VAR, sebelum Jerman angkat koper dari Qatar
Laga antara timnas Jepang dan Spanyol telah memasuki menit ke-51 saat gol kontroversial yang dicetak Ao Tanaka tercipta di Stadion Khalifa, Doha, Qatar, Jumat (2/12) dini hari lalu. Sekitar tiga menit sebelumnya, Jepang baru saja menyamakan kedudukan lewat tendangan keras striker Jepang, Ritsu Doan.
Kala itu, kamera televisi mengarah pada winger Jepang, Kaoru Mitoma. Di sisi kiri gawang Spanyol, Mitoma tengah memburu bola yang bergulir menuju garis pembatas lapangan.
Kaki Mitoma sukses meraih bola. Ia pun melepas umpan ke tengah kotak penalti. Ao Tanaka menyambut umpan itu dan menjebloskan bola ke gawang Spanyol.
Samurai Biru sempat merayakan gol itu. Namun, wasit Victor Gomes memutuskan untuk mengecek keabsahan gol tersebut. Untuk sesaat, laga dihentikan. Secara kasatmata, bola yang dikejar Mitoma terlihat telah melewati garis putih.
Gomes lantas berdiskusi dengan para asistennya di ruang kontrol video assistant referee (VAR). VAR memutuskan bola belum keluar garis. Gol Tanaka pun dianggap "legal" dan Jepang berbalik unggul 2-1. Meski mendominasi penguasaan bola hingga 83%, Spanyol tak bisa mengejar ketertinggalan.
Kendati demikian, Spanyol tetap lolos ke babak knock-out. Tim Matador bisa bernafas lega lantaran Jerman yang berada satu grup bersama mereka hanya mampu meraih kemenangan 4-2 atas Kosta Rika. Kedua tim sama-sama berbagi empat poin. Namun, Spanyol unggul jumlah gol setelah sebelumnya membantai Kosta Rika 7-0.
"Ini (tersingkir dari Piala Dunia) menyakitkan bagi kami karena kemenangan yang kami dapatkan seharusnya cukup (untuk lolos ke babak 16 besar)," kata penyerang Jerman Thomas Muller. Ia mengira Spanyol bakal mudah menekuk Jepang.
Gol Tanaka jadi bahan 'gunjingan' para pakar sepak bola. Selain bikin tim favorit juara seperti Jerman tersingkir, gol itu juga kontroversial lantaran FIFA tak langsung menunjukkan video dan foto yang merekam bola tak melewati garis putih saat laga berlangsung.
Foto yang jadi basis keputusan VAR mengesahkan gol Tanaka baru dirilis keesokan harinya. Dalam foto itu, terlihat si kulit bundar hanya tinggal beberapa milimeter lagi keluar dari garis putih. Sekitar 99% permukaan bola telah berada di luar lapangan.
"Semakin lama mereka menampilkan gambar, itu menunjukkan bahwa bola itu kemungkinan telah keluar garis. Kita jadi mengira-ngira ada sesuatu yang janggal di sini," kata Graham Souness, mantan pelatih Liverpool yang kini rutin jadi komentator laga sepak bola di televisi.
Beberapa jam sebelum laga Jepang vs Spanyol, keputusan membingungkan yang melibatkan VAR juga diambil wasit Anthony Taylor dalam laga antara Belgia vs Kroasia di Stadion Ahmed bin Ali, Qatar. Pada menit ke-15, Taylor sempat menganugerahi Kroasia penalti setelah pemain Belgia Yannick Carrasco melanggar penyerang Kroasia Andrej Kramaric di kotak penalti.
Namun, Taylor menganulir keputusannya sendiri setelah mengecek VAR. Sebelum pelanggaran Carraso terjadi, VAR menemukan ada pemain Kroasia yang terjebak dalam posisi offside. Ketika penalti akhirnya dibatalkan, gelandang Kroasia Luka Modric sudah lebih dari satu menit "nongkrong" di titik putih.
Selain lamanya proses pengambilan keputusan, temuan VAR juga memicu kontroversi. Dalam visual yang ditayangkan di layar televisi, terlihat hanya puncak pundak pemain Kroasia yang berada di dalam posisi offside. Seluruh bagian tubuh lainnya sejajar dengan pemain bertahan Belgia.
"Ini absurd. Permainan ini disebut sepak bola, kenapa tidak menggunakan kaki saja (untuk menentukan offside atau tidaknya seorang pemain)? Tentunya itu bakal lebih masuk akal," kata mantan pemain timnas Inggris Gary Lineker seperti dikutip dari Eurosport.
Sebelum kedua laga itu, sejumlah keputusan kontroversial juga diambil wasit berbasis VAR pada Piala Dunia kali ini. Guardian mencatat sejumlah insiden, di antaranya anugerah penalti kepada Argentina setelah wajah Lionel Messi "disapu tipis" oleh kiper Polandia Wojciech Szczesny dalam laga Argentina vs Polandia serta keputusan wasit tak memberikan penalti saat pemain Inggris Harry Maguire dilanggar pemain Iran.
Riwayat VAR
Ini kali kedua VAR digunakan secara penuh untuk membantu wasit menengahi laga di Piala Dunia. VAR pertama kali digunakan FIFA sebagai "wasit keempat" dalam Piala Dunia 2018 di Rusia. Statistik mencatat VAR dimanfaatkan wasit untuk mengecek 440 insiden di 62 laga Piala Dunia 2018.
Presiden FIFA Gianni Infantino ketika itu menyebut kehadiran VAR bikin Piala Dunia 2018 jadi yang terbaik sepanjang sejarah. Itu karena tidak ada lagi gol berbau offside mencoreng hasil laga setelah VAR didapuk turut jadi pengadil di lapangan.
"VAR tidak mengubah sepak bola, tetapi membuat sepak bola menjadi lebih bersih, lebih jujur, dan transparan. VAR membantu wasit membuat keputusan-keputusan yang tepat," kata Infantino.
Infantino tak sepenuhnya salah. Hasil riset yang digelar peneliti KU Leuven pada 800 laga sepak bola di 20 negara menunjukkan VAR efektif. Menurut kajian mereka, akurasi keputusan wasit meningkat dari 93% menjadi sekitar 98% setelah VAR digunakan.
Sebelum "diakuisisi" FIFA, VAR merupakan proyek ambisius bikinan Royal Netherlands Football Association (KNVB), PSSI-nya Belanda. Bertajuk Refereeing 2.0, proyek itu digagas pada awal 2010 dengan tujuan untuk reinvensi perwasitan pada laga sepak bola.
Mock-up sistem VAR pertama kali diuji coba pada Liga Belanda musim 2012-2013. Setelah dua tahun uji coba, KNVB mengirim petisi kepada International Football Association Board (IFAB) untuk mengubah aturan permainan dalam laga sepak bola sehingga memungkinkan VAR ikut serta membantu wasit.
Namun, petisi itu tak serta-merta disetujui. Sepp Blater, bos FIFA ketika itu, menolak keras kehadiran "mesin" sebagai pembantu wasit dalam laga sepak bola. Ide VAR baru ditanggapi serius FIFA setelah Sepp Blatter dipecat lantaran terlibat kasus korupsi.
Pada Oktober 2015, FIFA lantas menggelar rapat bersama IFAB. Para petinggi dua organisasi itu sepakat membolehkan kehadiran VAR di lapangan hijau. Mereka terutama tak ingin turnamen-turnamen sepak bola dicoreng insiden-insiden kontroversial, semisal handball Thierry Henry yang bikin Prancis lolos ke Piala Dunia 2010 dengan "mengorbankan" Irlandia atau insiden dianulirnya gol gelandang Inggris ke gawang Jerman pada Piala Dunia 2014.
"Itu adalah insiden-insiden serius yang bisa dengan mudah dikoreksi dengan bantuan asisten wasit," kata Lukas Brud, sekretaris International Football Association (IFAB), seperti dikutip dari "The inside story of how FIFA's controversial VAR system was born" yang tayang di Wired.
Dalam dua insiden itu, hasil laga bisa berubah drastis jika wasit akurat membuat keputusan. "Kami tahu kami harus melindungi wasit membuat kesalahan yang bisa dilihat semua orang secara langsung," jelas Brud.
Petisi KNVB disetujui IFAB pada Maret 2016. Sekitar empat bulan berselang, KNVB lantas menguji coba VAR dalam laga persahabatan antara PSV and FC Eindhoven. Tak seperti saat uji coba mock-up, wasit dalam laga itu resmi bisa memanfaatkan VAR untuk membantu membuat keputusan yang bisa menentukan hasil akhir pertandingan.
Setelah resmi dipakai di Belanda, VAR lantas diperkenalkan ke Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa lainnya. Pada 2017, VAR mulai diuji coba di Bundesliga Jerman, Serie A Italia, Primeira Liga Portugal. Di Inggris, VAR kala itu hanya digunakan pada Piala Liga dan FA Cup.
VAR tentu saja tak sekadar mesin. Di ruang kontrol, ada sejumlah asisten wasit yang mengawasi kamera-kamera VAR. Pada satu laga di Piala Dunia 2018, setidaknya ada 40 kamera VAR yang diterjunkan. Kamera-kamera itu punya fitur canggih, semisal mampu memperlambat gerak pemain, menentukan garis offside, dan mengubah angle gambar hingga 180 derajat.
Meski begitu, VAR bukannya tanpa kelemahan. Di Australia, laga final A League yang mempertemukan Melbourne Victory dan the Newcastle Jets pada Mei 2018 dicoreng gol berbau offside. Konsultasi wasit kepada para asisten di ruang kontrol sia-sia lantaran kamera pengawas "membeku" sesaat sebelum gol tercipta.
Di salah satu laga di Liga Portugal, review VAR oleh wasit terhadap insiden jelang gol tidak memungkinkan karena kamera pengawas offside tertutup sebuah bendera. Pada sebuah laga di Bundesliga, ada pula insiden wasit menolak memberikan penalti meskipun pelanggaran terekam jelas oleh kamera VAR.
"Dalam banyak kasus, keputusan wasit itu benar. Tetapi, orang-orang punya pemahaman yang berbeda mengenai aturan main yang berlaku. Mereka punya opini yang berbeda," kata Brud.
Tak disukai?
Meski terbukti mampu meningkatkan akurasi keputusan wasit, VAR ternyata tidak disukai kalangan fans sepak bola. Itu setidaknya terekam dari survei yang digelar YouGov terhadap 1,419 suporter di Inggris raya pada 2020.
Hasil survei menunjukkan sekitar 60% suporter sepak bola di Inggris merasa kinerja VAR buruk di pertandingan. Hanya sekitar 27% suporter yang merasa VAR bekerja dengan sangat baik di lapangan. Sisanya menjawab tidak tahu (1%) atau netral (12%).
Lantas bagaimana dengan para wasit? Ketua Komite Wasit FIFA, Pierluigi Collina mengatakan kehadiran VAR penting di lapangan. Tak hanya mengawal jalannya pertandingan, ia menyebut VAR juga penting bagi langgengnya karier para wasit.
"Keputusan yang salah yang diambil pada laga krusial bisa membunuh karier seorang wasit. VAR ialah sebuah jejaring pengaman yang sangat penting," kata Collina seperti dikutip dari Eurosport.
Sebagai pejabat FIFA, Collina terlibat langsung dalam pengembangan VAR. Eks wasit asal Italia itu meyakini VAR bakal jadi instrumen penting dalam memastikan hasil-hasil pertandingan sepak bola pada level tertinggi tidak diwarnai skandal.
"Reaksi VAR sudah sangat maju. Apa yang membutuhkan satu menit hari ini, butuh lima menit pada 2014 lalu saat kami melakukan tes pertama. Kami terus bekerja dan teknologi wasit lima tahun ke depan bisa jadi jauh berbeda dari yang sekarang," kata pria berkepala plontos itu.
Mark Halsey, eks wasit di Liga Inggris, sepakat VAR penting bagi para pengadil di lapangan. Menurut dia, laga sepak bola modern butuh pengawasan lebih dari sepasang mata.
"Sulit bagi wasit untuk mengimbangi kecepatan laga. Ada tekel-tekel melayang, dan segala hal bisa terjadi. VAR baik untuk sepak bola, tapi hanya jika itu diimplementasikan dengan baik," cetus Halsey.
Dalam sebuah wawancara di Skysports, mantan bek Inggris Garry Neville mengakui eksistensi VAR dilematis. Di satu sisi, VAR dianggap membunuh "drama" di lapangan hijau. Di lain sisi, VAR juga dibutuhkan untuk memastikan laga sepak bola berjalan dengan adil bagi kedua tim.
Meski begitu, Neville tak sependapat dengan mayoritas suporter Inggris yang ingin VAR dikeluarkan dari stadion. Jika terus dibenahi, ia meyakini kinerja VAR bisa memuaskan semua suporter sepak bola, baik yang datang langsung ke stadion atau yang menonton dari televisi.
"Teknologi saat digunakan untuk segala aspek kehidupan. Akan tetapi, kita harus memastikan kita tidak merusak permainan sepak bola dengan itu (VAR)," ujar eks pemain Manchester United itu.