Yanis Issoufou disembunyikan dari daftar pemain Prancis yang tampil di babak perempatfinal Piala Dunia U-17 Indonesia 2023, Sabtu (25/11). Uzbekistan yang melawan Prancis untuk kalah tipis 0-1 tidak melancarkan protes seperti Senegal.
Prancis terancam didiskualifikasi dari Piala Dunia U-17 2023 setelah menurunkan Issoufou di fase Grup E, yang tiga pertandingan semua mereka menangkan. Selanjutnya di perempat final, nama Issoufou hilang dari tim. Penyerang Montpellier ini telah tampil untuk Les Bleuets tiga kali di turnamen, mencatatkan dua assist.
“Kami melakukan banyak perubahan hari ini, tapi hasilnya menunjukkan saya punya banyak pemain besar di skuad. Sangat penting untuk menang dan mengamankan tempat pertama di grup. Itu juga berarti kami bisa bertahan di Jakarta [untuk ke 16 Besar]. Kami tidak kebobolan gol di seluruh pertandingan grup kami dan ini merupakan hal positif yang besar," kata Jean-Luc Vannuchi, pelatih Prancis, usai mengalahkan Amerika Serikat, Sabtu (18/11).
Vannuchi sama sekali tidak bicara fakta tentang Issoufou. Pemain ilegal itu segera disingkirkan oleh Prancis saat bentrokan melawan Senegal, Rabu (22/11) pekan lalu. Satu hari kemudian, jurnalis Ibrahim Sannie Daara memposting di X, sebelumnya dikenal sebagai Twitter, sebuah foto petikan dari 'protes resmi' yang dikirimkan federasi sepak bola Senegal ke FIFA.
Issoufou memperkuat Niger U-17 dalam kompetisi yang memungkinkan negara Afrika lolos ke Piala Dunia U-17 2023, menurut Sport News Africa. Berdasarkan aturan FIFA (pasal 24), seorang pemain dilarang mewakili dua negara dalam satu turnamen. Akibatnya, Senegal mengajukan pengaduan kepada badan sepak bola dunia. Tapi FIFA melindungi Prancis karena belum mengambil sikap, mungkin tidak akan memutuskan apa-apa, hingga turnamen selesai.
Bukan hanya Issoufou yang terlihat gadungan di skuad U-17 besutan Vannuchi. Prancis sebagai satu kesebelasan sesungguhnya mirip tim "Afrika Palsu" yang berbendera Eropa. Pada starting-eleven terakhir mereka versus Uzbekistan hanya dua pemain berdarah murni Prancis, kiper Paul Argney dan gelandang tengah Nolan Ferro. Sisa sembilan lainnya berasal dari keturunan asli asal Afrika.
Kultur Afrika di timnas Prancis bahkan dimulai jauh sebelum Piala Dunia U-17 perdana digelar 1985. Gara-garanya mereka nirprestasi semua level di lapangan hijau dalam kurun 20 tahun antara akhir 1950-an sampai awal '80-an.
Negeri Mode ini menjadi tuan rumah Piala Dunia 1938, namun baru bisa mencapai semifinal pada gelaran 1958 bersama duet bintang, Raymond Kopa dan Just Fontaine, keduanya pemain kulit putih. Setelah meraih peringkat ketiga Piala Dunia '58, Prancis hancur lebur.
Mereka baru memprogram masuknya pemain-pemain keturunan Afrika sejak Marius Trésor jadi kapten 1977, disusul Jean Tigana pada awal '80-an. Tapi yang paling berpengaruh malah Michel Platini, asal imigran Italia, yang membantu Prancis ke semifinal Piala Dunia 1982 dan juara Eropa 1984. Puncaknya Zinedine Zidane, generasi kedua keturunan Aljazair yang berdomisili di daerah kumuh di Paris, memberi gelar juara dunia 1998.
Naturalisasi merupakan cara instan Prancis untuk jadi raksasa sepak bola dunia. Usai Zidane gantung sepatu, generasi baru pemain mereka otomatis seperti robot di rumput hijau yang bergaya sangat menjemukan.(goal,sportbible,fifa)