tanah Abang yang morat-marit, adalah salah satu cermin kemiskinan di Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta mencatat, angka kemiskinan di Jakarta pada Maret 2022 meningkat tipis 0,02% poin dibandingkan September 2021. Pada Maret 2022, angka kemiskinan sebesar 4,69%.
Dalam laporan bertajuk “Profil Kemiskinan dan Tingkat Ketimpangan Pengeluaran DKI Jakarta” yang disampaikan Kepala BPS Provinsi DKI Jakarta, Anggoro Dwitjahyono pada Jumat (15/7) disebutkan, jumlah penduduk miskin di Jakarta pada Maret 2022 sebanyak 502.040 orang. Jumlah itu bertambah 375.000 orang dibanding September 2021.
Penyebab bertambahnya jumlah penduduk miskin itu, menurut BPS Provinsi DKI Jakarta, karena menurunnya daya beli masyarakat yang masih terdampak pandemi serta kenaikan harga barang dan jasa.
Pemprov harus berbuat
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Johnny Simanjuntak khawatir masalah kemiskinan bakal bertambah pelik, seiring dengan kenaikan harga kebutuhan pokok imbas inflasi dan konflik Rusia-Ukraina. Kemiskinan pascapandemi Covid-19 pun, sebut Johnny, bisa menjadi masalah serius bila tak ditangani dengan baik.
“Ini sudah dalam masa kritis,” kata Johnny saat dihubungi, Rabu (13/7).
Ia menilai, persoalan penduduk miskin di beberapa titik permukiman kumuh di Jakarta diakibatkan tak adanya tempat tinggal yang layak. Maka, ia mengingatkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menepati janji politiknya saat kampanye pada 2017 lalu, dengan membangun rumah vertikal.
“Jangan hanya berkutat pada beberapa kegiatan yang kurang mendesak,” katanya. "Warga yang tinggal di pinggiran kali dan sebagainya itu perlu ditangani.”
Ia meminta Anies memenuhi semua janji politiknya, terutama masalah sosial dan kesejahteraan rakyat. Johnny memandang, paling tidak di sisa masa jabatannya, Anies perlu mengintervensi kalangan prasejahtera dan tunawisma agar tak terperosok lebih dalam ke jurang kemiskinan.
“Kalau kita berpihak pada masyarakat, tidak bisa tidak kita harus kembali memberikan subsidi kepada masyarakat,” ujarnya.
“Memang tidak gampang. Tetapi kondisi sekarang ini kan menuntut demikian.”
Berpijak pada problem kemiskinan ini, Johnny mengatakan, dalam waktu dekat Komisi E DPRD DKI Jakarta bakal melakukan evaluasi terhadap penanganan Pemprov DKI Jakarta yang dinilai lamban.
“Jujur, kami pesimis hal ini bisa ditangani Anies di sisa masa jabatannya,” tuturnya. “Banyak PR yang tidak bisa dipenuhi oleh dia.”
Sementara itu, Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja mengatakan, kemiskinan yang ada di daerah Tanah Abang dan beberapa titik di Jakarta berpangkal dari persoalan tempat tinggal yang ilegal. Akibatnya, warga luput dari pendataan perlindungan sosial.
“Jika tidak bisa mengakses layanan kependudukan, maka sulit mendapat bantuan dan subsidi. Termasuk pelayanan dasar lain, seperti air bersih," kata Elisa, Selasa (12/7).
Untuk menekan angka kemiskinan, kata dia, perlu ada intervensi dengan memberi kepastian permukiman yang layak. Penataan kampung pun harus dilakukan terlebih dahulu, agar masyarakat yang ingin dijangkau tepat sasaran.
"Lalu, setelah punya kepastian bermukim apa pun jenis haknya, baru bisa merencanakan hal-hal yang lain, termasuk pengembangan ekonomi," kata Elisa.
Menurut Elisa, Pemprov DKI Jakarta di bawah Anies sudah lumayan banyak memberi bantuan, berupa subsidi pangan, pendidikan, hingga transportasi. Namun, ujarnya, keberadaan subsidi itu terkadang tak otomatis tepat sasaran.
“Misalnya sektor transportasi publik. Biarpun subsidi per tahunnya 3 triliun lebih dan tarif TransJakarta tidak naik-naik dari 2004 serta Minitrans gratis, tapi masih banyak kampung yang tidak mendapatkan pelayanan,” tutur dia.
“Padahal, transportasi ini adalah alat penting untuk memastikan terjadinya upward mobility.”
Elisa pun melihat, banyak program pengentasan kemiskinan hanya bersifat musiman. Sehingga wajar masalah kemiskinan di Jakarta sangat problematik.
“Dalam aspek sosial, warga menengah ke bawah di Jakarta memang ada banyak perubahan di masa Anies. Tapi sayangnya, perubahan itu inkremental dan tidak permanen,” ucapnya.
"Misalnya, pembangunan kampung susun dan pelaksanaan community action planning, itu tidak langgeng dan tidak berlanjut berikutnya.”
Reporter Alinea.id sudah berusaha menghubungi Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Premi Lasari untuk diminta konfirmasi terkait kemiskinan di Jakarta. Namun, ia tak merespons hingga laporan ini terbit.