Mengenang debut 'dingin dan licin' Buffon di kandang Beruang Merah
Gianluca Pagliuca tertatih-tatih. Beberapa saat sebelumnya, dia melakukan aksi heroik untuk mencegat umpan terobosan di kaki Andrei Kanchelskis tetapi penyelamatannya harus dibayar mahal. Pemain sayap Rusia itu tidak mampu menghentikan laju larinya untuk merebut bola, dan akibatnya ia bertabrakan dengan kiper utama Italia yang ganteng itu.
Dua staf medis Italia segera tiba di lokasi kejadian untuk menilai kondisinya. Pagliuca jelas ingin melanjutkan, tetapi tubuhnya tidak mengizinkannya. Dia tertatih-tatih pergi ke pinggir lapangan dibantu petugas medis. Ketika dia hendak pergi, penggantinya berlari ke lapangan, buru-buru mencoba mengenakan sarung tangannya, karena jelas-jelas tidak siap dengan situasi tersebut. Penggantinya adalah Gianluigi Buffon yang berusia 19 tahun.
Hanya dua tahun sebelumnya, di usia 17 tahun, Buffon melakukan debut Serie A untuk Parma. Di pertandingan pertamanya ia melawan pemimpin liga Milan, yang berisi Roberto Baggio dan George Weah. Di laga itu ia mencatatkan cleansheet, alias tidak kebobolan. Ketika debut bersama timnas senior Italia itu di Moskow 29 Oktober 1997, Buffon baru berusia 19 tahun, sembilan bulan, satu hari.
Buffon sebenarnya bukan kali itu tampil di tengah-tengah pemain timnas yang jauh lebih senior. Sebelumnya, ia telah mengantongi caps pertamanya di Italia U-21, ketika baru menginjak usia 17 tahun, 10 bulan, 22 hari.
Saat kiper remaja ini pertama kali mengenakan sarung tangan untuk tim nasional pada akhir Oktober 1997 itu, Bufon harus melewati kondisi pertandingan yang kacau. Bolanya pun tidak biasa. Berwarna oranye. VFB-Arena, markas Dynamo Moscow, ketika itu tertutup salju, dan langit tidak berhenti menumpahkannya sejak pertandingan dimulai.
Staf lapangan telah berupaya membersihkan salju supaya lapangan dapat dimainkan. Namun salju terus turun. Kondisi lapangan yang diguyur salju, membuat permainan lebih mengutamakan karakter dan ketahanan daripada keterampilan dan sepak bola indah di kandang Beruang Merah itu. Para pemain tidak hanya bertarung dengan pemain lawan, tetapi juga rasa dingin dan lapangan yang licin.
Dengan kondisi lapangan yang ekstrem itu, Italia dan Rusia bertarung dalam laga penentuan untuk satu tiket ke Piala Dunia 1998 di Prancis.
Italia mempunyai kebiasaan mempersulit diri mereka sendiri. Tidak terkecuali, saat mereka berusaha untuk lolos ke Piala Dunia terakhir abad ke-20 itu.
Ditempatkan di grup bersama Inggris, Polandia, Georgia dan Moldova, Gli Azzurri memulai kampanye mereka dengan empat kemenangan beruntun di bawah asuhan Arrigo Sacchi dan Cesare Maldini. Ini termasuk kemenangan 1-0 di Wembley, dengan Gianfranco Zola mencetak gol penentu. Tapi di laga berikutnya, pedal gas Italia seperti macet.
Tim tersendat saat garis finis sudah di depan mata. Pasukan Arrigo Sachi bermain imbang di dua pertandingan tandang terakhir mereka melawan Polandia dan Georgia. Di laga krusial yang menentukan, Italia gagal membekap Inggris di Roma. Kedua tim bermain tanpa gol. Ini membuat Italia mentok di urutan kedua grup, satu poin di belakang Inggris yang ditukangi Glenn Hoddle.
Play-off pun menjadi penentu nasib Italia. Mereka berangkat ke Rusia. Buffon masuk menggantikan Pagliuca ketika waktu hampir satu jam tersisa. Buffon yang tidak punya pengalaman, tentu saja pada level ini, harus membuktikan diri di depan suporter lawan dan dalam kondisi lapangan yang lebih layak untuk bermain ski. Tentu misinya sulit. Jika tidak mampu tampil impresif, malam seperti inilah yang bisa mengukir nama seorang Buffon. Entah itu menjadi indah atau hanya menjadi goresan memori kelam.
Buffon mungkin gugup, tapi dia tidak menunjukkannya. Hanya sepuluh menit setelah masuk, dia memberikan kontribusi penting pertamanya. Rusia menyerang dari sayap kanan, dengan bola dikembalikan ke Dmitri Alenichev di dalam kotak penalti Italia. Meski mendapat tekanan, sang gelandang mengarahkan tembakannya ke sudut kiri bawah.
Buffon harus bereaksi cepat. Melompat ke kiri, dia mencakar bola ke belakang untuk menghasilkan tendangan sudut. Dia langsung melompat kembali berdiri, mengepalkan kedua tangannya untuk merayakan seolah-olah dia telah mencetak gol di ujung sana. Bek Fabio Cannavaro, yang baru saja mencatatkan penampilan ke-11 untuk negaranya, langsung memberikan ucapan selamat kepada kiper tersebut, sambil membenturkan kepalanya ke dada Buffon.
Terobosan Rusia sebelum jeda itu akan menjadi bencana bagi Italia. Beruntung dia berhasil menggagalkannya pada saat yang krusial.
Dengan skor imbang saat jeda, Italia tampil luar biasa di babak kedua. Empat menit setelah restart, mereka memimpin. Dalam permainan yang kurang berkualitas, Roberto Di Matteo menghasilkan umpan berkelas, menyelipkan bola dengan sempurna ke jalur pergerakan Christian Vieri. Penyerang asal Italia itu melakukan sisanya.
Penyelamatan Buffon kini tampak lebih penting, dan bisa dibilang menjadi katalis bagi Italia untuk kembali tampil baik di awal babak kedua. Namun, hanya berselang dua menit, keunggulan mereka terhapus. Pemain pengganti Dmitri Khokhlov menemukan ruang di sisi kanan kotak dan menembakkan bola ke area tiang jauh. Sergey Yuran tidak mampu menjangkau umpan silang tersebut, namun kehadirannya sudah cukup, karena Cannavaro meluncur masuk dan secara tidak sengaja membelokkan bola ke gawangnya sendiri. Rusia menyamakan kedudukan, dan clean sheet Buffon pun hilang.
Saat suhu masih di bawah titik beku, aksi mulai memanas. Tim tamu membutuhkan ketenangan di lini belakang jika mereka ingin kembali ke Italia untuk pertandingan leg kedua dengan keuntungan di kantong.
Hal itulah yang ditawarkan Buffon kepada mereka. Menunjukkan kedewasaan melebihi usianya, penjaga gawang muda ini bermain cukup apik. Penanganannya aman, begitu pula pengambilan keputusannya.
Kapan pun ia menguasai bola, Buffon akan menenangkan diri sebelum melancarkan tendangan gawang dari tangannya ke wilayah lawan. Itu jauh dari kesan bagus, tapi itulah yang diperlukan untuk permainan yang dimainkan dalam kondisi yang mengerikan.
Pertandingan berakhir 1-1, penyelamatan Buffon di babak pertama menjadi puncak debutnya. Itu merupakan sebuah tantangan, namun ia telah melewati ujian pertamanya di bawah mistar gawang Italia, dan menunjukkan bahwa ia akan bertahan di Gli Azzurri.
Surat kabar Italia setuju, dengan menyatakan: “Dia langsung beradaptasi dengan perannya dan dia menjadi penentu menjelang akhir babak pertama dengan lompatan besar untuk menggagalkan peluang Alenichev.”
Meskipun penampilan pertamanya mengesankan, Buffon hanya akan berada di bangku cadangan lagi pada leg kedua, yang dimenangkan Italia 1-0 untuk lolos ke Piala Dunia. Dia harus menunggu hingga awal tahun 1999 sebelum dia bisa membuktikan dirinya sebagai kiper pilihan pertama negaranya.
Sejak saat itu, ia jarang melepaskan sarung tangannya selama 20 tahun ke depan, mengamankan warisannya sebagai salah satu penjaga gawang terhebat dalam permainan ini. Dia kemudian mengumpulkan 176 caps lagi untuk negaranya, dan bersama Cannavaro, Alessandro Nesta dan Alessandro Del Piero, yang semuanya tampil dalam pertandingan Rusia tersebut, mengangkat Piala Dunia keempat Italia pada tahun 2006.
Semuanya dimulai pada malam bersalju di Moskow, di mana Buffon menunjukkan ketenangan, kedewasaan, dan kelas. Itu adalah kualitas yang akan berguna baginya sepanjang kariernya.
Pada 2 Agustus 2023, di usia 45 tahun dan setelah 28 tahun berkarier sebagai pemain, Buffon mengumumkan gantung sarung tangan dari sepak bola profesional.(gentlemanultra,transfermarkt, juventus)