Bayang-bayang tingginya suara tak sah dalam pemilu
Faisal Rahman, 27 tahun, mengakui membuat dua surat suara—pemilihan presiden-wakil presiden dan anggota DPD—menjadi tidak sah saat berpartisipasi dalam Pemilu 2019. Pada pemilu tersebut, selain surat suara untuk memilih presiden-wakil presiden dan anggota DPD, ada pula surat suara untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Alasan Faisal sederhana. Ia tak kenal calon anggota DPD. Sedangkan untuk pemilihan presiden-wakil presiden, Faisal mengatakan, sengaja membuat surat suara menjadi tak sah karena pertimbangan pilihan politik.
Terlepas dari itu, intinya di pemilu lalu, ia merasa direpotkan dengan format surat suara. Terutama surat suara untuk pemilihan wakil rakyat, yang menurutnya tak memudahkan pemilih.
“(Surat suara) DPR dan DPD itu kertasnya gede, banyak kolomnya,” ucap warga Kota Semarang, Jawa Tengah yang kini merantau ke Tangerang, Banten itu, saat dihubungi Alinea.id, Senin (14/8).
“Saya saja yang belum lansia kesusahan untuk nyoblos (di Pemilu 2019), meskipun di depan TPS sudah ada daftar nama calonnya.”
Adam Fajarullah, 34 tahun, warga Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang saat Pemilu 2019 menjadi saksi salah satu partai politik di TPS mengakui, ketika penghitungan suara ada lumayan banyak surat suara tak sah. Seingatnya, surat suara tak sah lantaran pemilih mencoblos lebih dari satu, mencoblos di luar ketentuan, dan tak dicoblos sama sekali. Kondisi tersebut lebih sering ditemukan pada kertas suara pemilihan wakil rakyat.
Adam menduga, temuan banyak surat suara tak sah untuk pemilihan wakil rakyat karena warga cenderung memilih orang-orang yang dikenal dan formatnya yang tak sederhana.
“Coba kalau orang yang di kampung-kampung (pedalaman), ibu-ibu di atas 50 tahun mah sudah enggak mau itu (memilih). Wah, dibuka (surat suaranya), dilipat lagi,” ucapnya, Senin (14/8).
Penyebab surat suara tak sah
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat, sejak Pemilu 1999 hingga 2019, suara tidak sah selalu naik. Pada Pemilu 1999, suara tak sah 3,4%, lalu 2004 ada 8,8%, 2009 sebesar 14,4%, 2014 ada 10,6%, dan 2019 sebanyak 11,12%. Pada Pemilu 2019, surat suara tak sah untuk pemilihan anggota DPR sebanyak 17.503.953 (11,12%), pemilihan presiden 3.754.905 (2,38%), dan anggota DPD 29.710.175 (19,02%).
Merujuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu, surat suara pemilihan presiden dinyatakan sah bila terdapat tanda coblos di nomor urut, foto, nama salah satu pasangan calon, tanda gambar partai politik, dan/atau gabungan partai politik pengusung pasangan calon.
Lalu, pemilihan anggota DPD menjadi sah apabila terdapat tanda coblos pada kolom satu calon perseorangan. Sementara suara untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD dinyatakan sah bila terdapat tanda coblos pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon di kolom yang sama. Tanda coblos pada dua caleg di partai yang sama, dinyatakan sah untuk partai politik.
Eks komisioner KPU 2012-2017, Hadar Nafis Gumay mengatakan, tingginya suara tidak sah berkorelasi dengan banyaknya jenis pemilihan dalam pemilu. Belum lagi, surat suara berukuran besar dan sulit dibuka. Selain itu, pemilih disuguhkan dengan banyaknya calon.
“Jadi, pemilih terkesan, ah sudahlah pusing. Atau coblos berkali-kali di tempat yang salah, sebagai bentuk protes atau tidak peduli. Atau surat suara itu tidak dibuka sama dia,” ucap Hadar, Senin (14/8).
Sementara itu, peneliti Perludem Nurul Amalia menjelaskan, intensi pemilih untuk membuat suara tak sah, tak sengaja membuat suara tak sah karena tak tahu cara mencoblos yang benar, dan kurangnya pemahaman penyelenggara pemilu soal penilaian suara sah merupakan penyebab banyaknya suara tidak sah dalam pemilu.
“Hal ini sangat mungkin terjadi ketika kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) tidak mendapatkan bimbingan teknis (bimtek) yang memadai, aturan di panduan bimtek kurang jelas, penerapan cara memilih yang baru, atau petugas TPS yang kurang cermat,” kata Nurul, Senin (14/8).
Di sisi lain, pada Pemilu 2019 banyak petugas KPPS kelelahan karena harus menghitung lima jenis surat suara di hari yang sama. Faktor kelelahan itu bisa mengakibatkan penilaian suara menjadi salah.
“Padahal, KPPS telah bekerja sejak subuh hari untuk mempersiapkan TPS,” tuturnya.
“Bahkan, kisah (cerita dari) seorang mantan PPK (panitia pemilihan kecamatan) Kecamatan Sukma Jaya, Depok, Heri Darmawan, anggota KPPS telah begadang jelang pemungutan suara lantaran mesti mengantre logistik TPS di kecamatan.”
Situasi tersebut, kata Nurul, bisa membuat petugas KPPS menganggap tanda coblos di garis kolom kontestan tidak sah. Penilaian serupa bisa juga terjadi di tanda coblos pada bagian mana pun di kolom satu pasangan calon dan mencoblos logo KPU.
“Padahal, pencoblosan seperti ini masih dinilai sah atau setidaknya tidak dinyatakan tidak sah jika merujuk pada PKPU No.3/2019,” jelasnya.
Pada pemilihan anggota DPR dan DPRD, ujar Nurul, kemungkinan petugas KPPS menilai tak sah surat suara yang terdapat tanda coblos untuk banyak calon dari satu partai politik yang sama. “Padahal, pencoblosan seperti itu sah dan suaranya untuk partai, bukan caleg,” katanya.
“Begitu pula sah untuk partai jika terdapat tanda coblos untuk calon yang dinyatakan tidak lagi memenuhi syarat atau meninggal dunia.”
Ketidakpahaman petugas pemilu itu, menurut Nurul, merupakan salah satu bentuk voter suppression karena mengakibatkan suara pemilih menjadi hilang. Di samping itu, tingginya suara tidak sah terkait dengan pemilih yang tak percaya dengan kontestan. Pemilih datang ke TPS hanya untuk membuat surat suaranya tak sah, agar tak disalahgunakan.
“Di Pemilu 2019, ada gerakan golput karena pemilih merasa tidak ada peserta pemilu yang mewakili suara mereka, atau menilai pemilu tidak akan mengubah apa pun,” kata dia.
Menekan angka suara tak sah
Terpisah, Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta mengatakan, pihaknya pernah memantau simulasi pemungutan dan penghitungan suara oleh KPU untuk Pemilu 2024. Ia menyimpulkan, akan tetap banyak suara tidak sah.
Berdasarkan pemantauan, surat suara tak sah terbanyak adalah untuk pemilihan anggota DPD. Menurut Kaka, hal itu masih beririsan dengan sosialisasi dari KPU soal tata cara memilih.
“Tampaknya atensi pemilih untuk DPD enggak terlalu besar, sehingga itu berkorelasi dengan surat suara tidak sah,” ucap Kaka, Senin (14/8).
Kaka menduga, tingginya suara tak sah untuk pemilihan DPD lantaran pemilih tak mengenal calonnya. Di masa kampanye, calon-calon anggota DPD juga minim sosialisasi.
“Memang pengenalan dan introduksi dari sosialisasi calon DPD-nya sendiri lemah karena tidak ada partai politik, tidak ada mesin yang menggerakkan, bahkan banyak calon DPD yang enggak ada saksinya (di TPS),” ucap Kaka.
Sedangkan dalam pemilihan anggota DPR dan DPRD, menurut Kaka, di beberapa daerah suara paling banyak tak sah menyasar DPRD provinsi.
Soal penghitungan suara, KPU berencana menerapkan penghitungan dengan dua panel pada Pemilu 2024. Panel pertama untuk menghitung suara pemilihan presiden-wakil presiden dan DPD. Sedangkan panel kedua untuk menghitung suara pemilihan DPR dan DPRD. Tujuannya, memangkas waktu dan meringankan beban petugas di TPS.
Dengan sistem penghitungan suara yang berbeda dari pemilu sebelumnya, Kaka mengatakan, semua anggota KPPS perlu dipastikan memahami ketentuan penilaian penghitungan suara sah atau tidak.
“Kemampuan KPPS dari ketua sampai anggota, juga menjadi problem. Karena di daerah tertentu, makin ke desa makin banyak (suara) tidak sahnya dibandingkan dengan perkotaan,” ujarnya.
Supaya menekan suara tidak sah di Pemilu 2024, Hadar menyarankan, perlu penyederhanaan format dan jumlah surat suara, meskipun waktunya sudah sangat mepet. Sebab, hal itu bisa membantu mengurangi kerumitan pemilih dalam mencoblos.
KPU juga perlu membuka informasi semua kontestan di Pemilu 2024 kepada masyarakat. Tujuannya, membantu pemilih mengenal caleg-caleg di dapilnya.
“Kita kan memilih langsung ke calon. Calon yang banyak dan di setiap dapil beda-beda. Informasi tentang calon itu juga harus tersedia,” ujar Hadar.
“KPU kan punya informasi tentang mereka. Punya CV dan seterusnya. Itu coba ditampilkan dengan menarik dan kita (pemilih) bisa mendapatkannya dengan tidak terlalu sulit.”
Sementara menurut Nurul, perlu ada sosialisasi mengenai metode pemberian suara yang benar oleh KPU, partai politik, masyarakat sipil, dan media demi menekan suara tak sah di Pemilu 2024.
“Perlindungan hak pilih bukan hanya soal menjamin seseorang dapat mengakses hak pilih, tetapi juga memastikan seseorang mengetahui cara memberikan suara yang benar, agar hak pilihnya itu tidak sia-sia,” kata Nurul.
Kemudian, perlu ada sosialisasi terkait suara sah dan tidak di setiap jenis pemilihan kepada petugas KPPS. Selanjutnya, menyehatkan ekosistem informasi pemilu dengan menindak disinformasi mengenai teknis pemberian suara. Nurul menuturkan, berdasarkan riset Perludem soal gangguan hak pilih di Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, ditemukan disinformasi mengenai tata cara pemberian suara.
“Jika disinformasi mengenai cara pemberian suara ini dibiarkan, tidak dilakukan moderasi konten secara cepat, maka pemilih dan KPPS bisa menjadi korban dari disinformasi tersebut, sehingga kehilangan atau menghilangkan hak pilih,” jelas dia.
Komisioner KPU Idham Holik menerangkan, kesadaran atas pentingnya nilai suara merupakan kunci partisipasi dalam konteks pemberian suara di pemilu. “Kesadaran akan signifikansi suara pemilih ini akan mendorong pada hal kedua, yaitu literasi elektoral,” ujarnya, Senin (14/8).
“Yang di mana pemilih terdorong untuk mengetahui bagaimana tata cara memberikan suara yang benar dan sah dalam pemungutan di TPS.”
Idham menambahkan, pemilih yang sudah memiliki kesadaran tersebut akan berupaya mengidentifikasi dan mencari tahu lebih jauh partai politik, caleg, dan pasangan calon presiden-wakil presiden. Hal itu disebut dengan kandidasi engagement.
“Kandidasi engagement menjadi faktor penting juga dalam mengaktivasi partisipasi pemilih dalam menggunakan hak pilihnya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Idham menerangkan, demi menekan suara tak sah di Pemilu 2024, KPU tengah menggenjot literasi elektoral pemilih. Menurut Idham, komitmen KPU tidak hanya meningkatkan kuantitas, tetapi juga kualitas partisipasi.
“Maksud kualitas partisipasi, pemilih menjadi semakin berdaulat atas pilihan politiknya,” ucap dia.
Di samping itu, Idham menegaskan, pemahaman anggota KPPS dalam penilaian surat suara sah dan tidak juga menjadi perhatian KPU. “Oleh karena itu, kami sekarang berkomitmen lebih awal menyelesaikan rancangan peraturan KPU tentang pemungutan dan penghitungan suara,” katanya.
“Dengan maksud agar memiliki waktu cukup bagi kami untuk melakukan bimtek kepada KPPS di seluruh TPS.”