close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Marcelino Ferdinan bertekuk lutut di kaki Irak. Foto AFC
icon caption
Marcelino Ferdinan bertekuk lutut di kaki Irak. Foto AFC
Olahraga
Kamis, 18 Januari 2024 19:28

Piala Asia 2023: Keledai yang jatuh di lubang yang sama

Malapetaka terjadi pada waktu tambahan babak pertama. Ali Jasim dibebaskan Asnawi Mangkualam di sayap kiri.
swipe

Performa tim nasional Indonesia menunjukkan peningkatan lumayan. Tapi pihak lawan menunjukkan progres yang lebih lumayan, lebih penting, dan sangat jauh lebih hebat daripada kinerja Indonesia.

PSSI senior tampil perdana di Piala Asia 2023 tidak datang dengan kekuatan yang berbeda. Tapi dengan kelemahan yang sama. Mempertunjukkan kesalahan yang sama. Berasal dari pemain-pemain yang sama. Versus lawan yang sama. Itulah rangkuman dari pelbagai adegan yang terjadi selama pertandingan.

Indonesia kembali bertemu Irak di Ahmed bin Ali Stadium distrik Rawdat Al Jahhaniya, Qatar, Senin (15/1). Tepat sebulan sebelumnya, Singa Mesopotamia mengerkah kepala burung Garuda bagaikan tak berdaya sampai sekarat berdarah-darah, Irak menghempaskan Indonesia dengan telak 1-5.

Pelatih Shin Tae-yong menukar tujuh nama pada starting-eleven, hasilnya tidak berubah. Kalah lagi, 1-3. Skornya lebih kecil, tapi artinya tetap kalah. Burung Garuda di dada kaos merah pun seperti mati terinjak Irak tepat kepalanya. 

Waktu bertanding baru menunjukkan 1:30 (menit kesatu detik ke-30). Bek tengah Irak Saad Natiq menyodorkan umpan datar diagonal ke depan dari lini pertahanannya sendiri kepada rekan sepermainannya, bek kanan Hussein Ali, yang maju mendekati garis tengah sebelah kiri.

Dari sisi lapangan milik Indonesia, full back kiri Pratama Arhan berlari mendekati Hussein. Ancang-ancangnya memburu bola itu berjarak sekitar 10 meter. Bukannya menahan diri sabar membayangi pergerakan lawan, Arhan malah langsung menekan habis dengan teknik "ambil sekali" dan itu menjadi kesalahan pertama Indonesia.

Hussein bisa mengecoh Arhan dengan mudah. Dia bahkan tidak usah susah-payah membuat gerak tipu. Bola dikontrol satu sentuhan, kemudian ditendangnya melewati Arhan. Hanya dua kali gerakan, begitu saja. Tujuan umpannya lurus ke ke depan, sayap kanan Ibrahim Bayesh.

Bayesh saat itu dibayangi Elkan Baggott. Bek Inggris yang di-WNI-kan ini bertindak dengan benar. Lawannya tidak sedang berada di daerah berbahaya. Teori sepak bola mengatakan: bayangi saja. Elkan pun mematuhi prinsip dasar permainan.

Sebaliknya, prinsip itu tidak melekat di benak Arhan. Mungkin saja dia masih terbawa perasaan, sedang terpecah-belah konsentrasinya, antara fokus ke pertandingan atau memikirkan pengantin barunya. Selama pertandingan, bek kiri ini kemudian banyak menyusahkan rekannya sendiri.

Selanjutnya apa yang terjadi? Bayesh bisa mengecoh Elkan, sama mudahnya dengan Hussein mengecoh Arhan barusan. Lewat tumitnya Bayesh mengumpan bola balik ke belakang, kembali ke Hussein yang melaju ke depan. Hussein maju karena melihat celah kosong di antara transisi gelandang dan bek Indonesia.

Selangkah di belakang bek Irak yang bergerak maju, Justin Hubner keteteran mengambil posisi bertahan. Dia jelas tidak siap mengantisipasi manuver Hussein, seorang pemain belakang, yang secara tidak terduga langsung masuk menyerbu. Bahaya melanda garis pertahanan Indonesia.

Bebasnya Hussein memasuki ruang kosong itu mutlak sekali gara-gara kesalahan Arhan di menit 1:30 tadi. Bek kiri nomor 12 Indonesia ini lemah membaca permainan, kerap keliru mengambil keputusan, sering salah posisi, banyak salah umpan, selalu jadi sasaran penindasan lawan. Akibatnya hampir fatal.

Sambil berlari ke depan, mendekati kotak penalti, Hussein menyambut umpan Bayesh. Kawalan Justin kendur lalu lepas, terengah-engah napasnya. Elkan terpaksa menekel kaki Hussein demi menghentikan lawan yang memasuki daerah berbahaya.

Wasit meniup peluit. Elkan diganjar kartu kuning. Belum dua menit. Arhan telah menghancurkan dua rekannya: Justin, dan, yang paling fatal, Elkan.

Jika menyimak komentar nonsense dari sebagian pengamat terkenal bahwa pemain Garuda banyak kalah duel, itu argumentasi kurang logis juga. Di saat-saat krusial justru Indonesia yang banyak menang duel.

Paling jelas ketika Yakob Sayuri lepas di sayap kanan lalu melewati Ali Adnan sebelum mengumpan tanggung horizontal ke dalam kotak penalti untuk diselesaikan gol Marcelino Ferdinan. Tekel vital Elkan mencuri bola Mohanad Ali di mulut gawang juga menunjukkan pemain Garuda sebenarnya lumayan menantang dalam duel satu lawan satu.

Payahnya hanya pada masalah koordinasi. Rangkaian adegan sejak menit 1:30 tersebut sudah jelas menunjukkan bagaimana kecerobohan individu merusak organisasi permainan.

Di seberang lapangan pertandingan, Irak hanya mengandalkan satu taktik baru. Tidak lagi bermain kasar. Tapi tetap memforsir kontak fisik sebab tenaga mereka lebih besar.

Mereka menciptakan situasi tidak seimbang terutama ketika pemain Indonesia menguasai bola. Menekan secara berlapis (teknik merebut penguasaan dalam situasi hilang bola seperti ini dinamakan "double team" dalam permainan bola basket). Satu pemain Indonesia yang menguasai bola senantiasa dikeroyok oleh dua-tiga pemain Irak.

Parahnya, rekan sepermainan jarang muncul dalam ruang gerak pemain Indonesia yang membawa bola. Akhirnya timbul panik, lantas kebingungan sendiri. Berulang kali terjadi. Satu-satunya keuntungan yang menonjol cuma munculnya Marcelino, yang masuk dari sayap kiri ke tengah permainan, di kala Yakob menggiring bola, mengiris rusuk pertahanan Irak. Tiga detik sebelum gol balasan yang mengubah skor 1-1. Selebihnya ampas.

Malapetaka terjadi pada waktu tambahan babak pertama. Ali Jasim dibebaskan Asnawi Mangkualam di sayap kiri. Jasim mendapat durian runtuh: Ruang gerak yang kosong tanpa lawan, bebas dari tekanan musuh dalam waktu yang cukup lama. Dia bisa leluasa berpikir dulu akan mau apa dengan bola.

Bola pun sampai ke kakinya, diterima Jasim. Asnawi mencoba maju menutup ruang, barangkali merasa bertanggung jawab. Tapi mengapa sedetik kemudian full back kanan Indonesia itu berubah pikiran?

Sekali saja Jasim bergoyang, Asnawi mengelakkan diri, lepas tanggung jawab. Detik itu juga terlihat adegan seperti pertandingan di kelompuk umur 10 tahun SSB atau di final tarkam antardesa di tempat terpecil di balik gunung di daerah pedalaman sana. Adegan memalukan ini kurang pantas ditayangkan televisi mestinya disensor komisi penyiaran.

Jasim bebas lepas meluncurkan peluru bola kencang mendatar silang yang tanpa halangan langsung menembak penjaga gawang Ernando Ari. Sisa adegan terakhir hanya bagaikan terlihat sebuah lubang besar menganga, lubang yang sama di mana seekor keledai telah jatuh ke dalamnya. (OPINI)

img
Arpan Rachman
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan