Inggris merupakan contoh negara sepakbola yang paling buruk. Betapa tidak! Gelaran kompetisinya diklaim terhebat sejagat, para pemain bintang berbondong-bondong datang, tetapi timnasnya nirjuara.
Lebih dari 2,24 miliar Euro dihabiskan 20 klub Premier League. Itu setara Rp3.360 triliun! Hanya untuk pemain musim panas ini, menurut data Transfermarkt. Mengakhiri jendela transfer pada September, pengeluaran bersih yang mencengangkan sebesar Eur1,3 miliar.
Semua itu tidak cukup meningkatkan kualitas tim nasional Three Lions. Hanya sekali Inggris menyabet juara dunia, saat jadi tuan rumah 1966. Di benua sendiri, bahkan mereka tak pernah juara Eropa.
Ortodoks '66
Tiga Singa tidak kekurangan pemain berbakat, apalagi yang mayoritas berkulit hitam. Namun, kebanyakan kemudian terkena masalah mental. Ditambah iklim pembinaan yang tampaknya keliru membuat banyak reputasi besar runtuh ketika beraksi di luar negeri.
Keluar bertarung, belia Inggris seperti menjadi fobia untuk beradu fisik dengan lawan. Pesepakbola Inggris menjadi terlalu priyayi, padahal kompetisi makin keras seakan penuh berandalan.
Gaya main pun ortodoks 4-4-2 seakan tidak mau berubah dari versi lawas 1966. Satu kekurangan menonjol: gerakan mereka tidak luwes. Kaku mirip robot. Susah sekali menjangkau bola yang tiba-tiba berubah arah permainan.
Beruntung, Three Lions berada di Grup B bersama Wales, Amerika Serikat, dan Iran. Media massa ramai menyebut "B" sebagai grup kematian, seraya menyebarkan judul-judul bombastis khas publikasi di negeri Raja Charles III, tapi itu distorsi.
Korps wasit dan asisten video jelas cenderung berpihak ke skuad Gareth Southgate. Sisa soft power Inggris, salah satunya tinggal di bidang sepakbola.
Sebagai unggulan, di peringkat FIFA 5, Inggris belum pernah berjumpa Iran (peringkat FIFA 20). Dengan AS, terakhir draw 1-1 pada 2010. Laga latih tanding 2020, Wales mereka hajar 3-0.
Duo dari Sembilan
Cuma dua nama yang penampilannya patut ditunggu di Qatar 2022. Bek Trent Alexander-Arnold dan striker Tammy Abraham. Aura sembilan pemain lain terasa lebih negatif dan tidak punya mental juara. Kalau kesembilan pelengkap mereka gagal terorganisir, duo Liverpool dan AS Roma itu malah bisa bermain tak sesuai dengan kualitas aslinya.
Trent-Tammy menjadi kunci. Three Lions akan seperti biskuit renyah atau melempem di kaleng rombeng. Semua itu tergantung keduanya.
Sebelumnya, pada Piala Dunia 2018, Inggris dimudahkan jadwal yang lebih longgar dari kontestan lain. Di Euro 2020 mereka lagi-lagi seolah dipaksakan oleh 'tangan tak terlihat' untuk tampil ke final dengan kekuatan yang sungguh tak pantas untuk berlaga partai puncak.
Analisis Manny Otiko di Bleacher Report memberi enam alasan mengapa timnas Inggris gagal dalam banyak turnamen besar. Premier League terlalu menuntut secara fisik: Inggris biasanya memulai setiap turnamen besar dengan kehilangan beberapa pemain bintang mereka. Premier League meletihkan tubuh pemain dengan sangat buruk sehingga mereka selalu capek ke turnamen antarnegara. Musim yang lebih pendek atau liburan musim dingin dapat membantu mengatasi masalah ini.
Kepentingan klub versus tugas negara: Pertandingan internasional berarti FA (Federasi Inggris) dapat meminjam tenaga pemain dan mungkin mengembalikan mereka dalam keadaan lelah. Terlalu banyak pemain asing di Premier League: Sekitar 30 tahun yang lalu, talenta terbaik Inggris dapat diambil dari tim teratas di Premier League saat itu. Tetapi beberapa hal terjadi yang mengubah segalanya.
Laga klub lebih akbar dari partai internasional: kemasan ulang antarklub UEFA dan Liga Champions telah berubah menjadi tontonan sepak bola terbesar di dunia. Tidak seperti Euro atau Piala Dunia, tidak harus menunggu empat tahun sekali untuk satu turnamen.
Pers Inggris: Media tabloid sering menggunakan turnamen internasional untuk mengobarkan perasaan jingoistik dan menggelembungkan peluang tim nasional. Pemain Inggris sepertinya tidak cakap mengambil penalti: FA perlu mempekerjakan psikolog olahraga di Three Lions khusus untuk adu penalti. Kekalahan jangka panjang pada adu penalti seperti tulang tersangkut di tenggorokan para pemain.