Stadion Menteng, markas Persija yang digusur
Penantian 17 tahun merengkuh gelar di kasta tertinggi sepak bola tanah air, bukan hal yang singkat bagi Persija. Terakhir, tim berjuluk Macan Kemayoran ini merengkuh juara kompetisi Liga Indonesia—saat itu namanya masih Divisi Utama—pada 2001. Kebetulan, lawan yang dikalahkan di partai puncak adalah PSM Makassar, pesaing terdekatnya di Liga 1.
Ironisnya, sebagai jawara, sepanjang musim 2018 Persija nomaden. Sejumlah stadion dipakai Persija sebagai markas, seperti Patriot Chandrabhaga, Bekasi; Stadion Pakansari, Cibinong; Stadion PTIK, Jakarta; Stadion Sultan Agung, Bantul; dan Stadion Wibawa Mukti, Cikarang. Stadion Gelora Bung Karno pun beberapa kali dipakai sebagai kandang.
Dahulu, Persija memakai Stadion Lebak Bulus sebagai markas mereka, sebelum stadion itu diratakan dengan tanah pada 2015 demi pembangunan megaproyek transportasi massal berbasis rel (mass rapid transit/MRT). Sebelumnya, kesebelasan oranye ini memakai Stadion Menteng selama puluhan tahun.
Dibangun arsitek Belanda
Budayawan Alwi Shahab dalam sebuah tulisannya di buku Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang menulis, tokoh arsitek Belanda Barlage, saat bertandang ke Batavia pada 1920-an, menyebut Menteng sebagai lingkungan Eropa. Wilayah ini disebut-sebut mirip Minervalaan, kawasan elite di Amsterdam, Belanda.
Alwi menulis, kawasan Menteng dibangun oleh NV De Bouwploeg, nama perusahaan real estate pertama. Kini, kantornya menjadi Masjid Cut Meutia, Gondangdia.
Dalam Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century, Christopher Silver menulis, pengembangan awal kawasan Menteng berlangsung antara 1910 dan 1918. Pembangunan ini berdasarkan rencana arsitek Belanda, P.A.J. Mooijen.
Mooijen membayangkan kawasan Menteng serupa model kota taman di Inggris, Ebenezer Howard. Ia memadukan jalan-jalan lintas batas yang luas, dengan lingkaran konsentris jalanan, serta alun-alun di pusatnya.
“Rencana Mooijen telah dimodifikasi secara besar-besaran oleh F.J. Kubatz, sebagai bagian dari rencana pembangunan keseluruhan kota berikutnya,” tulis Silver.
Kubatz mengubah pola jalan, membangun sebuah danau kecil (sekarang menjadi Taman Situ Lembang), taman pusat, dan sarana olahraga. Pada 1921, stadion sepak bola untuk orang-orang Eropa dibangun, bernama Voetbalbond Indische Omstreken Sport—dikenal pula dengan sebutan VIOS atau Viosveld.
Krisis lapangan
Firman Lubis dalam bukunya Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja mengenang lapangan sepak bola di kawasan Menteng itu. Sewaktu dia remaja, Firman ingat, ada sejumlah lapangan sepak bola tak jauh dari rumahnya. Ia pun mengisahkan ingatannya mengenai Viosveld.
Menurut Firman, stadion seluas 3,4 hektare itu setelah kemerdekaan bernama Voetbal is Onze Sport. Lalu, namanya berubah kembali menjadi lapangan Persija.
“Lapangan VIOS hanya dipakai oleh perkumpulan sepak bola yang menyewanya saja, bukan sebagai lapangan terbuka untuk umum,” kata Firman, dalam bukunya Jakarta 1950-an.
Stadion itu memang selalu riuh oleh kompetisi antarklub. Namun, pada 1950-an Persija belum memakai stadion tersebut sebagai markas. Tim ibu kota saat itu masih menggunakan Stadion Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) sebagai tempat mereka menjamu tim-tim tamu.
Akan tetapi, nahas bagi Persija. Pada Agustus 1961, pemerintah merencanakan membangun Monumen Nasional. Lapangan Ikada termasuk dalam kawasan tergusur.
Stadion Ikada masih digunakan hingga 1962. Begitu pula dengan perhelatan Asian Games IV di Jakarta pada 1962. Lapangan itu menjadi saksi perjuangan tim nasional sepak bola Indonesia. Meski akhirnya kalah saing dengan tim nasional Malaya dan Vietnam Selatan di penyisihan grup.
Pada November 1962, Stadion Ikada mulai dibongkar. “Di stadion ini biasanya kalau tidak ada pertandingan penting, setiap akhir pekan dilakukan pertandingan kompetisi Persija,” tulis sebuah keterangan foto pembongkaran Stadion Ikada dalam majalah Aneka edisi 17 November 1962.
Singkat cerita, pengurus dan pemain Persija kelimpungan. Mereka menghadapi apa yang disebut sebagai krisis lapangan.
Sebuah artikel “Persidja dan Persebaja dirundung kesulitan” dalam majalah Aneka edisi 3 November 1962 melukiskan keluh-kesah Persija kala itu. Menurut artikel tersebut, di lokasi Monas dibangun, yakni Medan Merdeka, ada 10 lapangan sepak bola. Seluruhnya terancam raib.
“Stadion Ikada sudah mulai dibongkar. Persija kehilangan lapangan di mana pertandingan kompetisi biasa diadakan,” tulis artikel tersebut.
Ada dua lapangan yang diproyeksikan menjadi markas Persija saat itu, yakni Stadion Menteng dan Lapangan Petak Sinkian.
Akan tetapi, Persija memiliki 30 perkumpulan sepak bola. Perkumpulan-perkumpulan ini memiliki pula lebih dari satu kesebelasan. Tentu saja, semuanya butuh tempat latihan.
Tergusurnya lapangan-lapangan yang ada di kawasan Medan Merdeka, membuat perkumpulan-perkumpulan yang ada di bawah naungan Persija ikut kelimpungan.
Sementara, masih menurut artikel yang sama, lapangan sepak bola lainnya di wilayah Jakarta, seperti lapangan di Taman Sari, Jatinegara, Manggarai, dan VIJ Petojo sudah penuh sesak menampung berbagai perkumpulan sepak bola, tingkat junior hingga senior.
“Salah satu jalan keluar adalah membangun tambahan lapangan lagi, di samping menyempurnakan lapangan yang sudah ada hingga memenuhi syarat, dan mengatur pemakaiannya dengan adil,” tulis sebuah artikel dalam Aneka, 3 November 1962.
Presiden Sukarno akhirnya memberikan stadion di Menteng itu sebagai markas Persija, menggantikan Stadion Ikada yang diratakan dengan tanah. Lantas, selain dikenal sebagai Stadion Menteng, lapangan itu memiliki nama lain: Stadion Persija.
Stadion Persija pun akhirnya digunakan kali pertama untuk menggelar pertandingan-pertandingan antarklub di bawah Persija dalam Kompetisi Persija musim 1962/1963. Di sini, klub-klub seperti UMS, Maluku, Hercules, Maesa, dan Djakarta Putera bertanding.
Di stadion berkapasitas 10.000 penonton, terletak di Jalan HOS Tjokroaminoto, Menteng inipun Persija mengarungi kompetisi PSSI, menjamu tamu-tamunya dari berbagai kota.
Digusur Sutiyoso
Tergusurnya Stadion Menteng seperti sudah diramalkan 44 tahun sebelumnya. Pada 1962, ada sebuah kalimat di artikel pendek majalah Aneka, yang akhirnya benar-benar kejadian pada 2006.
“Lapangan Persija itupun masih berdiri di atas duri—demi keindahan kota, mungkin akan dibongkar pula,” tulis sebuah artikel berjudul “Persidja dan Persebaja dirundung kesulitan" dalam Aneka edisi 3 November 1962.
Deru mesin dari alat-alat berat mengaum pada 26 Juli 2006. Hari itu, Satpol PP Pemerintah Provinsi Jakarta bersama pihak kepolisian dan TNI, meruntuhkan kenangan jejak sejarah Persija.
Sebelum pembongkaran, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sutiyoso, sudah jenuh dengan kondisi stadion yang tak terawat.
Menurut data yang dihimpun Gatra volume 12, tahun 2006, dalam artikel “Tekad Bulat Gusur Viosveld”, ada sekitar 25 keluarga yang menghuni kompleks stadion. Sementara di sekitar stadion, berdiri kios-kios pedagang kaki lima. Kondisi ini membuat stadion terlihat kumuh dan tak terawat.
Bukan hanya itu. Menurut Andy Fuller dalam tulisannya di buku The Palgrave International Handbook of Football and Politics, tribun kayu di dalam stadion rusak, pencahayaan redup, dan rumputnya kurang terawat.
“Hampir tidak layak untuk dijadikan ajang turnamen junior pada 2000, apalagi untuk markas tim ikonik Persija yang sangat profesional dan sangat dicintai,” tulis Fuller.
Meski begitu, Fuller melanjutkan, stadion ini sangat dihargai. Bangunannya dipugar dan diperbaiki oleh para gubernur DKI Jakarta sebelum Sutiyoso, seperti Ali Sadikin, Tjokropranoto, Wiyogo Atmodarminto, dan Suryadi Sudirdja. Mereka, sebut Fuller, melindungi stadion agar tak berubah menjadi mal.
Namun, yang ada di benak Sutiyoso, bukan menyulapnya menjadi mal. Tapi, sebuah taman kota.
Menurut artikel “Tekad Bulat Gusur Viosveld” di dalam Gatra volume 12, 2006, sebagian besar lahan Stadion Menteng akan dibangun taman dengan tempat kegiatan olahraga. Pemprov Jakarta juga akan membangun gedung multifungsi tiga lantai, dengan luas 4.000 meter persegi.
Saat itu, penggusuran Stadion Menteng mendapat penolakan banyak pihak. Selain dari pihak Persija, penolakan juga datang dari Menteri Pemuda dan Olahraga kala itu, Adhyaksa Dault.
Penolakan terjadi lantaran, selain menyimpan memori dan berbagai tropi, stadion ini sudah melahirkan banyak legenda sepak bola nasional. Sebut saja, Anjas Asmara, Ronny Pattinasarani, Iswadi Idris, Sutjipto, hingga Bob Hippy.
“Penggusuran stadion menjadi taman kota terasa absurd dan memutuskan akar sejarah penanda Kota Jakarta, konteks kota taman kawasan Menteng, dan sejarah persepakbolaan yang panjang dan tak ternilai harganya,” tulis Nirwono Joga dan Yori Antar dalam buku Komedi Lenong: Satire Ruang Terbuka Hijau.
Di dalam buku tersebut, Nirwono dan Yori menawarkan solusi terbaik, ketimbang bulat-bulat harus menghancurkan stadion. Menurut mereka, revitalisasi Stadion Menteng bisa dikembangkan dengan menggabungkan konsep stadion, taman, dan lapangan sepak bola.
“Tanpa harus mengorbankan salah satunya. Taman yang mengelilingi stadion ditanami pohon menteng, yang kini sangat langka,” tulis Nirwono dan Yori.
Konsep Nirwono dan Yori sangat beradab. Mereka menulis, di bawah tribun stadion bisa dibangun kantor sekretariat Persija, dilengkapi galeri, kafe, dan museum Persija. Lalu, bisa pula diisi dengan kantor Koramil Menteng, kantor Kelurahan Menteng, dan kios-kios penghuni lama dan baru yang sudah diseleksi.
Kemudian, fungsi asrama para pemain Persija dikeluarkan, untuk menekankan kepemilikan umum stadion. Lalu, masih menurut buku Nirwono dan Yori, lahan parkir bisa disediakan di bawah lapangan sepak bola, dengan kapasitas sekitar 300 kendaraan.
“Ini menjadi pemasukan untuk dana pemeliharaan stadion,” tulis Nirwono dan Yori.
Akan tetapi, semua sudah kadung terjadi. Pemprov DKI Jakarta, di bawah Sutiyoso, melaksanakan pembongkaran berdasarkan landasan hukum surat persetujuan 55 warga Menteng kepada Gubernur pada 11 Juni 2005, Surat Perintah Gubernur DKI No.50/2006 tentang Penertiban Stadion Menteng, dan Undang-Undang No. 80/2005 tentang Tata Kota.
Pembongkaran stadion itu dianggap melanggar sejumlah peraturan, seperti Surat Keputusan Gubernur No D.IV-6098/d/33/1975 yang menetapkan Menteng, termasuk Stadion Menteng sebagai kawasan yang harus dilindungi, dilestarikan, dan dikembangan hati-hati sebagai lanskap cagar budaya; Undang-undang No.5/1992 tentang Benda Cagar Budaya; Undang-undang No.3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional; Perda No.9/1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan Bangunan Benda Cagar Budaya; serta Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14/1988 tentang Penataan Ruang Hijau Perkotaan.
Nasi sudah menjadi bubur. Stadion Menteng tinggal kenangan. Namun, Persija boleh sedikit gembira. Pemprov DKI Jakarta di bawah Gubernur Anies Baswedan sudah menjanjikan akan membangun sebuah stadion sekelas Old Trafford kandang Manchester United di daerah Sunter, Jakarta Utara. Entah, kapan itu terealisasi.
Penantian 17 tahun merengkuh gelar di kasta tertinggi sepak bola tanah air, bukan hal yang singkat bagi Persija. Terakhir, tim berjuluk Macan Kemayoran ini merengkuh juara kompetisi Liga Indonesia—saat itu namanya masih Divisi Utama—pada 2001. Kebetulan, lawan yang dikalahkan di partai puncak adalah PSM Makassar, pesaing terdekatnya di Liga 1.
Ironisnya, sebagai jawara, sepanjang musim 2018 Persija nomaden. Sejumlah stadion dipakai Persija sebagai markas, seperti Patriot Chandrabhaga, Bekasi; Stadion Pakansari, Cibinong; Stadion PTIK, Jakarta; Stadion Sultan Agung, Bantul; dan Stadion Wibawa Mukti, Cikarang. Stadion Gelora Bung Karno pun beberapa kali dipakai sebagai kandang.
Dahulu, Persija memakai Stadion Lebak Bulus sebagai markas mereka, sebelum stadion itu diratakan dengan tanah pada 2015 demi pembangunan megaproyek transportasi massal berbasis rel (mass rapid transit/MRT). Sebelumnya, kesebelasan oranye ini memakai Stadion Menteng selama puluhan tahun.
Dibangun arsitek Belanda
Budayawan Alwi Shahab dalam sebuah tulisannya di buku Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang menulis, tokoh arsitek Belanda Barlage, saat bertandang ke Batavia pada 1920-an, menyebut Menteng sebagai lingkungan Eropa. Wilayah ini disebut-sebut mirip Minervalaan, kawasan elite di Amsterdam, Belanda.
Alwi menulis, kawasan Menteng dibangun oleh NV De Bouwploeg, nama perusahaan real estate pertama. Kini, kantornya menjadi Masjid Cut Meutia, Gondangdia.
Duel antara Djakarta Putera melawan Bintang Timur dalam Kompetisi Persija musim 1962/1963 di Stadion Menteng pada Juni 1963. (Aneka, 29 Juni 1963).
Dalam Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century, Christopher Silver menulis, pengembangan awal kawasan Menteng berlangsung antara 1910 dan 1918. Pembangunan ini berdasarkan rencana arsitek Belanda, P.A.J. Mooijen.
Mooijen membayangkan kawasan Menteng serupa model kota taman di Inggris, Ebenezer Howard. Ia memadukan jalan-jalan lintas batas yang luas, dengan lingkaran konsentris jalanan, serta alun-alun di pusatnya.
“Rencana Mooijen telah dimodifikasi secara besar-besaran oleh F.J. Kubatz, sebagai bagian dari rencana pembangunan keseluruhan kota berikutnya,” tulis Silver.
Kubatz mengubah pola jalan, membangun sebuah danau kecil (sekarang menjadi Taman Situ Lembang), taman pusat, dan sarana olahraga. Pada 1921, stadion sepak bola untuk orang-orang Eropa dibangun, bernama Voetbalbond Indische Omstreken Sport—dikenal pula dengan sebutan VIOS atau Viosveld.