close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memberikan penjelasan terkait penundaan pengesahan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan menanggapi Revisi UU Pemasyarakatan./ Antara Foto
icon caption
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memberikan penjelasan terkait penundaan pengesahan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan menanggapi Revisi UU Pemasyarakatan./ Antara Foto
Nasional
Sabtu, 21 September 2019 00:48

Yasonna Laoly bantah KPK dilemahkan dalam RUU KUHP

Satu dari sekian perdebatan dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) adalah mengenai tindak pidana korupsi.
swipe

Satu dari sekian perdebatan dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) adalah mengenai tindak pidana korupsi.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly berujar justru yang termaktub dalam RUU KUHP adalah pasal yang memberatkan koruptor, khususnya pelaku yang berasal dari pejabat negara.

Regulasi yang dimaksud adalah Pasal 603 yang berbunyi setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.

Selain itu, dia berdalih bahwa pasal tersebut merupakan sinkronisasi antara Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengancam untuk setiap orang lebih tinggi dari ancaman minimum khusus bagi penyelenggaraan negara.

"Jadi melindungi pelaku yang tidak memiliki peran besar dalam tindak pidana korupsi dan memberikan ancaman yang lebih berat kepada pelaku yang memegang peran dalam pelaksanaan korupsi," ujar Menkumham Yasonna ketika konferensi pers di Jakarta, Jumat (20/8).

Lebih lanjut, dalam konteks pelaku korupsi yang berasal dari pejabat publik, dia mengatakan pasal yang ada di RUU KUHP dalam hal ini lebih memberatkan pejabat publik daripada masyarakat sipil.

Melalui perbandingan UU Tipikor yang hanya memberikan minimal satu tahun penjara untuk pejabat publik yang korup, dalam RUU KUHP durasi minimal dinaikan menjadi dua tahun.

"Dia (korupsi) dilakukan oleh pejabat negara, hukuman minimumnya jadi dua tahun. Kalau di UU Tipikor yang lama kalau dia pejabat negara, ancaman minimalnya satu satu tahun, justru kita naikin," ujarnya.

Sementara itu saat menyinggung hukuman pidana yang ada di RUU KUHP, Yasonna mengklaim perumusannya menggunakan delik sistem supaya tidak berdasarkan subyektifitas.

"Jangan nanti kadar kriminalnya lebih rendah, tapi hukumannya lebih tinggi. Jadi kita buat satu sistem seperti itu," pungkasnya.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan