close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Quo vadis visi PSSI percaya proses naturalisasi?. Foto PSSI
icon caption
Quo vadis visi PSSI percaya proses naturalisasi?. Foto PSSI
Olahraga
Kamis, 26 Mei 2022 07:35

Quo vadis visi PSSI percaya proses naturalisasi?

Bakat-bakat lokal seakan dianggap mampet keunggulannya, lantas digaungkan wacana naturalisasi.
swipe

 

PSSI mengumumkan bahwa Sandy Walsh dan Jordi Amat telah menyelesaikan proses naturalisasi mereka di Indonesia. Tapi, masih merahasiakan apakah mereka siap tampil di kualifikasi putaran ketiga Piala Asia, dua pekan mendatang.

"Nenek saya dari Purworejo dan kakek asal Surabaya," kata Walsh di depan meja makan malam dalam tayangan pekan lalu. Amat diajak pengurus PSSI menonton siaran langsung pertandingan tim nasional U-23 yang berlaga di SEA Games XXXI Vietnam 2021.

Dua nama anyar ini menambah panjang daftar pemain naturalisasi yang diurus PSSI dari sekitar 35 pemain lain sejak Nol van der Vin pertama dinaturalisasi 1952. Jadi, proses menaturalisasi pemain asing tak dinyana sudah berlangsung 70 tahun.

Sejauh ini, baru tiga pemain yang tampil cukup lumayan, walau semuanya gagal mengangkat piala. Ukuran lumayan itu sebatas Asia Tenggara saja. Pertama, striker Cristian Gonzales di Piala AFF 2010 membawa Garuda menjadi juara kedua. Setahun kemudian, Diego Michels ikut merebut perak SEA Games 2011. Ketiga, Stefano Lilipaly yang mengulang pencapaian Gonzales di Piala AFF 2016.

Di bawah ketiganya, sejumlah nama sempat menunjukkan kualitas teknis yang baik, tapi gagal menyatu dalam sebuah timnas yang solid. Sebutlah, Sergio van Dijk, Raphael Maitimo, Beto Goncalves, Ezra Walian, Bio Paulin, Victor Igbonefo, dan Greg Nwokolo.

Mengapa mereka gagal menyatu dalam timnas? Pengalaman Ilija Spasojevic dalam rekaman pertandingan uji coba timnas kontra Suriah pada akhir 2017 dapat disimak kembali. Saat itu, Spaso tak kunjung dikasih bola bagus oleh 10 pemain lain. Kesannya, pemain lain tidak mau berbagi bola kepadanya.

Karena itu, kegagalan timnas selama ini bukan murni disebabkan pemain naturalisasi jelek mutunya. Yang tidak bisa membuktikan diri memang ada seperti Tonnie Cusell dan Jhonny van Beukering, dulu. Tapi ketidaksuksesan timnas lebih cenderung lantaran pemain lokal seperti tidak berpikiran terbuka mau maju sebagai sebuah kesebelasan.

"Penyakit bawaan" ini yang paling mutlak perlu diperbaiki. Perbaikannya bahkan bisa dikerjakan secara instan tanpa butuh banyak proses. Caranya dengan belajar lebih giat lagi untuk bekerja sama. Pahamilah bahwa sepak bola bukan jenis olahraga terukur sekaligus merupakan permainan organisasi.

Naturalisasi itu penting, namun tak usah terlalu tinggi harapan. Figur yang diketahui sinis menentang program ini, pelatih Fakhri Husaini, pernah menyindir tagar "Percaya Proses" yang dicanangkan PSSI. Celotehnya di Instagram: Ternyata yang dimaksud dengan "Percaya Proses" adalah "Percaya Proses Naturalisasi", ya....Mantapss. Tulisan Fakhri disisipi emoji menangis di akunnya.

Kilas balik prestasi terakhir PSSI senior tercipta hanya dalam rentang waktu enam tahun antara 1985 hingga 1991. Saat itu, kompetisi Galatama masih bergulir lancar. Bersamaan dengan satu program elite di mana sebagian pemain pilihan berkumpul ke dalam sebuah timnas tanpa mereka ikut kompetisi reguler: PSSI Garuda I.

