Sulit mengalahkan Australia U-23. Di atas kertas atau di atas lapangan. Sama saja. Sejatinya mereka tim "Eropa palsu" yang sedang menyamar di Asia. Kalau pertimbangannya itu, kemenangan rasanya kemustahilan bagi tim nasional Indonesia U-23, Kamis (18/4).
Pertandingan kedua di Grup A Piala Asia U-23 sepertinya menjadi akhir karier Shin Tae-yong (STY) melatih PSSI. Kekalahan akan membuat Rizky Ridho cs tersingkir dari turnamen. Sebagai tim debutan sekaligus pecundang pertama.
Target STY otomatis gagal. Pelatih yang suka banyak alasan ini tersisa kurang dua bulan kontraknya. Jadi tinggal makan gaji buta saja. Dia mungkin tidak perlu mendampingi timnas senior ke lanjutan Pra-Piala Dunia 2026 mendatang.
Usai laga nanti, apakah pelatih Australia Tony Vidmar menjadi orang pertama yang akan memberi ucapan selamat tinggal kepada STY? Pastinya sambil tersenyum lebar sebagai pemenang.
Tim berjuluk Olyroos telah mengamankan satu angka dari hasil imbang kontra Yordania di laga perdana. Pola permainan mereka klinis, rapi, sesuai teori, taat pada buku teks sepak bola. Jauh di atas level timnas Indonesia.
Rencana strategis yang dirancang oleh Coach Tony tampak jelas untuk skuadnya: seri lawan duo Timur Tengah dan menang versus Indonesia. Dia memperhitungkannya secara matang.
“Kami telah melihat banyak permainan mereka (Indonesia), baik dengan pemain berusia 23 tahun maupun senior mereka, jadi ini memberi kami gambaran tentang apa yang diharapkan,” kata Vidmar dilansir News.com.au.
“Mereka juga bisa melakukan sesuatu yang sangat berbeda, dan itulah yang harus kami waspadai. Mereka mungkin akan melakukan beberapa perubahan, tetapi ada kemungkinan besar mereka akan tetap menggunakan formasi dan gaya bermain yang sama. Saya tidak melihat hal itu akan berubah.
“Kami harus bersiap menghadapinya dan benar-benar siap untuk tampil, bekerja keras, dan berjuang."
“Anda harus bersaing, dan kualitas pada akhirnya adalah apa yang kami pertaruhkan untuk memenangkan pertandingan.”
“Itulah tantangan yang kami hadapi. Itu tidak kita dapatkan di kompetisi domestik, jadi bagi sejumlah pemain itu hal baru,” ujarnya.
“Semakin sering tantangan itu dihadapi, hal itu membuat lawan mereka frustrasi, dan itu adalah sesuatu yang kami katakan kepada para pemain, bahwa itu adalah bagian dari permainan, tetapi kami tidak bisa, kami tidak bisa memengaruhi wasit.
“Mereka (Indonesia) harus mengambil keputusan apa saja, dan (kami perlu) fokus pada apa yang harus kami lakukan.
“Mereka (Indonesia) akan memiliki game plan di mana mereka akan mengambil waktu jeda, menunda tempo, dan itu mengganggu ritme permainan Anda.
“Itu adalah langkah pembelajaran besar bagi para pemain ini. Mereka sudah mengalaminya, akan sangat menyenangkan jika mereka bisa mengalaminya lebih banyak lagi. Mereka hanya akan menjadi lebih baik karenanya,” umbar Vidmar.
Australia terlihat sangat siap memenangkan pertandingan. Selain pelatihnya, dua pemain Mohamed Toure dan Jacob Italiano merasa percaya diri jelang berhadapan Indonesia seperti dikutip situs resmi Socceroos.
Otak permainannya, gelandang kiri Nicolas Milanovic. Alur serangannya banyak memforsir kelincahan sayap kanan, Alou Kuol. Sedangkan titik lemah pada bek kiri, Jacob Farrell. Penjagaan Patrick Beach lumayan tangguh di bawah mistar gawang.
Tapi, di sisi lain, 11 pemain Indonesia tampak kurang pintar "membaca" skema organisasi lawan. Nada pesimis kini mencuat apakah Marcelino Ferdinan dkk mampu mengatasi kepiawaian Milanovic, Kuol yang lincah, dan lambannya Farrell.
Topeng samaran "Eropa palsu" dari tim Australia U-23 sudah kentara dari patron 4-4-2 yang mereka terapkan. Gayanya bahkan meniru gaya Inggris habis.
Sejak bergabung ke AFC (Konfederasi Sepak Bola Asia) 1 January 2006, baik Socceroos (tim senior Australia) maupun Olyroos (U-23) telah memupus asa banyak kesebelasan mapan papan atas Asia.
Setelah hengkang dari OFC (Konfederasi Sepak Bola Oceania) mestinya Football Australia langsung bergabung ke UEFA (Union of European Football Association). Soalnya mereka sangat kental "berdarah" Eropa.
Sialnya, AFC membuka pintu untuk Australia. Sekaligus menutup kesempatan bagi tim-tim medioker yang baru mulai berkembang di benua ini. Imbasnya jarak ke pentas dunia semakin jauh buat kompetitor enteng seperti timnas Indonesia.(OPINI)