Timnas Indonesia main cepat gilas Jepang 7-0: 55 tahun lalu
Indonesia mengawali turnamen sepak bola Merdeka dengan baik saat mengalahkan Jepang 7-0 di Stadion Perak, Ipoh, tadi malam. Kesebelasan Indonesia mempunyai jawaban terhadap setiap gerakan pemain Jepang.
Tim Indonesia piawai dengan bergerak menyerang cepat dan penjagaan jarak dekat mereka membuat Jepang tidak bisa berbuat apa-apa untuk mendekati jangkauan mencetak gol. Indonesia membuka skor pada menit ke-41, memanfaatkan umpan bek kiri M. Basri, penyerang tengah Jacob Sihasale tepat sasaran dengan tembakannya. Tak lama kemudian, Sihasale kembali mencetak gol untuk membawa Indonesia unggul 2-0 saat turun minum.
Empat menit setelah pertandingan dimulai kembali, Sutjipto Suntoro dari kiri dalam mengubah skor menjadi 3-0. Indonesia unggul 4-0 pada menit ke-64 melalui tembakan kiri luar Abdul Kadir. Surya Lesmana yang berposisi kanan dalam mencetak gol pada menit ke-70 dan kemudian Suntoro membuat skor menjadi 7-0 pada menit ke-74.
Susunan pemain:
Indonesia: Suharsojo; Juswardi, Sunarto, Rashid Dahlan, Sulham; M. Basri, Iswadi, Surya Lesmana; Jacob Sihasale, Sutjipto Suntoro, Abdul Kadir.
Japan: K. Funamoto; Y. Niwa, T. Suehironm, Kamata, J. Kawano; T. Toyama, R. Okamitsu, T. Tanabe, H. Yamada; T. Kuwata, K. Kuwabara.
Masa Jaya PSSI
Tidak isapan jempol, kisah jaya ini bukan fiksi, tapi nyata terjadi di lapangan dalam satu pertandingan. Dikutip utuh dari Harian The Straits Times Singapura, terbit 12 Agustus 1968, halaman 22.
Turnamen Merdeka merupakan kejuaraan sepak bola invitasi tertua di Asia sejak 1957 merayakan hari kemerdekaan Malaysia. Pertandingan dalam turnamen tersebut dinilai pertandingan internasional level "A" oleh FIFA.
Pada gelaran 1968, Indonesia tampil di Grup A bergabung dengan Australia Barat, Korea Selatan, Jepang B, Taiwan, dan Singapura. Alhasil, Abdul Kadir dkk memimpin grup dengan poin 8 dari empat kemenangan dan sekali kalah.
Sekalinya kekalahan, skornya tipis saja 4-5, ditelan dari Australia, meski PSSI sempat unggul 3-0 dalam waktu 31 menit. Reporter The Straits Times kembali melaporkan:
"Ketika Indonesia memimpin 3-0 pada menit ke-31, mereka tampaknya sudah menguasai pertandingan, tetapi Australia bangkit dengan lima gol dalam 18 menit yang membuat pemain Indonesia dan 6.000 penonton tercengang."
Setelah dua laga awal itu, Indonesia kemudian beruntun menggilas Singapura 4-0, Korea Selatan 4-2, terakhir Taiwan 10-1. Skuad asuhan Ernest Alberth Mangindaan yang hebat melaju ke semifinal untuk bertemu runner-up Grup B, Burma.
Versus Burma
Penonton di Merdeka Stadium, Kuala Lumpur, Rabu (21/8/1968), menyaksikan betapa sengit pertandingan ini. Repot sekali Burma menghadapi Indonesia.
Permainan dikuasai Burma sejak peluit berbunyi, tapi Indonesia mampu melepaskan tekanan. Pada menit ke-11, melalui serangan kilat di sisi kiri, lari kijang Kadir melewati pertahanan dan Sutjipto melompat macan ke dalam kotak. Dia kehilangan kendali atas bola karena tergesa-gesa dan bek Burma Tin Han menyapu bola jauh ke tengah.
Indonesia ketinggalan 0-2 dari brace Ye Nyunt di menit ke-14 dan ke-34. Babak pertama berakhir.
Editor olahraga Norman Siebel dari The Straits Times menulis reportase lanjutan jalannya pertandingan: "Indonesia semakin kendur dalam serangan, ritme mereka rusak dan semangat mereka terlihat melemah. Mereka membutuhkan gol cepat di babak kedua untuk menyelamatkan kedudukan."
Sebelum Jose Mourinho memperkenalkan sistem "parkir bus" di Eropa, Burma sudah duluan melakukannya 55 tahun lalu. "Burma memperketat pertahanannya – sembilan pemain di sekitar kotak penalti ketika bahaya mengancam – dan selalu memiliki satu pemain ekstra untuk menghalau tim penyerang Indonesia. Sutjipto dan Kadir tak mampu melepaskan tembakan," lapor Norman.
Berita olahraga itu dilaporkan pada halaman 20 koran terkemuka Singapura. Khusyuk menyimak tulisan Norman, tak ubah layaknya melihat langsung pertandingan. Seperti terlempar ke mesin waktu, lalu duduk di antara riuh-rendah sorak-sorai penonton dengan bau parfum dan aroma keringat merebak di sekitar bangku tribun Stadion Merdeka.
Pertandingan berlanjut. "Tendangan bebas tidak langsung Indonesia pada menit ke-67 tepat di depan gawang meledak tanpa ampun ke tembok pertahanan Burma.
"Saat Indonesia mulai terlihat seolah-olah tidak akan pernah mencetak gol, gelandang kiri Jopie Leepel membuat timnya menyengat dengan serangan dahsyat di sayap. Ia berlari ke atas kotak penalti, melakukan tekel terhadap bek terakhir Burma, Maung Tin, dan memasang umpannya.
"Sihasale menyambut dan melakukan tendangan kaki kiri yang tak terbendung untuk membawa Indonesia kembali bangkit dalam perlawanan pada menit ke-71.
"Burma terjebak dalam kebingungan namun kebangkitan Indonesia kehilangan keampuhannya ketika Iswadi dan Kadir, yang ditempatkan di sayap, tidak mampu memanfaatkan peluang mereka.
"Dua menit menjelang pertandingan usai, Sutjipto yang gagah berani menyundul dan melebar dari sasaran. Dengan satu menit tersisa, dia menerobos pertahanan dan menendang dari jarak sepuluh yard (9,14 meter). Itulah akhir dari Indonesia."
Skor tetap 2-1, Burma yang menang. Tapi mereka kandas dari tuan rumah Malaysia 3-0 di final. Pada perebutan tempat ketiga, Sabtu (24/8/1968), Indonesia kalah lagi dari Australia 1-3.
Setahun berselang, Turnamen Merdeka 1969, Indonesia di final gantian mengalahkan Malaysia 3-2. Tim nasional Garuda meraih gelar ketiga setelah 1961 dan 1962, sekaligus terakhir di kejuaraan ini.
Baru kemudian masuk final lagi pada gelaran 2006, Zaenal Arif cs kalah, juga dengan skor 1-2, dari Burma yang berganti nama Myanmar. Indonesia runner-up membawa hadiah sebesar USD5 ribu.
Kenangan Abadi
Pemain tempo dulu, 1968, kini sudah banyak yang meninggal dunia, Namun, spirit mereka tak mungkin hilang. Kehebatan Indonesia selalu hidup kembali dalam digitalisasi reportase Harian The Straits Times.
Delapan bulan sejak tulisannya itu terbit, pada Kamis 24 April 1969, editor Norman Siebel pingsan dan meninggal di tempat parkir mobil Empress Place, Singapura. Dia sedang berjalan menuju mobilnya setelah mengunjungi Kantor Imigrasi ketika pingsan sekitar pukul 16:40 waktu setempat.
Dua pejalan kaki yang lewat, satu orang India dan satu lagi orang Cina, sia-sia mencoba menyelamatkannya kembali dengan 'pernapasan buatan'. Dia meninggal tak lama kemudian. Seorang dokter yang tiba di lokasi kejadian menyatakan bahwa penyebab kematiannya karena trombosis koroner.
Siebel, 53 tahun, sedang berada di Singapura bersama keluarganya untuk berlibur. Mereka tiba dari Kuala Lumpur hari Sabtu pekan sebelumnya menurut obituari pada halaman satu The Straits Times di hari kematiannya. Karya Norman Siebel yang indah menjadi kenangan abadi. Kejayaan masa lalu sepak bola Indonesia.