Arnold van der Vin, kiper Belanda di timnas Indonesia
Pertandingan sepak bola persahabatan antara kesebelasan Aryan Gymkana asal India melawan tim nasional Indonesia di Lapangan Ikatan Atletik Djakarta (Ikada)—sekarang jadi bagian dari kompleks Monumen Nasional (Monas)—Jakarta pada 10 Mei 1952 berlangsung seru. Jual-beli serangan terjadi.
Perdana Menteri Wilopo memberi tendangan kehormatan sebagai pertanda pertandingan dimulai. Stadion yang berkapasitas 15.000 penonton itu penuh, bahkan tak bisa menampung. Penonton berhamburan ke tepi lapangan, tak bisa dicegah aparat.
Pemain Aryan Gymkana begitu gesit. Uniknya, hanya tiga orang yang memakai sepatu, selebihnya tak beralas kaki. Sorak-sorai penonton pecah kala Indonesia membobol gawang lawan, sebelum babak pertama berakhir. Di babak dua, pemain Aryan Gymkana memborbardir gawang timnas Indonesia.
“Sesudah mengaso, India menggunakan taktik melemahkan lawan dengan permainan yang ulet dan sistem maju lari, tetapi kiper van der Vin selalu awas dan dapat menolong regunya dari serangan berbahaya,” ujar narator cuplikan pertandingan itu, dalam dokumentasi video Arsip Nasional RI.
Dalam laga tersebut, van der Vin jadi sorotan karena begitu tangguh di bawah mistar. Namun, akhirnya gawangnya kebobolan juga. Skor akhir 1-1.
Main di timnas dan klub Belanda
Di pertandingan persahabatan itu, Arnold van der Vin—atau dikenal pula dengan Nol van der Vin—merupakan satu-satunya orang Belanda. Ia adalah salah satu pemain sepak bola Belanda yang masih aktif bermain di klub Indonesia usai kemerdekaan.
Selain van der Vin, tulis wartawan senior Alwi Shahab dalam buku Cerita-Cerita Betawi: Maria van Engels Menantu Habib Kwitang (2006), ada Boelard van Tyl libero VIOS, van der Berg bek BBSA, dan Pesch sayap kanan Hercules. Alwi menyebut, van der Vin paling menonjol di antara pemain-pemain Belanda yang masih eksis tersebut.
“Kiper berbadan tinggi, tapi perawakannya tidak terlalu besar ini cukup lincah gerakannya dalam menangkap bola-bola tinggi,” tulis Alwi. “Hanya kelemahannya saat menghadapi bola-bola bawah.”
Menurut Alwi, van der Vin kerap membuat para penyerang tenar dari luar negeri menjadi frustasi karena gawangnya sulit ditembus. Salah satunya menahan tendangan penalti pemain legendaris Hongaria, Ferenc Puskas saat bermain di Lapangan Ikada.
Kala itu, Puskas bermain untuk tim asal Hongaria, Budapest Honved. Pada 1958, Puskas menjadi striker raksasa Spanyol, Real Madrid. Selain Puskas, Alwi menyebut, van der Vin pun pernah menghadapi gelandang serang Prancis, yang bermain untuk klub Stade de Reims, Raymond Kopa.
Gaya van der Vin terbilang perlente dibandingkan pemain-pemain sepakbola lainnya di awal 1950-an. “Kiper itu berangkat ke stadion selalu menggunakan sepeda motor Harley Davidson,” tulis Alwi. “Silih berganti membonceng gadis Indo, seperti layaknya pemain Liga Eropa.”
Nol van der Vin lahir di Semarang pada 1924. Surat kabar berbahasa Belanda, Limburgsch edisi 25 Mei 1955 menulis, bakat khususnya sebagai penjaga gawang terlihat pada usia 14 tahun, saat membela tim divisi satu di Surabaya. Setelah penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia pada akhir tahun 1949, van der Vin membela Persija.
“Van der Vin adalah satu-satunya orang Belanda yang dipertahankan tim Indonesia. Semua orang asing lain telah menghilang dari tim setelah pengakuan kedaulatan,” tulis Limburgsch.
Tenaganya juga dipakai untuk timnas Indonesia dalam laga-laga internasional, bersaing dengan kiper kawakan keturunan Tionghoa, Mo Heng Tan. Mo Heng merupakan salah seorang pemain Hindia Belanda yang ikut bergabung kala berlaga di Piala Dunia 1938 di Prancis.
“Pers memuji van der Vin sebagai penjaga gawang terbaik di Asia Tenggara,” tulis Limburgsch.
Limburgsch pun menulis, van der Vin sukses besar di bidang olahraga. Ia pernah tampil dalam pertandingan melawan tim-tim Eropa, seperti Yugoslavia B, klub Swiss Grasshoppers, klub Austria GAK Grasz, dan klub Swedia Kalmar.
Pada Februari 1955, van der Vin pertama kali berlayar ke tanah leluhurnya, Belanda. Saat itu, ia mengambil cuti beberapa bulan untuk berlibur. Di Belanda, ia menyempatkan diri berlatih di bekas klub profesional Kota Amsterdam.
Tak disangka, ia ditawari bermain di klub Kota Geleen, Fortuna 54. Jasanya dibutuhkan tim itu untuk menggantikan kiper utama mereka, Frans de Munck, yang tak bisa memperkuat klub karena cedera. Munck adalah kiper terkenal di Belanda. Ia pernah memperkuat timnas Belanda pada 1949-1960.
Menurut Indische courant edisi 12 Agustus 1955, manajemen Fortuna 54 tak mau mempertaruhkan nasib di akhir kompetisi Liga Belanda, tanpa kiper yang hebat. Maka, klub itu memperkenalkan van der Vin, yang kebetulan sedang di Belanda, sebagai kiper baru mereka—berstatus pemain amatir atas dispensasi Persija. Kebolehan van der Vin menjaga gawang timnas Indonesia terendus dari pemberitaan media.
Penampilan van der Vin bersama Fortuna 54 tak memalukan. Limburgsch mencatat, di dua pertandingan melawan tim S.V.V dan D.W.S ia mampu menjaga gawangnya tetap perawan.
Pada Juli 1955, van der Vin kembali ke Indonesia karena masa cutinya sudah habis, dan mesti kembali memperkuat Persija. Sebenarnya, terbesit dalam benaknya menetap di Belanda. Namun, bila ia menandatangani kontrak profesional selama cuti, dirinya bakal dilarang bermain di kompetisi sepak bola di Indonesia.
“Jika saya tinggal di Belanda, maka sangat mungkin saya akan membuat kesepakatan dengan beberapa klub profesional,” katanya kepada Limburgsch.
Pemain naturalisasi?
Sekembalinya ke Indonesia, van der Vin tak lama membela Persija dan UMS—klub anggota Persija. Akhir 1956, ia dikontrak klub asal Medan, PSMS. Setelah itu, ia berkarier di Malaysia, membela Penang FA hingga gantung sepatu pada 1961.
Di masa pensiun, ia tak berhenti dalam dunia sepak bola. Van der Vin adalah orang yang berjasa mendatangkan pelatih kenamaan Belanda, Wiel Coerver untuk melatih timnas Indonesia pada 1975.
Ia dikirim ke Amsterdam, Belanda oleh Ketua Umum PSSI Bardosono. De Telegraaf, 18 April 1975 melaporkan, van der Vin ditugaskan membawa surat perjanjian untuk ditandatangani Coerver. Durasi kontraknya selama dua tahun. Van der Vin membujuk Coerver membesut timnas Indonesia, usai pelatih bertangan dingin itu tak menemui kesepakatan kontrak dengan Feyenord Rotterdam.
“Asosiasi (PSSI) sangat membutuhkan pelatih yang terampil untuk membawa Indonesia kembali ke tempat asalnya, yaitu level Asia,” kata van der Vin dalam de Telegraaf.
“Meskipun tentu saja dia (Coerver) memiliki sejumlah persyaratan."
Tugas pertama Coerver tak main-main. Ia diberi tanggung jawab meloloskan timnas Indonesia dari babak kualifikasi Olimpiade 1976 di Montreal, Kanada. Meski begitu, Coerver gagal mewujudkan mimpi itu, usai kalah bersaing dengan Korea Utara di partai puncak kualifikasi.
Tak ada informasi valid yang menyebut van der Vin adalah pemain sepak bola naturalisasi pertama di timnas Indonesia. Laga-laga bersama timnas Indonesia yang dimainkan van der Vin pun hanya berlabel persahabatan, bukan pertandingan resmi internasional.
Lagi pula, jika ia sudah berstatus naturalisasi, pasti pelatih timnas Indonesia Antun “Toni” Pogacnik membawanya bersama 20 skuad Garuda yang berlaga di Olimpiade Melbourne, Australia pada akhir 1956. Namun, namanya tak ada dalam tim yang diperkuat Endang Witarsa dan Andi Ramang itu.
Dalam laporan persiapan dan pertandingan sepak bola Olimpiade Melbourne di Aneka edisi 1 Februari 1957, kiper utama timnas adalah Maulwi Saelan. Sedangkan kiper cadangan Paidjo.
Setelah kemerdekaan, masalah kewarganegaraan memang rumit. Terbit berbagai aturan yang belum sempurna.
Mulanya, menurut Herlin Wijayanti dalam Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian (2010) ada aturan dalam Pasal 26 UUD 1945, yang menyebut orang-orang bangsa lain, misalnya peranakan Belanda, Tionghoa, dan Arab yang bertempat tinggal di Indonesia mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada negara bisa menjadi warga negara Indonesia (WNI).
“Dengan pengertian bahwa warga negara keturunan asing adalah warga negara Indonesia yang memperoleh status itu berdasarkan proses naturalisasi,” tulis Herlin.
Lalu, terbit Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946, yang salah satu aturannya menyebut, kewarganegaraan Indonesia bisa didapatkan jika orang bukan asli dalam wilayah Indonesia, tetapi turunan seorang dari golongan itu, serta lahir, bertempat kedudukan, dan berkediaman selama minimal lima tahun berturut-turut dalam wilayah Indonesia, yang telah berumur 21 tahun, atau telah menikah.
Pasca-penyerahan kedaulatan pada 1949, ada aturan baru antara Belanda dan Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan terbitnya Piagam Persetujuan Pembagian Warga Negara (PPPWN).
Salah satu aturannya, sebut Herlin, orang-orang Belanda dewasa tetap sebagai warga Belanda, namun bila mereka dilahirkan atau bertempat tinggal di Indonesia sekurang-kurangnya enam bulan, dalam jangka waktu dua tahun setelah penyerahan kedaulatan, berhak menyatakan mereka memilih kebangsaan Indonesia.
Merujuk aturan-aturan itu, dalam kasus van der Vin, bisa jadi ia diakui sebagai WNI, tetapi belum memiliki dokumentasi resmi. Pada 11 Januari 1958, terbit Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI, yang menurut Herlin, adalah inti dari hukum positif yang mengatur tentang masalah kewarganegaraan hingga sekarang.
Menariknya, van der Vin baru mendapat pengesahan secara hukum sebagai WNI pada 1988. Dinukil dari Kompas edisi 18 Maret 1988, statusnya sebagai WNI disahkan Pengadilan Negeri Cianjur, Jawa Barat.
Kala itu, van der Vin menjadi mualaf dan sudah menikah dengan perempuan bernama Siagian Toeti Kamaria. Bersama keluarganya, ia tinggal di Kampung Kubang, Desa Cimacan, Cianjur.
“Di usianya yang sudah 64 tahun, ia bekerja sebagai tenaga ahli di Direktorat Jenderal Koperasi,” tulis Kompas.