Di balik misteri gas air mata laga Bandung Raya vs Mitra Surabaya
Semifinal Liga Indonesia atau Liga Kansas yang digelar pada 25 Juli 1997 antara Bandung Raya versus Mitra Surabaya di Stadion Utama Senayan, Jakarta mulanya berlangsung seru. Jual-beli serangan dan permainan keras tersaji.
Di awal babak kedua, pemain asing Bandung Raya asal Nigeria, Dahiru Ibrahim memecah kebuntuan. Tendangan bebasnya berhasil menaklukan kiper Hendro Kartiko.
Di awal menit 60, gelandang Mitra Surabaya, I Putu Gede Dwi Santoso, berusaha menyamakan skor dengan melepaskan tendangan jauh mengarah ke gawang Bandung Raya yang dijaga Hermansyah. Dari sini, petaka dimulai.
Tersorot kamera ANTV—stasiun televisi yang mendapat hak siar—Putu Gede tiba-tiba terjatuh. Ia mengucek matanya dengan lengan. Tak lama, seluruh pemain kocar-kacir ke luar lapangan, sembari menutup wajah dan mengucek mata mereka.
Laga terpaksa dihentikan. Stadion dikepung asap gas air mata. Para penonton yang mencium aroma gas air mata, berhamburan ke luar stadion. Pemain belingsatan di pinggir lapangan, mengguyur mata mereka dengan air dan ada yang pergi menuju ruang ganti.
Gas air mata dari mana?
“Untuk pertama kalinya di dunia, sebuah pertandingan sepak bola harus dihentikan oleh gas air mata, yang tiba-tiba menyembur ke dalam stadion,” tulis Kompas, 26 Juli 1997.
Menurut Kompas, ada tujuh pemain Mitra Surabaya dan dua pemain Bandung Raya yang sempat tergeletak di lapangan. Pemain Mitra Surabaya yang harus dirawat di rumah sakit karena muntah-muntah, antara lain Kuncoro, Hendro Kartiko, Supadi, Putu Gede, Marzuki Badriawan, Tibidi Alexis, dan Da Costa.
Insiden gas air mata tersebut memang tak menimbulkan korban jiwa. Akan tetapi, mencoreng kompetisi sepak bola tertinggi di negeri ini. South China Morning Post bahkan mengolok-olok dengan menyebut, peristiwa terhentinya pertandingan sepak bola karena gas air mata itu bisa masuk Guinnes Book of Records.
Pelatih Bandung Raya Albert Fafie terkejut dengan insiden tersebut. “Sepanjang karier saya di dunia sepak bola, baru kali inilah saya mengalami kejadian seburuk ini,” ujarnya kepada Kompas. Kesaksian pemain Bandung Raya, Budiman kepada Kompas, ia merasa wajahnya sangat panas. “Seperti dibalur obat gosok dan napas agak sesak,” kata Budiman.
Dikisahkan Abrar Yusra dalam buku Azwar Anas: Teladan dari Ranah Minang (2011), Ketua Umum PSSI Azwar Anas yang menonton langsung pertandingan pun tampak bingung ketika peristiwa itu terjadi. “Ada apa ya?” kata Azwar.
Beragam spekulasi tentang pelaku penyebab semburan gas air mata itu muncul. Kompas edisi 26 Juli 1997 menyebut, gas itu keluar dari pintu kuning stadion. Dugaan lainnya, semburan gas berasal dari penonton di sektor empat, yang diisi pendukung Bandung Raya. Namun, Azwar tak yakin terhadap dugaan tersebut. Alasannya, Bandung Raya sedang unggul 1-0.
“Bisa saja seorang petugas tanpa sengaja menduduki tabung gas, sehingga gasnya menyembur,” kata Azwar, seperti dikutip dari Kompas.
Seorang pendukung Persebaya membantah suporter sebagai pelaku pelemparan gas air mata berbau amoniak itu. Mustahil, katanya, gas itu dilempar penonton karena sewaktu masuk ke dalam stadion, mereka diperiksa petugas.
“Dan kalaupun mau beli yang kayak gituan itu siapa sanggup? Harganya mungkin mahal,” katanya dalam Panji Masyarakat, 4 Agustus 1997.
Seorang petugas yang mengamankan pertandingan kepada Kompas membantah gas itu berasal dari senjata yang ada di pinggang mereka. Katanya, tak mungkin penonton satu stadion bisa mencium bau gas, kalau aparat hanya melemparkan tabung gas.
“Saya kira ini gas dari tabung sebesar kaleng roti Regal yang dibawa petugas untuk membubarkan huru-hara massa,” katanya.
Di dalam Kompas, 31 Juli 1997, Kapolri Jenderal (Pol) Dibyo Widodo menilai, semburan gas air mata itu ada unsur kesengajaan. “Kalau tidak, bagaimana mungkin gas lari sendiri ke tengah lapangan,” ujar Dibyo.
Dari penyelidikan sementara, Dibyo mengatakan, gas air mata sengaja dilempar ke bagian bawah stadion, yang dibungkus tas plastik berwarna hitam. Ia menekankan, gas air mata itu bukan milik aparat keamanan.
Sementara, dugaan lainnya, gas air mata memang sengaja ditembak aparat. Komentator pertandingan Bandung Raya vs Mitra Surabaya memberikan pandangan mata ketika para pemain berhamburan ke luar lapangan.
“Sementara ada sedikit insiden. Di mana menurut penglihatan kami tadi, aparat keamanan melepaskan gas air mata, tapi justru pemain di lapangan pertandingan menjadi terganggu,” kata komentator.
Dalam tajuk rencananya, Kompas pun menyinggung hal itu. “Entah apa pertimbangannya, aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk menangkal ulah sebagian penonton yang kelewat batas,” tulis Kompas, 26 Juli 1997.
Penyelidikan kepolisian terus dilakukan. Akan tetapi, tak kunjung menemukan titik terang. Tak pernah terungkap siapa biang keladi yang menyebabkan gas air mata menyembur di stadion.
Pertandingan sisa 28 menit pada 26 Juli 1997 yang digelar tanpa penonton, tak mengubah skor, tetap 1-0 untuk Bandung Raya. Laga final yang mempertemukan Bandung Raya dengan Persebaya diundur sehari, dari semula 27 Juli 1997 jadi 28 Juli 1997.
Unsur politik dan gugatan penonton
Insiden tersebut sampai ke telinga Asian Football Confederation (AFC). AFC pun meminta laporan resmi PSSI. Menurut Sekjen AFC Dato Peter Velappan, seperti dikutip dari Kompas, 27 Juli 1997, kasus itu kemungkinan tak lepas dari makin maraknya kerusuhan dalam Liga Indonesia.
“Menurutnya, massa dalam pertandingan sepak bola memang harus dikendalikan. Namun, pengendaliannya tidak boleh mengganggu jalannya pertandingan, tulis Kompas.
Aparat keamanan memang dibuat kewalahan saat semifinal Liga Kansas. Soalnya, dua klub Surabaya tampil di partai itu, yakni Mitra Surabaya dan Persebaya yang melawan PSM. Dua kesebelasan itu punya pendukung fanatik yang disebut bondho nekat (bonek).
Ketika itu, citra negatif bonek kental dituduh sebagai pembuat onar. Ribuan bonek menyerbu Jakarta dari Surabaya dan sekitarnya menjelang semifinal, tanpa bekal yang cukup. Ratusan dipulangkan karena dianggap biang rusuh.
Menurut Panji Masyarakat, saat pertandingan semifinal, bonek banyak yang menerobos pagar pembatas untuk masuk ke stadion secara gratis. Tak kurang 1.000 orang berhasil lolos. Mereka lantas dibubarkan aparat menggunakan pentungan dan tembakan peluru karet.
Ada dugaan, gas air mata itu merupakan kesengajaan untuk menggeser laga final, dari 27 Juli ke 28 Juli. Sebabnya, laga final yang dijadwalkan tersebut bertepatan dengan setahun peristiwa 27 Juli 1996 atau disebut kerusuhan 27 Juli (kudatuli).
Saat itu, kerusuhan meledak, dipicu pengambilalihan paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri oleh massa pendukung Soerjadi. Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, kerusuhan itu merenggut lima nyawa, 149 orang luka-lika, dan 136 orang ditahan.
Jurnalis senior Karni Ilyas dalam tulisannya “Kita Sering Lengah” di buku Bonek: Berani karena Bersama (1997) menulis, aparat keamanan memang cemas dengan potensi kericuhan karena laga final Liga Kansas dijadwalkan pada 27 Juli.
“Pangdam V Jaya Mayjen Sutiyoso yang dinilai sukses mengamankan Jakarta ketika kampanye pemilu (Mei, 1997) lalu, jelas tidak ingin reputasinya dirusak oleh suporter sepak bola,” tulis Karni.
Panji Masyarakat menyebut, di antara ribuan suporter sepak bola ada yang dicurigai aparat punya motivasi politik datang ke Jakarta. Bahkan, ada yang mencurigai bakal bergabung dengan massa PDI pro-Megawati untuk mengadakan aksi tabur bunga memperingati peristiwa 27 Juli.
Pada akhirnya, PSSI meminta maaf atas terjadinya insiden gas air mata. Namun, beberapa penonton sudah kadung kecewa. Lantas menggugat PSSI dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Ada empat penonton yang melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yakni Paskalis Pieter, Simeon Petrus, Roy Rening, dan Kanisius Mbete. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Hayono Isman menyebut, gugatan terhadap PSSI itu wajar. “Karena tidak semestinya insiden yang dapat mengganggu ketertiban umum itu muncul dalam kegiatan olahraga,” ujar Hayono dalam Kompas, 1 Agustus 1997.
Menurut Sudaryatmo dalam buku Hukum dan Advokasi Konsumen (1999), Paskalis dan kawan-kawan merasa dirugikan. Mereka menuntut PSSI dan KONI membayar ganti rugi sebesar Rp1 miliar. Gugatan itu tercatat dengan nomor registrasi 289/Pdt.G/1997 PN Jakarta Pusat tertanggal 28 Juli 1997.
Meski demikian, tak semua penonton setuju dengan gugatan itu. Seorang pembaca Kompas, yang surat pembacanya dimuat di edisi 28 Agustus 1997 menyayangkan gugatan tersebut.
Ia mengaku menonton pertandingan Bandung Raya vs Mitra Surabaya, dengan membeli karcis kelas II seharga Rp10.000. Saat itu, ia duduk di tribun belakang sebelah kanan gawang Bandung Raya.
Ia merasa tak terlalu dirugikan karena penghentian laga Bandung Raya vs Mitra Surabaya lantaran masih dapat menonton partai kedua, antara PSM vs Persebaya pada malam harinya.
“Saya tidak yakin kalau 35.000 penonton yang hadir itu rela diwakili oleh para penggugat. Saya termasuk yang tidak rela diwakili,” tulisnya.
Sidang digelar pada Oktober 1997. PSSI malah seolah cuci tangan dengan kejadian itu, menganggap terjadinya insiden gas air mata di luar dugaan dan kekuasaan alias force majeur.
“Karena itu, baik pengurus PSSI maupun KONI tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban,” kata kuasa hukum PSSI dan KONI dalam sidang di PN Jakarta Pusat, Senin (13/10/1997), seperti dikutip dari Kompas, 14 Oktober 1997.
Sudaryatmo dalam bukunya menyebut, gugatan itu adalah fenomena menarik. Menurutnya, insiden itu menjadi pelajaran bagi PSSI untuk tak gegabah menggelar pertandingan sepak bola.
Sedangkan bagi penonton, tulis Sudaryatmo, gugatan itu adalah bukti mulai timbulnya kesadaran di kalangan penonton sepak bola kalau sebagai penonton mereka punya hak. Sudaryatmo pun mengemukakan, keputusan PSSI secara sepihak, tanpa melibatkan penonton, meneruskan pertandingan tanpa penonton adalah sebuah bukti sikap arogan. Keputusan itu, lanjut Sudaryatmo, secara tak langsung telah memvonis penonton berada dalam posisi yang salah.
“Saya tidak mau berspekulasi soal hasil akhir gugatan,” tulis Sudaryatmo, yang lama berkecimpung dalam Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
“Namun, selain soal kalah dan menang di pengadilan, kemenangan moral sebenarnya sudah berada di pihak penggugat, dalam bentuk membuka kesadaran semua pihak bahwa ada masalah dalam dunia persepakbolaan di tanah air.”