Fanatisme buta suporter bola dan menanti taring federasi
Salah seorang anggota The Jakmania Haringga Sirila mesti meregang nyawa sendirian di area parkir Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Gedebage, Bandung, Minggu (23/9). Haringga dihajar sejumlah pendukung Persib Bandung, jauh sebelum wasit meniup peluit tanda pertandingan dimulai antara Persib Bandung versus Persija Jakarta.
Rekaman video mengerikan kala Haringga dihujani pukulan dan tendangan sejumlah pemuda berkaus biru menyebar di media sosial. Rivalitas penuh emosi antara Persib Bandung dan Persija Jakarta, menjadi alasan para pemuda itu menganiaya Haringga.
Save Our Soccer melaporkan, bentrok antara Persib Bandung dan Persija Jakarta selalu meninggalkan duka. Sejak 2012, Haringga merupakan suporter yang tewas ketujuh akibat rivalitas penuh gengsi dua klub kota, yang jaraknya tak jauh-jauh amat.
Sepak bola dan fanatisme
Ketika saya hubungi, Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya R.N. Bayu Aji menyebut, fanatisme sepak bola merupakan sebuah hal yang akan terus muncul sepanjang sejarah laga si kulit bundar. Sebab, orang rela berkorban, baik harta maupun tenaga, untuk tim yang mereka dukung dan sayangi.
Sejarawan yang mengkaji sejarah sepak bola ini mengatakan, sejak sepak bola di Indonesia diperkenalkan pada masa kolonial, fanatisme sudah ada. Sepak bola bukan hanya urusan olahraga.
“Banyak nilai yang direpresentasikan melalui sepak bola, seperti identifikasi kultural seseorang, kelompok, bahkan sebuah bangsa yang bisa menumbuhkan rasa cinta negara,” kata Bayu Aji.
Lebih lanjut, Bayu Aji mengatakan, sejak era Perserikatan pada 1931, sudah ada fanatisme kedaerahan dalam diri suporter sepak bola Indonesia. Mereka rela datang ke stadion mendukung timnya berlaga.
“Dan, itu pasti memerlukan biaya, waktu, bahkan rela membolos kerja demi mendukung tim kebanggaannya berlaga,” katanya.
Fanatisme kedaerahan sempat meredup, saat kompetisi Liga Sepak Bola Utama (Galatama) dihelat pada 1979. Begitu kata pengamat sepak bola Anton Sanjoyo, ketika saya hubungi. Anton melihat, fanatisme kedaerahan itu sebenarnya aset sepak bola Indonesia.
“Di akar rumput mereka alay. Tapi di tingkat elite, sebenarnya hubungan mereka damai dan sangat baik,” jelas Anton.
Di sisi lain, Bayu Aji mengatakan, sayangnya sejak Liga Indonesia bergulir usai reformasi, fanatisme tersebut justru menjadi negatif. Fanatisme jadi tak terkendali dan tak wajar, sehingga bisa menjadi kekerasan dengan berkerumunnya massa suporter sepak bola.
“Korban jiwa pun berjatuhan,” kata Bayu Aji.
Sementara itu, Anton melihat, peristiwa yang merenggut nyawa Haringga dilakukan “bobotoh palsu”. Bobotoh sendiri merupakan sebutan untuk pendukung kesebelasan Persib Bandung. Istilah ini berasal dari bahasa Sunda, yang berarti “orang-orang yang mendorong.” Di dalam bobotoh, ada beberapa kelompok pendukung, seperti Viking dan Bomber.
Menurut Anton, bobotoh yang asli pasti melindungi, tak mungkin menganiaya. Anton menuturkan, tindak kekerasan itu terjadi lantaran psikologi massa yang tengah berkerumun.
“Karena kalau sudah berkerumun, massa menganggap mereka berada di atas hukum,” jelasnya.
Sepak bola Indonesia, kata Anton, harus belajar dari asosiasi sepak bola Eropa—Union of European Football Associations (UEFA)—saat menangani tragedi Heysel. Pada 29 Mei 1985, Stadion Heysel di Brussel, Belgia, menggelar pertandingan final Liga Champions antara Juventus melawan Liverpool.
Keributan antara suporter Juventus dan Liverpool pecah. Suporter Juventus terpojok hingga dinding stadion yang rapuh. Saat itu, dinding runtuh, 39 orang suporter Juventus menjadi korban.
“Setelah kejadian itu, UEFA mengambil tindakan tegas dengan melarang klub-klub Inggris berkompetisi di Eropa selama lima tahun,” kata Anton.
Anton memandang, suporter klub sepak bola di Indonesia belum terkelola dengan baik oleh klub masing-masing.
“Klub jalan sendiri, suporter jalan sendiri. Tidak ada ikatan,” katanya.
Hal ini berbeda dengan keadaan di luar negeri. Kelompok suporter klub di luar negeri, kata Anton, dikelola klub dengan baik. Melalui kelompok suporter, klub mendata anggotanya. Dari sini, bisa ketahuan mana suporter yang kerap buat onar.
“Kalau sudah ketahuan, dia bisa saja dilarang masuk ke stadion seumur hidupnya,” jelasnya.
Sesal Viking Jakarta dan reaksi BOPI
Salah seorang pengurus Viking Jakarta yang tak bersedia disebut namanya mengaku, secara pribadi dirinya sangat menyesal dengan hilangnya nyawa Haringga, karena rivalitas buta. Menurutnya, sepak bola merupakan hiburan. Rivalitas hanya 90 menit di lapangan.
Buntut dari tewasnya Haringga, dia mengatakan, sejak Minggu malam ada sejumlah orang yang berteriak rasis dan mengumpat di depan markas Viking Jakarta.
“Dari dulu, tiap ada kejadian seperti ini, kami selalu kena imbas juga,” katanya, mengeluh.
Meski begitu, dia bersyukur. Sebab, hingga kini dirinya dan Viking Jakarta jarang mendapat serangan fisik. Namun, ancaman, teror, dan intimidasi sudah menjadi makanannya.
Atas kejadian ini, Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) pun bereaksi. Organisasi nonstruktural mandiri yang dibentuk pemerintah dan bertanggung jawab kepada Menteri Pemuda dan Olahraga itu meminta, PSSI menghentikan sementara kompetisi sepak bola Indonesia selama seminggu. PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (PT LIB) dihimbau menyelesaikan kasus ini dengan sangat serius.
“PT LIB dan PSSI tidak bisa menggelar kompetisi liga profesional sebelum permasalahan ini selesai,” kata Ketua BOPI Richard Sam Bera di gedung Kemenpora, Senin (24/9).
Mantan perenang nasional itu berharap, PSSI mampu memberikan sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera. Bukan sanksi yang normatif.
PSSI mesti bersikap
Ketika dimintai keterangan di gedung Kemenpora, Direktur Media PSSI Gatot Widagdo mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan PT LIB untuk bergerak cepat. Bila ada regulasi yang dilanggar, seperti kasus kriminal, kata Gatot, PSSI akan serahkan kepada pihak kepolisian. Hingga kini, sudah ditetapkan delapan tersangka dari kasus penganiayaan ini.
Sementara itu, Anton mengatakan, dari kejadian memilukan yang merenggut nyawa Haringga, PSSI mesti mengambil langkah tegas. Namun, dia melihat, regulasi statuta FIFA sendiri memang tak secara tegas mengatur hukum di luar pertandingan.
“Apapun yang terjadi di lapangan, itu kewenangan FIFA. Namun, satu meter saja di luar garis lapangan, itu urusan polisi,” jelasnya.
Maka, menurut Anton, kejadian penganiayaan hingga menimbulkan kematian murni urusan pidana polisi. Tapi, bukan berarti federasi hanya bergeming. Dalam statuta FIFA sendiri tertera, federasi harus bekerja sama dengan petugas keamanan setempat.
Ditanya mengenai sanksi, Gatot sendiri belum bisa memberikan keterangan. Menurut Gatot, kewenangan tersebut ada pada Komisi Disiplin PSSI.
Anton menilai, sebagai induk sepak bola nasional, PSSI berhak menjatuhkan sanksi apapun kepada siapapun atas kejadian tewasnya suporter. Anton sendiri mengusulkan sanksi yang tegas, dengan melarang suporter Persib Bandung masuk ke stadion selama satu musim.
“Tapi sekarang pertanyaannya, PSSI berani enggak? Karena sekarang Komisaris PT LIB Glenn Sugita, juga kan yang punya Persib,” kata Anton.