Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menjelaskan potensi permasalahan dalam gelaran Pemilu Serentak 2024 dan Pemilihan (Pilkada) Serentak 2024.
Dalam mengidentifikasi permasalahan, Bawaslu pun melakukan upaya pencegahan melalui berbagai bentuk dan jenis strategi yang membutuhkan kerja sama lintas instansi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan masyarakat luas.
"Kami melakukan identifikasi kerawanan seperti membuat indeks kerawanan pemilu (IKP), melakukan program pendidikan politik dan memperluas pengawasan partisipatif," katanya.
Hanya saja, Bagja merasa potensi permasalahan terbesar dan paling banyak biasanya dalam gelaran pemilihan atau pilkada. Pemilihan 2024 menurutnya pun sangat rawan dengan berbagai permasalahan, mulai dari pelaksanannya yang mengalami irisan tahapan dengan Pemilu 2024 hingga kesiapan menjaga keamanan dan ketertiban.
"Kami khawatir sebenarnya Pemilihan 2024 ini karena pemungutan suara pada November 2024 yang mana Oktober baru pelantikan presiden baru tentu dengan menteri dan pejabat yang mungkin berganti. Karena itu, kami mengusulkan sebaiknya membahas opsi penundaan pemilihan (pilkada) karena ini pertama kali serentak. Kalau sebelumnya, misalnya pilkada di Makassar ada gangguan keamanan, maka bisa ada pengerahan dari polres di sekitarnya atau polisi dari provinsi lain. Kalau Pilkada 2024 tentu sulit karena setiap daerah siaga yang menggelar pemilihan serupa," ungkap sarjana hukum dari Universitas Indonesia itu, seperti dilansir dalam laman resmi Bawaslu.
Dia menuturkan potensi permasalahan Pemilu 2024 pada tiga aspek, yakni dari penyelenggara, peserta pemilu (pemilihan), dan pemilih.
Potensi permasalahan pertama ada pada aspek penyelenggara pemilu. Dia mengungkapkan, beberapa masalah meliputi pemutakhiran data pemilih, pengadaan dan distribusi logistik pemilu seperti surat suara, atau beban kerja penyelenggara pemilu yang terlalu tinggi. Hal lainnya, lanjutnya, belum optimalnya sinergi antara Bawaslu dan KPU terkait Peraturan KPU (PKPU) dan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu).
"Data pemilih ini banyak sekali masalah, sampai-sampai satu keluarga beda TPS (tempat pemungutan suara) saja malah sampai marah-marah. Begitu juga surat suara, itu banyak permasalahannya misalnya kekurangan surat suara dari TPS A ke TPS B itu juga bisa menimbulkan masalah," katanya.
Permasalahan kedua yang berasal dari aspek peserta pemilu seperti masih maraknya politik uang. "Kemudian belum optimalnya tranparansi pelaporan dana kampanye, netralitas ASN (aparatur sipil negara), dan penggunaan APK (alat peraga kampanye) yang tidak tertib," sebutnya.
Lalu potensi permasalahan ketiga dari aspek pemilih. Bagja merasakan pengalaman pemilu maupun pemilihan lalu masih banyak menimbulkan berbagai masalah. "Seperti kesulitan pemilih dalam menggunakan hak pilih, ancaman dan gangguan terhadap kebebasan pemilih, dan penyebaran berita hoaks dan 'hate speech'. Ini nanti kalau sudah penetapan calon presiden dan wakil presiden kemungkinan hoaks dan 'hate speech' akan ramai kembali. Kita perlu melakukan antisipasi," jelas master Ilmu Hukum dari Hukum, Utrecht University, Belanda tersebut.