Di samping itu, jejaring pemain nasional lain disaring dari kompetisi Perserikatan. Rumus seleksi dari trisula Galatama-PSSI Garuda I-Perserikatan itu lalu digabungkan menjadi kesebelasan yang cukup tangguh.

Hasilnya, juara putaran pertama kualifikasi Piala Dunia 1985 menuju Meksiko 1986, semifinal Asian Games 1986, medali emas SEA Games 1987, dan emas SEA Games lagi 1991. Pelatihnya dua lokal: Bertje Matulapelwa, Sinyo Aliandoe, dan satu asing: Anatoli Polosin.

PSSI Garuda I pada 1980-an tampak mencontoh program sebelumnya, dimulai sejak PSSI A dan PSSI B era 50-an sewaktu ditangani pelatih legendaris Toni Pogacnik. Hingga PSSI Utama digandeng PSSI Binatama dekade 70-an, yang sempat berguru hingga ke Brasil.

Situasi berbalik 180 derajat sejak PSSI Garuda II berantakan. Tidak muncul dari kawah candradimuka program elite lanjutan itu bakat-bakat baru yang lebih bagus dari para seniornya. Gagal total di segala ajang, PSSI berupaya menyulap program baru: PSSI Primavera diikuti PSSI Baretti. Tapi, gagal lagi, gagal lagi.

Akhirnya, fans Garuda hingga kini merasakan hari-hari cemerlang telah berakhir, berubah jadi larut malam yang begitu gelap. Matahari prestasi selamanya tenggelam di ufuk PSSI untuk semua kejuaraan.

Bakat-bakat lokal seakan dianggap mampet keunggulannya, lantas digaungkan wacana naturalisasi. Tentu pengaruh Prancis mendominasi penilaian tersebut, seraya membandingkan banyaknya keturunan imigran berkostum tim Ayam Jantan, terbilang berjaya di Eropa sejak 1984. Siapa yang pertama menghembuskan isu itu di Indonesia, entahlah.

Selain mereka yang berakar asal Belanda, juga berderet pemain lainnya muncul dari Afrika dan Amerika Latin, yang lantas memutuskan jadi warga negara Indonesia. Sayangnya, dari beberapa nama yang masih aktif bermain, lebih banyak yang menurun performanya karena telah berusia senja.

Harapan tinggi pernah diemban Michels sejak peran dia di lapangan diubah pelatih Rahmad Darmawan dari fullback ke bek kanan. Usianya, apalagi, masih muda. Tapi,  selentingan rumor beredar bahwa temperamen Diego yang panas bisa menyusahkan tim.

Semua pelatih setelah RD tidak pernah merekrut Diego Michels kembali berseragam timnas. Sepuluh tahun berlalu, bakat besarnya tersia-sia dari skuad Merah-Putih. Sekarang, permainannya sudah jauh berkarat mungkin akibat salah pergaulan di liga yang tentu tidak steril dari unsur-unsur misterius nonteknis, umurnya pun menanjak 31 tahun.

Di dalam lapangan, para pemain lokal tak mau berbagi bola. Di luar lapangan, selera pelatih menjadi kunci kesalahan dalam egoisme sepak bola Indonesia selama ini. Itu, hambatan yang dialami para pemain naturalisasi.

Dari ajang SEA Games XXXI yang baru selesai, muncul lagi faktor ketiga: di dalam lapangan, semua beban berat seolah menimpa Marc Klok, satu-satunya naturalisasi yang diajak bermain ke Vietnam. Sepuluh bintang lokal lain yang bersamanya di tengah lapangan terlalu banyak bergantung kepadanya.

Terbukti selera pelatih bahkan menjadi kunci kesalahan berulang. Egoisme Shin Tae-yong meninggalkan Spaso, Walian, dan Lilipaly membuat striker lokal yang tampil mirip macan ompong di depan gawang tim-tim kuat Asia Tenggara. Ditambah lagi program terkini hanya menaturalisasi gelandang dan pemain belakang. Krisis mesin gol tetap membayangi Indonesia.

img
Arpan Rachman
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan