close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk menghalau suporter yang masuk ke lapangan usai pertandingan BRI Liga 1 antara Arema kontra Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jatim, pada Sabtu (1/10/2022). Foto Antara/Ari Bowo Sucipto
icon caption
Aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk menghalau suporter yang masuk ke lapangan usai pertandingan BRI Liga 1 antara Arema kontra Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jatim, pada Sabtu (1/10/2022). Foto Antara/Ari Bowo Sucipto
Olahraga
Minggu, 02 Oktober 2022 17:27

Tragedi Kanjuruhan, Amnesty Internasional: Tindakan represif aparat tak bisa dibenarkan 

Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat negara berdampak langsung pada hak untuk hidup.
swipe

Amnesty International Indonesia menilai, tindakan represif aparat kepolisian dalam menangani massa pada tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada Sabtu (1/10) malam, perlu diusut tuntas. Apalagi, mengakibatkan setidaknya 129 orang meninggal dunia.

Tragedi berawal dari kekecewaan suporter Arema FC atas kekalahan tim kesayangannya dari Persebaya dengan skor 3-2. Aremania lalu turun ke lapangan dan diduga menyerang pemain dan official Arema juga aparat.

Hal ini kemudian memicu aparat keamanan menembakkan gas air mata ke arah tribun suporter Arema dan membuat para penonton berdesakan membubarkan diri ke luar stadion sehingga terjadi penumpukan massa.

"Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan negara untuk mengatasi atau mengendalikan massa seperti itu tidak bisa dibenarkan sama sekali. Ini harus diusut tuntas. Bila perlu, bentuk segera tim gabungan pencari fakta (TGPF)," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangannya, Minggu (2/10).

Usman menuturkan, tragedi tersebut mengingatkan pada tragedi sepak bola serupa di Peru pada 1964. Saat itu, lebih dari 300 orang tewas akibat tembakan gas air mata yang diarahkan polisi kepada kerumunan massa.

Hal itu membuat ratusan penonton berdesak-desakan dan mengalami kekurangan oksigen. Usman menyayangkan tragedi memilukan ini kembali terulang 58 tahun kemudian di Indonesia.

"Peristiwa di Peru dan di Malang tidak seharusnya terjadi jika aparat keamanan memahami betul aturan penggunaan gas air mata," ujar dia.

Menurut Usman, aparat keamanan seharusnya memastikan penghormatan penuh atas hak untuk hidup dan keamanan semua orang, termasuk orang yang dicurigai melakukan kerusuhan. Oleh karenanya, Usman menilai, akuntabilitas negara diuji dalam kasus ini.

Terlebih, Pasal 19 FIFA Stadium Safety and Security Regulation melarang penggunaan gas air mata dan senjata api dalam mengamankan massa di stadion. Gas air mata dan senjata api juga  dilarang dibawa masuk ke dalam stadion.

"Kami mendesak negara untuk menyelidiki secara menyeluruh, transparan, dan independen atas dugaan penggunaan kekuatan berlebihan yang dilakukan oleh aparat keamanan serta mengevaluasi prosedur keamanan dalam acara yang melibatkan ribuan orang," jelas Usman.

Usman menjelaskan, penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat negara berdampak langsung pada hak untuk hidup, yang diatur di dalam Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Dia mengingatkan, penggunaan kekuatan harus sesuai perlindungan HAM yang ketat sesuai Kode Etik PBB untuk Pejabat Penegak Hukum (1979) dan Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Pejabat Penegak Hukum (1990).

"Penggunaan kekuatan oleh aparat penegak hukum di Indonesia diatur lebih lanjut oleh UU Nomor 39/1999 tentang HAM hingga Peraturan Kapolri (Perkapolri) tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Polisi (Nomor 1/2009)," jelasnya.

Di sisi lain, Amnesty menyampaikan dukacita kepada para korban dan keluarga. Atas tragedi kemanusiaan yang menyeramkan sekaligus memilukan ini, hak hidup ratusan orang, termasuk anak di bawah umur, melayang begitu saja.

"Kami sampaikan dukacita mendalam kepada keluarga korban, pun kepada korban luka yang saat ini sedang dirawat. Kami berharap, pemulihan kondisi yang segera," pungkas Usman.

img
Gempita Surya
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan