close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi politik dinasti. Foto: batri.uma.ac.id
icon caption
Ilustrasi politik dinasti. Foto: batri.uma.ac.id
Pemilu
Kamis, 13 Juni 2024 12:27

Bahaya gurita politik dinasti di Pilkada 2024

Perlu ada regulasi yang dilahirkan untuk memagari politik dinasti.
swipe

Pilkada Serentak 2024 jadi ajang unjuk gigi para kandidat yang berasal dari dinasti politik. Nama-nama dari keluarga politikus besar beredar di bursa kandidat kepala daerah. Keluarga dan orang dekat Presiden Joko Widodo (Jokowi) digadang-gadang bakal meramaikan kontestasi politik di berbagai daerah. 

Di Pilwalkot Bogor, misalnya, asisten pribadi Iriana Jokowi, Sendi Fardiansyah direstui Jokowi untuk maju. Sendi sudah mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) bacalon Wali Kota Bogor yang digelar Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), NasDem, dan PDI-Perjuangan. 

Di Pilgub Sumatera Utara, menantu Jokowi, Bobby Nasution resmi diusung Gerindra jadi kandidat. Di Pilgub DKI Jakarta, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep digadang-gadang bakal maju jadi kandidat cawagub. Istri Kaesang, Erina Gundono, juga diminati sejumlah parpol untuk diusung jadi kandidat Bupati Sleman. 

Dinasti politik lokal juga potensial meramaikan Pilkada Serentak 2024. Kakak-beradik Ma'sud hampir pasti turun di pilkada-pilkada Kaltim. Rudy Mas'ud diusung Golkar sebagai kandidat di Pilgub Kaltim. Rudy ialah anggota DPR RI 2019-2024. Pada Pileg 2024, Rudy kembali lolos ke Senayan setelah mendulang 168.818 suara di dapil Kaltim.

Rahmad Mas'ud, kakak Rudy, juga akan kembali mencalonkan diri sebagai Wali Kota Balikpapan. Hasanudin Mas'ud, kakak Rudy lainnya, bakal maju di Pibup Kutai Kartanegara. Hasanudin saat ini menjabat sebagai Ketua DPRD Kaltim dan Ketua DPD Golkar Kutai Kartanegara. 

Dari Banten, ada nama mantan Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy. Andika ialah putra dari politikus yang juga mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Andika bakal maju di Pilkada Kabupaten Serang 2024. Di Pilgub Banten, kerabat Atut, Airin Rachmi Diany sudah diusung Golkar jadi kandidat gubernur. 

Cengkeraman dinasti politik juga bakal terasa di Kepulauan Riau (Kepri). Muhammad Rudi, istri Wakil Gubernur Kepri Marlina Agustina, digadang bakal maju di Pilgub Kepri menantang petahana Gubenur Kepri Ansar Ahmad. Rudi saat ini menjabat Wali Kota Batam. 

Marlina sendiri dilaporkan bakal turun di Pilwalkot Batam. Jika keduanya menang, maka pasangan Rudi-Marlina bakal bertukar kantor dan jabatan. Rudi mengklaim sudah mengantongi tiket dari NasDem, sedangkan Marlina dikabarkan bakal diusung Gerindra. 

Analis politik dari Universitas Trunojoyo, Iskandar Dzulkarnain berpendapat mewabahnya politik dinasti di Pilkada 2024 merupakan kelanjutan dari perilaku politik feodalisme yang masih mengakar kuat di daerah.

"Karena wilayah administratif Indonesia sebelum menjadi berbentuk negara pernah menjadi kerajaan. Pola dinasti ala kerajaan masih banyak dipakai oleh beberapa daerah meskipun dengan bentuk ala demokrasi," ucap Iskandar kepada Alinea.id, Senin (11/6).

Iskandar memandang politik dinasti kuat lantaran terbangun simbiosis mutualisme antara parpol dan elite-elite politik lokal. Tak punya kader mumpuni, parpol-parpol mengutamakan kandidat dari dinasti politik demi kemenangan instan di pilkada serentak. 

"Ketiadaan kader dan lemahnya pengkaderan serta kurang yakinnya proses berdemokrasi menjadi beberapa persoalan besar parpol kita saat ini, termasuk pendanaan parpol itu sendiri," ucap Iskandar. 

Publik, kata Iskandar, seharusnya menolak sosok-sosok dari dinasti politik. Suksesi kepemimpinan yang ditopang dinasti politik potensial menimbulkan beragam persoalan, termasuk membuka celah korupsi, kolusi dan nepotisme baru. 

"Penggantian pimpinan ala kerajaan banyak menyisakan persoalan, salah satunya ketiadaan nilai-nilai demokratis, transparansi penyelenggaraan pemerintahannya, penokohan keluarga yang sangat membabi buta, dan lain sebagainya," ucap Iskandar. 

Politik dinasti, kata Iskandar, sebenarnya "dihalalkan" melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang menggugurkan larangan politik dinasti pada Pasal 7 huruf R Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (UU Pilkada). Namun, cengkeraman politik dinasti yang berlebihan bakal mencederai sistem demokrasi.

"Padahal, sistem demokrasi yang seharusnya terbangun melalui tokoh kader terbaik parpol. Cuma, mungkinkah parpol kita terlepas dari dinasti ketika pimpinan parpol masih dipegang dan dikendalikan ala kuasa kerabat bangsawan dinasti?" ujar Iskandar. 

Meskipun sulit, menurut Iskandar, politik dinasti bisa dikebiri bila pengkaderan dan partai politik berjalan baik. Tak mungkin politik dinasti redup jika rekrutmen dan kaderisasi tak dijalankan parpol. "Hal ini dikarenakan sudah kuatnya akar kuasa jaringan kerabat bangsawan ala dinasti," imbuh dia. 

Analis politik dari Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) Ahmad Chumaedy merinci sejumlah faktor yang menyebabkan kandidat dari dinasti politik menjamur di Pilkada Serentak 2024. Pertama, kuatnya jaringan dan pengaruh dari dinasti politik, baik di tingkat lokal maupun nasional. 

"Selain itu, banyak partai politik di Indonesia masih dikelola secara sentralistik dan terkadang berbasis pada dinasti keluarga. Pemimpin partai atau anggota keluarganya sering kali mencalonkan diri atau menunjuk kerabat untuk maju dalam pilkada," ucap pria yang akrab disapa Memed itu kepada Alinea.id, Senin (10/6).

Elite-elite politik yang lahir dari dinasti politik, lanjut Memed, cenderung mendapat "persetujuan" dari publik untuk maju di pilkada lantaran dianggap sudah berpengalaman. Apalagi, mereka juga mapan secara finansial. 

"Selain itu, karena kultur dan tradisi politik, di beberapa daerah, politik dinasti sudah menjadi bagian dari kultur dan tradisi lokal. Masyarakat cenderung mendukung keluarga yang sudah mereka kenal dan percayai untuk memimpin," ucap Memed.

Di lain sisi, elite-elite politik yang menjadi bagian dari dinasti politik juga seolah wajib melanggengkan kekuasaan lewat kemenangan di pemilu. Ada motif kepentingan ekonomi di baliknya. "Ini kebutuhan yang dikejar oleh dinasti untuk melanggengkan posisi circle-nya," ucap Memed
 
Jika dibiarkan terus menjamur, Memed berpandangan politik dinasti akan membawa dampak buruk bagi sistem demokrasi di Indonesia. Jika tak segera diminimalisasi, politik dinasti bisa bikin praktik-praktik nepotisme kian marak dan mengganggu regenerasi kepemimpinan. 

"Namun, selama sistem politik dan sosial-ekonomi tidak mengalami perubahan signifikan, fenomena dinasti politik ini kemungkinan besar akan terus berlanjut," ucap Memed.

Lebih jauh, Memed merinci sejumlah skema yang bisa dijalankan untuk menjinakkan politik dinasti. Pertama, Pertama, melalui reformasi sistem pemilu dan partai politik. Kedua, lewat transparansi dan akuntabilitas dana parpol dan dana kampanye. 

Tidak kalah penting, kata Memed, ialah edukasi kepada masyarakat terkait bahaya menjamurnya dinasti politik. Dari sisi hukum, perlu ada aturan untuk memagari politik dinasti sekalipun putusan MK membolehkannya. 

"Dengan kombinasi langkah-langkah ini, diharapkan praktik politik dinasti dapat dikurangi, membuka ruang bagi regenerasi kepemimpinan yang lebih sehat dan demokratis," kata dia. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan