Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI mengkritik pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, ihwal Veronica Koman. Mahfud meminta pengacara dan aktivis HAM itu segera kembali ke Indonesia dan mempertanggungjawabkan kesalahannya secara hukum.
Direktur YLBHI Asfinawati mengaku kecewa dengan pernyataan Mahfud. Menurutnya, Veronica bukanlah pihak yang harus bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi di Papua dan Papua Barat, pasca-kasus pembakaran asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
"Kacau banget ini orang sekarang. Ngaco banget pernyataannya," kata Asfinawati kepada reporter Alinea.id, Selasa (19/11) malam.
Menurutnya, Veronica bukanlah seorang provokator. Dia juga menampik tuduhan terhadap Veronica yang dianggap sebagai penyebar berita bohong.
Asfinawati mengatakan, Veronica hanya menjalankan tugasnya sebagai seorang aktivis HAM. Apa yang disampaikan Veronica melalui akun Twitter @veronicakoman, kata dia, juga merupakan keadaan nyata yang patut diinformasikan kepada masyarakat luas.
"Dia kan hanya mengabarkan, sama seperti media," katanya.
Veronica memang kerap mencuitkan perkembangan situasi yang terjadi di Papua dan Papua Barat. Dia juga menyampaikan insiden yang terjadi di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, yang terjadi pada 17 Agustus 2019 lalu.
Ada tiga cuitan Veronica soal insiden di Surabaya, yang membuatnya ditetapkan sebagai tersangka kasus provokasi di asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Polda Jawa Timur yang menetapkan status tersebut, menilai Veronica telah mengunggah konten provokatif dan mengarah pada informasi bohong alias hoaks.
Cuitan pertama berkaitan dengan seruan turun ke jalan pada warga Papua di Jayapura. Satu cuitan soal tindakan represif polisi terhadap para penghuni asrama Papua, serta cuitan lain yang menyebut penangkapan 43 orang mahasiswa Papua.
Hal tersebut juga yang membuat Mahfud meminta Veronica yang saat ini berada di Australia untuk menyerahkan diri. Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut, Veronica merupakan orang yang harus bertanggung jawab dalam kerusuhan yang terjadi di Papua dan Papua Barat.
Mahfud mengatakan, pemerintah Indonesia telah melakukan komunikasi dengan pemerintah Australia, untuk memulangkan Veronica.
"Saya sudah katakan itu ke pemerintah Australia. Kalau kami bicara tentang Veronica, bukan karena dia berbicara lantang di negara anda, akan tetapi ini soal hukum kami," kata Mahfud di kantornya, Jakarta, Selasa (19/11).
Polisi telah menerbitkan daftar pencarian orang (DPO) dan red notice agar Interpol membantu penangkapan Veronica. Ia sudah berada di Australia saat ditetapkan sebagai tersangka, untuk menyelesaikan beasiswa studi magister hukum.
Pada 23 Oktober 2019 lalu, Veronica mendapat penghargaan Sir Ronald Wilson Human Rights Award. Oleh Australian Council for International Development (ACFID) selaku pihak penyelenggara, Veronica dianggap telah menunjukkan keberanian dalam mengungkap dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua dan Papua Barat.
"Veronika itu warga Indonesia yang mendapat beasiswa untuk belajar ke Australia. Dia mengingkari janjinya untuk kembali ke Indonesia sebagai penerima beasiswa. Itu saja," kata Mahfud.