close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi aksi teror. Alinea.id/Oky Diaz
icon caption
Ilustrasi aksi teror. Alinea.id/Oky Diaz
Nasional
Kamis, 08 April 2021 06:31

Zakiah Aini, kaum milenial, dan bahaya takfiri 

Aksi teror Zakiah Aini cs mengindikasikan paham radikal rentan merasuki kaum milenial.
swipe

Suara letusan senjata membuat Hendi terperanjat saat tengah mengeluarkan mobil milik seorang personel polisi wanita di area Gedung Mabes Polri, Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu (31/3) sore itu. Penasaran, ia berlari menuju pagar besi di depan gedung, sumber suara tersebut. 

"Saya ngintip dari pagar, ceweknya (Zakiah Aini) udah terkapar," kata Hendi saat menuturkan kembali peristiwa teror tersebut kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Menurut Hendi, setidaknya tujuh kali suara tembakan terdengar dari depan gerbang Mabes Polri. "Saya masih sempat melihat percikan apinya. Saya pikir ada latihan tembak," ujar dia.

Saat mengintip ke dalam pos penjagaan, Hendi ditegur salah seorang personel polisi. Ia diinstruksikan untuk menjauh dari lokasi kejadian. Sebelum beranjak, Hendi sempat melirik ke arah Zakiah. 

Tubuh perempuan yang menyerang Polri bersenjatakan airgun itu, kata Hendi, sudah bersimbah darah. "Enggak lihat datangnya, asli. Kayaknya dari (pintu) samping," imbuh tukang parkir yang sudah belasan tahun mangkal di area Mabes Polri itu. 

Beberapa jam setelah peristiwa penyerangan itu, kepolisian merilis identitas Zakiah dalam sebuah konferensi pers di Mabes Polri. Konferensi pers itu dihadiri langsung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. 

"Yang bersangkutan (Zakiah) adalah tersangka pelaku lone wolf berideologi radikal ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang dibuktikan dengan postingan yang bersangkutan di sosial media," kata Listyo. 

Lone wolf ialah sebutan bagi pelaku teror yang beraksi sendirian dan tidak bergabung dalam kelompok tertentu. Biasanya, teroris jenis itu teradikalisasi sendiri karena terpapar bacaan-bacaan atau menonton video di internet. 

Zakiah bekas mahasiswi jurusan akutansi di Universitas Gunadarma, Depok, Jawa Barat. Ia drop out (DO) saat perkuliahan memasuki semester lima. Ketika tewas ditembus timah panas polisi, Zakiah baru berusia 25 tahun. 

Selain lone wolf, Zakiah belakangan dilabeli teroris milenial atau pelaku teror yang lahir pada rentang awal 1980 hingga awal 2000. Sejak satu dekade terakhir, teroris golongan ini rutin jadi pelaku bom bunuh diri alias "pengantin", baik dalam serangan terencana atau yang sporadis. 

Dua hari sebelum Zakiah Aini menyerang Mabes Polri, Lukman bersama sang istri, Dewi, juga mencatatkan diri mereka sebagai pengantin dari kalangan milenial. Ketika meledakkan diri di depan Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan, Lukman berusia 26 tahun. 

Setahun sebelumnya, Rofiq Asharudin, ketika itu berusia 23 tahun, juga menggelar aksi bom bunuh diri di Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah. Namun, niat Rofiq jadi pengantin gagal. Bom yang ia bawa berdaya ledak rendah dan tak sampai membunuhnya. 

Dalam sebuah diskusi di Jakarta, pekan lalu, analis intelijen dan terorisme Stanislaus Riyanta menyebut setidaknya sudah ada tujuh aksi teroris "bergenre" lone wolf di Indonesia. Semua pelakunya berasal dari kalangan milenial. 

Para teroris muda itu, kata Stanislaus, berafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) atau simpatisan ISIS. Yang tidak direkrut langsung, biasanya teradikalisasi setelah melihat konten-konten propaganda ISIS yang disebar di jagat maya. 

"Ketika anak-anak muda butuh jati diri, eksistensi, (kemudian) dia melihat konten-konten orang megang senjata AK-47, orang itu nanti diajak kelompoknya. Ketika dia respons, akan ada respons balik dari ISIS. Lalu, mereka diajak gabung ke grup-grup (aplikasi) Telegram," ujar dia. 

Stanislaus menjelaskan, pola rekrutmen JAD dan ISIS berbeda dengan pendahulunya, Jamaah Islamiyah (JI) yang berafiliasi dengan Al Qaeda. Di JI, hanya laki-laki yang sudah akil baligh atau dianggap dewasa yang diperbolehkan mengikuti jihad.

Di lain sisi, lanjut dia, JAD membolehkan perempuan dan anak-anak ikut jadi anggota. "Makanya, ketika ada teror yang pelakunya anak-anak, itu pelakunya pasti bukan dari JI. Itu pasti kelompok ISIS," jelas Stanislaus. 

Ia memprediksi jumlah teroris milenial bakal terus bertambah. Prediksi itu sejalan dengan data dari badan intelijen Amerika Serikat (Central Intelligence Agency/CIA) yang menunjukkan setidaknya ada 8.000 warga negara Indonesia yang bergabung dengan ISIS di Suriah. 

"Menurut Kementerian Hukum dan HAM, ada 1.200 orang yang berada di kamp-kamp militer. Dalam 20 tahun ke depan, mereka akan memiliki kader-kader militan karena kelompok JAD telah mengirim anak-anak belajar ke Suriah," tutur dia. 

Sebuah spanduk berisi imbauan menolak radikalisme dan terorisme terbentang di Jl. Malioboro, Yogyakarta. /Antara Foto

Kaum muda jadi target

Mantan narapidana teroris Sofyan Tsauri mengatakan saat ini kelompok teroris memang cenderung berupaya merekrut kaum muda, baik via pertemuan langsung maupun memanfaatkan media sosial. Kaum muda dipilih karena dianggap masih labil dan mudah diperdaya. 

"Kita bisa lihat dari surat wasiat yang dimiliki Zakiah Aini itu. Isinya, misalnya, jangan ikut pemilu karena pemilu akan melahirkan hukum buatan manusia. Dari situ saja sudah jelas doktrinasi tentang masalah seperti itu sangat kuat. Ini sangat membahayakan dan mengkhawatirkan," kata Sofyan kepada Alinea.id di Jakarta, Sabtu (3/4).

Terlibatnya kaum muda dalam jejaring teror diamini kajian yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT pada 2017. Ketika itu, BNPT menemukan sebanyak 47,3% teroris berusia 21-30 tahun dan sebanyak 11,8% teroris berumur di bawah 21 tahun. Teroris berusia 31-40 tahun sebanyak 29,1% dan sisanya berusia di atas 40 tahun.

Pada Desember 2020, BNPT juga merilis hasil survei bertema potensi radikalisme di kalangan milenial di Indonesia. Hasil survei menunjukkan sebanyak 85% kaum milenial terindikasi rentan terpapar ideologi-ideologi radikal. 

Secara khusus, Sofyan mengatakan kelompok teroris menyasar anak-anak muda yang memiliki persoalan domestik. Muda-mudi bermasalah itu, lanjut dia, bakal mudah terpapar jika bertemu dengan guru ngaji atau pendamping yang radikal. 

"Mereka butuh problem solving (penyelesaian masalah) yang cepat, tapi karena kuatnya doktrin ini, akhirnya mereka malah masuk ke paham-paham yang mengerikan," ujar mantan anggota JAD itu. 

Jika berkaca pada kasus-kasus sebelumnya, menurut Sofyan, teroris milenial juga cenderung reaksioner. Ia mencontohkan aksi teror Zakiah yang terjadi berselang dua hari setelah bom bunuh diri di Makassar. Aksi itu terlihat tidak direncanakan dengan matang. 

"Aksi pelaku digerakkan oleh ideologi yang sama sehingga kejadian (bom bunuh diri) di Makassar, terjadi di Jakarta. Di Mako Brimob (Kelapa Dua, Depok) ngerembet ke Surabaya. Jadi, ini kayak nular," jelas Sofyan. 

Kasus Mako Brimob yang dimaksud Sofyan ialah peristiwa penyanderaan yang terjadi pada 8 Mei 2018. Ketika itu, sebanyak 156 narapidana kasus terorisme yang ditahan di dalam Rutan Mako Brimob mengamuk dan menyandera sembilan polisi. Pemicunya hal sepele: seorang napi murka lantaran makanan yang dititip keluarganya "raib". Lima polisi tewas dalam aksi penyanderaan tersebut. 

Hanya berselang sepekan, kelompok JAD kemudian melancarkan serangkaian aksi bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya. Pelaku aksi teror termasuk perempuan dan anak-anak. Tito Karnavian, Kapolri ketika itu, menyebut bom Surabaya dipicu kerusuhan yang terjadi di Mako Brimob.

Petugas memborgol tangan terdakwa kasus dugaan serangan teror bom Thamrin dengan terdakwa Oman Rochman alias Aman Abdurrahman seusai menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (25/5). /Antara foto

Perangi takfiri 

Eks narapidana kasus terorisme Mukhtar Khairi menilai salah satu penyebab utama maraknya teroris milenial ialah kemudahan akses internet. Di belantara jagat maya, generasi muda bisa dengan mudah bertemu ajaran-ajaran sesat, termasuk aliran takfiri yang diusung JAD. 

"Mereka mendadak religius, soleh, menjadi pendiam dan menjauhkan diri dari masyarakat dan sering menyalahkan kegiatan-kegiatan atau ibadah yang dilakukan masyarakat sehingga mereka bersikap intoleran seperti itu," kata Mukhtar kepada Alinea.id.

Takfiri adalah sebutan bagi seorang Muslim yang menuduh Muslim lainnya sebagai kafir dan murtad karena tidak menjalankan syariat Islam yang dia anggap benar. Kaum takfiri menganggap agama dan keyakinan mereka paling saleh. 

Mukhtar mengaku sempat dicekoki takfiri oleh pentolan JAD Aman Abdurrahman saat mendekam di LP Cipinang. Menurut Mukhtar, Aman "menghalalkan darah" sesama Muslim yang menolak syariat Islam. Itulah kenapa aksi-aksi teror JAD juga tak hanya menyasar kaum non-Muslim saja.

"Kenapa (orang) murtad? Pertama, alasan mereka (JAD) itu tidak berhukum dengan hukum Allah. Kedua, mereka pelaku demokrasi. Baik masyarakat maupun aparat itu semua jadi korban mereka. Makanya, mereka ini kalau kita perhatikan, bom sana-sini. Enggak peduli dengan darah yang Allah haramkan," tutur Mukhtar. 

Sebelum bertemu Aman, Mukhtar adalah salah satu anggota kelompok Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). MMI adalah kelompok teroris yang dibentuk tahun 2000 oleh Abu Bakar Bashir, pemimpin JI. Saat Mukhtar bergabung, MMI dipimpin Dulmatin. 

Bersama sejumlah anggota MMI, Mukhtar tertangkap saat mengikuti pelatihan militer di Gunung Jantho, Aceh pada 2010. Dia divonis delapan tahun penjara. Namun, dia hanya menjalani masa tahanan selama 5 tahun 2 bulan.

Infografik Alinea.id/Oky Diaz

Di penjara, menurut Mukhtar, kelompok Dulmatin mulai terpengaruh ajaran takfiri lewat ceramah-ceramah Aman. Selain didoktrin, mereka juga diajari cara merakit senjata dan bom. "Dijelaskan siapa musuh kita, orang-orang kafir macam mana yang boleh diperangi," ujar dia. 

Mukhtar merasa ajaran takfiri yang diusung Aman tak sesuai dengan jalan jihad yang dulu sempat ia yakini. Ia pun memilih menjauhi kelompok Aman dan bekas rekan-rekannya di MMI. 

"Saya salah masuk. Masuk ke kelompok yang ekstrem yang menjadikan agama ini, seperti apa ya, seperti seakan-akan agama yang keras. Agama yang membolehkan pertumpahan darah," kata dia. 

Berbasis pengalamannya sebagai mantan teroris dan pertemuannya dengan tokoh JAD, Mukhtar mengatakan, perlu ada kontra wacana terhadap ajaran takfiri. Dalam hal ini, pemerintah perlu melibatkan semua pihak, termasuk kaum ulama. 

"Tugas mereka adalah membongkar cara mereka (kelompok teroris). Contohnya, ya, biasanya mereka berkutat dengan ayat-ayat hukum. Perlu dibongkar habis, dipaparkan secara jelas dan gamblang bagaimana penafsiran tentang ayat-ayat hukum itu sendiri," kata dia. 
 

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan