close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi timnas Arab Saudi di Piala Dunia 2022. /Foto dok. FIFA
icon caption
Ilustrasi timnas Arab Saudi di Piala Dunia 2022. /Foto dok. FIFA
Olahraga
Senin, 27 Februari 2023 06:38

Tuan rumah Piala Dunia: Untung atau buntung? 

Kenapa Arab Saudi dan negara-negara lainnya ngebet ingin jadi tuan rumah Piala Dunia? 
swipe

Setelah sempat simpang siur, Arab Saudi dilaporkan tengah bersiap mengajukan proposal untuk jadi tuan rumah Piala Dunia 2030. Negara kaya minyak itu tengah merayu Mesir dan Yunani untuk jadi tuan rumah bersama. 

Demi memuluskan rencananya, Arab Saudi sempat dikabarkan menunjuk Cristiano Ronaldo sebagai duta besar misi "bidding" Piala Dunia di Arab Saudi. Sejak Januari lalu, pemain berkebangsaan Portugal itu resmi merumput di Liga Arab bersama Al-Nassr. 

Belakangan, kabar itu dibantah petinggi Al Nassr. Mereka menyebut kontrak senilai Rp3,3 triliun per tahun untuk mengikat CR-7 tak mewajibkan adanya komitmen untuk membantu Arab Saudi memenangi penawaran tuan rumah Piala Dunia. 

"Fokus utamanya (Ronaldo) di Al-Nassr dan untuk bekerja sama dengan rekan-rekannya membantu klub ini meraih sukses," tulis pernyataan resmi Al-Nassr yang dirilis pekan lalu.

Tetapi, bukan berarti Arab Saudi tak serius memburu kesempatan menjadi tuan rumah Piala Dunia. Awal Februari lalu, Politico melaporkan penguasa de facto Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) telah bertemu Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis untuk membahas rencana menjadi tuan rumah bersama di Piala Dunia. 

Dalam pertemuan itu, MBS menjanjikan bakal mendanai pembangunan stadion dan fasilitas olahraga di Yunani dan Mesir jika mereka setuju bergabung dengan Arab Saudi dalam proposal ke FIFA. Sebagai gantinya, MBS hanya minta agar sekitar 70% laga Piala Dunia nantinya digelar di Arab Saudi.

"Tawaran mewah dari Riyadh kepada Yunani itu akan memperkuat kritik bahwa Arab Saudi mencoba menggunakan kekayaan mereka untuk membeli Piala Dunia dan membangun koalisi transkontinental demi mengakali sistem voting di FIFA," tulis Politico

Arab Saudi tak bisa sendirian mengajukan proposal lantaran gelaran Piala Dunia baru saja digelar di Qatar. Aturan FIFA tak membolehkan Piala Dunia digelar di negara yang sama atau negara berbeda tapi masih satu kawasan dengan negara tuan rumah sebelumnya secara beruntun. 

Selain Arab Saudi, proposal untuk jadi tuan rumah Piala Dunia juga diajukan oleh Spanyol yang menggandeng Portugal dan Ukraina. Dari Amerika Latin, proposal serupa telah diajukan Argentina, Uruguay, Paraguay, dan Cile. 

Keputusan untuk menunjuk tuan rumah Piala Dunia bakal diambil FIFA pada akhir 2023 via pemungutan suara yang melibatkan 200 anggota federasi sepak bola dari berbagai belahan dunia. Arab Saudi punya peluang menang seandainya Mesir dan Yunani sukses merayu negara-negara di Afrika dan Eropa untuk menyokong proposal mereka. 

 

Tak sekadar prestise, menjadi tuan rumah Piala Dunia juga kerap membawa keuntungan dari sisi ekonomi. Meski tak secara langsung, banyak negara tuan rumah Piala Dunia yang terdongkrak perekonomiannya lantaran gelaran itu. 

Dalam "Does the World Cup Get the Economic Ball Rolling?" (2006), John S. Irons menulis mayoritas negara tuan rumah mengalami pertumbuhan GDP yang cukup baik dua tahun sebelum dan sesudah Piala Dunia. Secara khusus, ia "memelototi'' kinerja perekonomian 13 negara tuan rumah Piala Dunia sejak 1954. 

Ia menemukan mayoritas negara tuan rumah melambat perekonomiannya saat gelaran Piala Dunia berlangsung. Perlambatan pertumbuhan ekonomi terutama terjadi lantaran turunnya produktivitas pekerja karena distraksi Piala Dunia. 

"Tapi, ada kabar baik. Data menunjukkan perekonomian negara tuan rumah pulih dan tumbuh pesat dua tahun setelah Piala Dunia. Ini terutama terbukti untuk negara-negara yang jadi tuan rumah dan jadi pemenang," tulis John. 

Sejak 1954, ada empat negara tuan rumah yang jadi kampiun, yakni Inggris (1966), Jerman (1974), Argentina (1978), dan Prancis (1998). Di antara keempat negara itu, Argentina jadi negara yang pertumbuhan GDP-nya paling meroket tajam setelah gelaran Piala Dunia. 

 

Dalam "A kick for the GDP: the effect of winning the FIFA World Cup" yang dipublikasi pada 2022, Marcello Melo menemukan kesimpulan serupa. Ia menulis efek ekonomi Piala Dunia terutama hanya dirasakan negara-negara pemenang. Berbasis kajiannya, ia menyebut negara-negara pemenang tumbuh GDP-nya minimal 0,25% selama dua kuartal pertama setelah gelaran Piala Dunia usai. 

"Pertumbuhan itu terutama paling kuat pada periode tiga bulan pertama setelah memenangi Piala Dunia. Namun, setelah itu pertumbuhannya biasanya melambat," tulis pakar ekonomi dari Surrey University, Inggris, itu. 

Dalam risetnya, Mello memakai data statistik perekonomian negara-negara yang dikompilasi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sejak 1961. Data tersebut dipakai untuk menganalisis situasi ekonomi negara-negara tuan rumah Piala Dunia dan para kampiun. 

Menurut Mello, melonjaknya GDP negara pemenang Piala Dunia terutama didorong peningkatan ekspor. Itu antara lain terpengaruh naiknya minat terhadap produk-produk dan jasa negara pemenang di kancah global karena turut "terpromosikan" di Piala Dunia. 

Adapun untuk negara tuan rumah, Mello menyebut tak ada korelasi langsung antara pertumbuhan GDP dan status mereka sebagai tuan rumah. "Jadi tuan rumah tidak punya efek signifikan terhadap pertumbuhan GDP sebuah negara," terang Mello.

Pesepak bola Argentina, Lionel Messi, merayakan juara Piala Dunia 2022. /Foto dok. FIFASekadar pesta?

Khusus untuk negara yang hampir mustahil juara, jadi tuan rumah Piala Dunia kerap dianggap buang-buang duit. Pasalnya, ada segudang persyaratan yang harus dipenuhi sebelum sebuah negara dianggap layak jadi tuan rumah. Yang paling mahal ialah keberadaan stadion sepak bola berlevel internasional yang bisa menampung hingga lebih dari 40 ribu penonton. 

Sayangnya, stadion-stadion itu juga kerap "tak berguna" selepas Piala Dunia. Di Qatar, misalnya, sejumlah stadion yang dipakai saat Piala Dunia 2022 telah diumumkan akan dialihfungsikan. Sebagian akan dibongkar dan di-recycle. Stadion lainnya akan diperkecil sesuai kebutuhan. 

Times melaporkan pemerintah Qatar telah sepakat mengubah stadion Al Bayat jadi hotel bintang lima dan pusat perbelanjaan. Pada Piala Dunia 2022, stadion itu dipakai jadi venue partai pembuka dan laga antaran Inggris dan Amerika Serikat. Nasib serupa juga bakal menimpa Stadion Al Thumama. 

Tak hanya di Qatar, situasi serupa juga rutin dialami negara-negara yang pernah jadi tuan rumah Piala Dunia. Kebanyakan negara yang tak punya tradisi sepak bola yang kuat biasanya hanya membangun stadion sepak bola demi memenuhi syarat FIFA. 

Situasi serupa dialami Brasil pasca-Piala Dunia 2014. Sebelum gelaran tersebut, Brasil membangun Estádio Nacional di Brasilia. Duit sekitar 570 juta Poundsterling dikeluarkan untuk membangun stadion dengan kapasitas 72,788 kursi itu. 

Namun, stadion itu kini kerap tak terpakai. Tak punya klub besar seperti Sao Paulo dan Rio de Jenairo, Estádio Nacional hanya digunakan oleh pemain-pemain dari liga amatir. Jumlah penonton terbanyak hanya sekitar 5.000 orang. 

Di Piala Dunia 2014, Brasil juga melempem. Bermain di kandang sendiri, tim Samba dipermalukan Jerman 7-1 pada babak semifinal. Setelah menaklukkan Argentina 1-0 pada laga puncak, tim Panser keluar sebagai juara. 

Eduardo Paes, Wali Kota Rio de Janeiro ketika itu, mengenang Piala Dunia 2014 dengan perasaan getir. Ia menyebut Piala Dunia 2014 tak meninggalkan warisan apa pun. "Piala Dunia masih membuat warga marah. Ada perasaan kecewa kenapa kita bahkan menggelarnya," ujar Paes seperti dikutip dari These Football Times. 

Lantas kenapa negara-negara masih bertarung gila-gilaan untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia? Mengomentari gelaran Piala Dunia di Brasil pada 2014, jurnalis olahraga Simon Kuper menyebut Brasil dan negara-negara lainnya hanya sekadar ingin berpesta. 

"Kita tak perlu kaya untuk berpesta. Kita berpesta untuk bersenang-senang dan warga Brasil akan mendapatkan kensenangan itu. Akan tetapi, ada sesuatu yang menjijikan saat menggelar pesta gila-gilaan di negara yang jutaan orangnya butuh rumah, listrik, dan dokter," kata penulis Football Against the Enemy itu. 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan