close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Amien Rais saat kampanye sebagai calon presiden pada 26 Juni 2004. Foto: GETTY IMAGES/bbc.com
icon caption
Amien Rais saat kampanye sebagai calon presiden pada 26 Juni 2004. Foto: GETTY IMAGES/bbc.com
Pemilu
Minggu, 05 November 2023 21:08

Amien Rais Syndrome: Karena kurang tenar atau politik kerumunan?

Amien Rais Syndrome merujuk pada fenomena pemilih Amien Rais pada 2004 yang rendah.
swipe

Pada pekan ini, beredar isu soal pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang dinilai terkena Amien Rais Syndrome. Ini karena setiap aktivitas politik yang digelar pasangan ini, hampir selalu dipenuhi massa. Sementara, elektabilitas hasil lembaga survei selalu menunjukkan kalau pasangan ini berada di posisi terbawah.

Buat yang belum tahu, Amien Rais Syndrome merujuk pada fenomena pemilih Amien Rais pada 2004 yang rendah. Meskipun acara kampanye politiknya dihadiri banyak orang.Tetapi, ketika pencoblosan Pemilu 2004, hanya dapat 14,66% suara saja.

Partai pendukung keduanya pun mengaku, bakal menjadikan situasi tersebut sebagai masukan. Agar apa yang terjadi pada Amien Rais tidak juga menimpa pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN).

Sejumlah pengamat pun menyampaikan analisanya mengenai penyebab terjadinya situasi tersebut kepada pasangan AMIN. Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) Zaenal A Budiyono mengatakan, AMIN cenderung populer di kawasan urban. Hal itu mengakibatkan setiap aktivitas politik yang dilakukan pasti akan ramai. 

Di mana, voters perkotaan didominasi kelas menengah yang tidak bisa dimobilisasi oleh opinion leaders. Mereka bergerak karena kesadaran masing-masing. Itu tergambar di sejunlah survei terakhir, bahwa AMIN unggul di Jakarta dan sejumlah kota-kota besar.

"Masalahnya secara nasional, mayoritas voters tinggal di rural area. Mereka berada di kategori menengah bawah yang lebih mudah diarahkan oleh opinion leaders (pemuka agama, tokoh masyarakat)," kata dia saat dihubungi Alinea.id, beberapa hari lalu. 

Di sisi lain, dalam sejumlah survei, suara Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto banyak yang berasal dari kawasan rural. Di mana, mereka cenderung tak akan mau datang kampanye atau aktivitas politik lainnya, karena waktunya habis untuk bekerja dan sebagainya. 

Mereka cenderung apatis dalam politik, namun secara jumlah menentukan. Inilah kenapa Prabowo Subianto dan Ganjar Panowo relatif unggul dari AMIN di berbagai survei.

Untuk itulah, dia merekomendasikan agar AMIN harus lebih mendekatkan diri ke rural area agar bisa menaikkan rating di survei. Peran itu, bisa dimainkan oleh PKB dan Cak imin yang selama ini dikenal kuat di NU. 

"Kita lihat, apakah waktunya cukup dalam 100 hari ke depan. Untuk mengejar defisit ini," ucap dia.

Sementara pendiri lembaga survei LSI Denny JA, Denny Januar Ali mengaku bingung bagaimana menjelaskan fenomena itu. Ketika seorang calon presiden berkunjung ke daerah, yang datang menyambutnya melimpah ruah di jalan-jalan. Begitu banyak yang merespons. Begitu crowded. Antusias. Begitu meriahnya. Tetapi ternyata hasil survei elektabilitas capres yang bersangkutan minim saja. Bahkan selalu buncit.

"Perlu kami katakan. Ini sebenarnya tak hanya terjadi pada calon presiden Anies baswedan. Tetapi juga terjadi pada beberapa capres lainnya di masa lalu," ucap dia. 

Sejak pilpres yang pertama kali di 2004, gejala serupa berulang terjadi: Ramai sekali yang merespons di alam terbuka, tetapi survei elektabilitasnya kecil saja.

"Mengapa saya yakin soal ini? Itu karena LSI sudah hadir sejak pemilu presiden langsung yang pertama di 2004," kata dia.

Bahkan “kejanggalan” itu tak hanya terjadi di Indonesia. Ini pun terjadi di negara demokrasi lainnya. Bahwa ada jarak antara mereka yang berkumpul dengan hasil survei elektabilitas sang capres.

Lantas bagaimana menjelaskan hadirnya gap ini? Dia pun menyarakan, agar masyarakat masuk ke dalam psikologi politik kerumunan. Di mana, mereka yang hadir dalam kerumunan satu event calon presiden itu memiliki empat komponen.

Kelompok pertama adalah mereka yang memang pendukung asli, pemilih tulen sang capres. Mereka datang secara sukarela, berpartisipasi untuk melihat dan mendukung calon presidennya.

Komponen kedua adalah kelompok hore-hore. Ini sejenis orang-orang yang memang senang berkumpul dengan capres mana pun, sejauh ada “nasi bungkus.” 

Ketiga adalah kelompok yang digerakkan oleh EO (event organizer). Hal yang biasa dalam berbagai event. Sehingga ketika calon presiden datang ke satu daerah, diurus oleh seorang, bahkan beberapa EO.

EO itu menjadi panitia profesional yang ditugaskan menghadirkan massa dengan target jumlah tertentu. EO ini yang memobilisasi orang-orang untuk datang. Yang kemudian hadir, pastilah bukan pendukung asli capres yang bersangkutan. Mereka hadir hanya karena digerakkan oleh EO itu.

Kadang EO yang sama digunakan oleh capres yang berbeda. Sang EO pun kadang memobilisasi kerumunan yang sama, orang yang sama, untuk capres yang berbeda.

Keempat, yang jauh lebih banyak lagi, orang yang hadir karena daya tarik door prize. Dalam event itu sengaja dihalo-halokan, didengung-dengungkan, akan diundi door price.

Kadang hadiah yang diundi begitu mencengangkan, begitu menggiurkan. Misalnya pemenang undian adalah sebuah mobil. Atau akan dibagikan beberapa tiket gratis untuk umrah.

"Silakan saja dicek jika melihat begitu banyak kerumunan yang berkumpul menyambut capres. Sekali lagi, ini hal yang biasa yang terjadi di semua pertarungan pemilu presiden. Dan ini dialami oleh banyak capres," kata dia.

Tetapi dengan mengetahui realitas politik kerumunan, tentunya bakal membuat masyarakat menjadi lebih kritis. Di antaranya dapat membedakan dalam politik kerumunan itu, antara pendukung asli dan yang “seolah-olah” pendukung. Ada partisipasi, ada mobilisasi.

"Kosa kata kita pun bertambah. Dalam politik kerumunan, ada pendukung sejati, ada pendukung seolah- olah," ucap dia.
   

img
Hermansah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan