Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kukuh akan mendorong dibentukannya lembaga peradilan khusus dalam menangani sengketa pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilihan kepala daerah.
Hal tersebut dirasa penting agar ke depan sengketa pemilu atau pilkada berjalan efektif dan tidak melahirkan putusan yang berbeda-beda antar lembaga peradilan.
Komisioner Bawaslu Rahmat Bagja menegaskan, dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, amanah untuk melahirkan peradilan khusus ini sudah tersemat.
Oleh sebab itu, pihaknya terus mendorong agar DPR dan pemerintah dapat segera mengimplementasikannya agar sengketa yang ada dalam pemilu dan pilkada dapat lebih efektif dengan satu pintu saja.
"Ini untuk menangani jika nanti misal Mahkamah Konstitusi sudah tidak mau lagi. Apakah 2020 masih di MK atau bagaimana, hanya 2018 kemarin masih. Di Mahkamah Agung juga belum siap pada saat ini persiapan untuk sengketa hasil," ucap Bagja di Kantor KoDe Inisiatif, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (12/8).
Bagi Bagja, menghadirkan peradilan khusus pemilu merupakan langkah baik. Ia menilai keberadaan sejumlah lembaga peradilan dalam menangani sengketa pemilu sebagaimana Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Mahkama Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK) sekarang nampak tumpang tindih.
Ketika ditanyakan ihwal kesiapan Bawaslu apabila ditunjuk sebagai penyelenggaranya, Bagja mengatakan bahwa pihaknya amat siap. Pasalnya, ia menyebut Bawaslu telah memiliki ajudikasi ihwal pelanggaran administrasi, dan sengketa proses pemilu.
Hingga sekarang Bawaslu memang sudah diberikan ajudikasi, baik dalam pelanggaran administrasi, maupun dalam pelanggaran dalam sengketa proses. Hanya saja, mengenai penanganan hasil sengketa, Bawaslu masih belum memiliki kewenangan.
Oleh sebab itu, jika Bawaslu ditunjuk sebagai lembaga penyelenggaranya, Bawaslu akan dipecah menjadi beberapa tingkatan berdasarkan wilayah.
"Strateginya kami akan batasi yang melaporkan, yang mengadukan, Bawaslu Provinsi, jenis tingkat di atasnya. Jadi jika ditemukan oleh Bawaslu Kabupaten yang menyidangkan adalah Bawaslu Provinsi. Proses juga untuk menilai kinerja bawahan," terang dia.
Kendati demikian, lanjut Bagja, alangkah lebih baik jika ada pengadilan terpisah yang tidak melibatkan Bawaslu. Bawaslu dalam hal ini hanya akan bertindak sebagai penuntut pelanggaran administrasi dan pidana pemilu saja.
"Isinya mungkin ya pakar hukum dan politik. Jadi kan belum tentu orang ngerti hukum tapi juga ngerti politik. Konteksnya ini berbeda," lanjutnya.
Ia memberikan contoh pada skema dalam peradilan untuk tindak pidana korupsi (tipikor). Bagi Bagja akan sangat ideal jika peradilan khusus sengketa pemilu sama penanganannya dengan peradilan tipikor.
Senada, Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, peradilan khusus sengketa pemilu sejatinya memang harus terpisah. Hal tersebut guna mengimplementasikan amanah UU.
Veri mendesak agar pihak-pihak yang berwenang membentuk hal ini mulai mendesain kerangka agar kedepan peradilan khusus dapat tercipta. Pemerintah, dikatakannya juga harus mulai memerhatikan hal ini berkaca dari pengalaman sengketa yang lalu.
"Misalnya, apakah peradilan khusus hanya akan menyelesaikan sengketa pilkada atau pemilu, terkait dengan sengketa hasil. Apakah peradilan khusus ini didesain sejak awal untuk menangani pelanggaran administrasi pencalonan atau banding administrasi, di level mana ia akan dibentuk, atau ada diskusi Bawaslu mau didorong jadi peradilan khusus, misalnya," kata Veri.
Veri sendiri mendorong sebaiknya penyelenggara peradilan khusus ini adalah Bawaslu. Namun, Bawaslu juga harus melepas tupoksi atau kewenangannya dalam mengawasi pemilu. Urusan pengawasan lebih baik diserahkan kepada masyarakat saja.
"Jadi ada masa transisi untuk kemudian mendorong publik melakukan pengawasan. Masalah penegakan hukum misalnya, serahkan saja, administrasinya ke KPU, terus masalah etik ke DKPP," pungkas Veri.