Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan hukuman peringatan keras terakhir kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asy'ari, karena melanggar kode etik dan pedoman perilaku dalam menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai kontestan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Adapun enam komisioner lainnya disanksi peringatan keras.
Bagi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih, putusan DKPP itu memperkuat putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) bahwa pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres) cacat secara etika. Pun menunjukkan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 cacat integritas lantaran penyelenggara pemilu, yang mestinya bersih dari kepentingan politik praktis, "bermain api".
"Putusan DKPP sekaligus menunjukkan bahwa KPU RI selaku penyelenggara pemilu berkontribusi besar terhadap nepotisme dan politik dinasti yang dilakukan oleh Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi)," ucap Koalisi Sipil dalam keterangannya, Kamis (8/2).
"Oleh karena itu, [KPU] tidak memiliki posisi moral untuk menyelenggarakan pemilu yang bersih dan berintegritas. Terlebih, Ketua KPU, Hasyim Asy'ari, sudah berkali-kali terbukti melanggar etik," sambungnya.
Sanksi DKPP tersebut merupakan pelanggaran etik keempat Hasyim. Sebelumnya, hukuman serupa diberikan kepadanya terkait pernyataan kontroversialnya tentang sistem pemilu, pertemuannya dengan Ketua Partai Republik Satu, dan tindakannya yang tak menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA) soal kuota 30% untuk caleg perempuan.
Koalisi Sipil pun mendorong Hasyim mengundurkan diri mengingat posisinya memiliki peran strategis dalam penyelenggaraan pemilu. Sayangnya, segala tindakannya yang berimbas terhadap sanksi etik membuat lembaga yang dipimpinnya kian menjauhkan pemilu dari nilai etika, profesionalitas, dan integritas.
"Hasyim Asy'ari harus segera mundur dari jabatannya sebagai Ketua KPU RI agar tak semakin memperburuk citra lembaga dan agar publik tidak semakin hilang kepercayaan baik terhadap institusi penyelenggara pemilu maupun terhadap pelaksanaan pemilu itu sendiri," tuturnya.
Dosen hukum tata negara UPN Veteran, Wicipto Setiadi, membenarkan bahwa prinsip penyelenggaraan bernegara idealnya tidak hanya berdasarkan pada hukum positif semata, tetapi juga mengedepankan etika. Sebab, etika bukan cuma persoalan privat, melainkan kebutuhan nyata dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.
Peluang menggugat penetapan kandidat pilpres
Ia melanjutkan, adanya sanksi etik kepada 7 komisioner KPU RI terkait pencalonan Gibran membuka peluang menggugat Surat Keputusan (SK) KPU Nomor 1632 Tahun 2023 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024. Namun, akan terganjal dengan kian dekatnya waktu pemilihan, 14 Februari.
"Adanya putusan DKPP terkait pelanggaran etik Ketua KPU menjadi peluang untuk mempersoalkan Keputusan KPU tentang Penetapan Kandidat Pilpres 2024. Sayangnya, putusan DKPP itu sudah sangat terlambat karena pelaksanaan pemilu sudah tinggal beberapa hari lagi," katanya kepada Alinea.id, Rabu (7/2).
Wicipto melanjutkan, tidak ada aturan yang jelas tentang implikasi hukum jika terjadi pelanggaran etik. Namun, kemungkinan akan dikucilkan dari masyarakat dengan perolehan suara yang tipis.
"Implikasi yang sangat mungkin terjadi adalah perolehan suara dari pasangan calon yang dilahirkan karena adanya pelanggaran etik akan menjadi berkurang," jelasnya.
Pernyataan senada disampaikan Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta. Ia mengutarakan, upaya menggugat SK KPU soal kandidat Pilpres 2024 sulit dilakukan karena waktunya kian mepet.
"Namun, untuk melaporkan atau bersengketa, ada ketentuannya, termasuk batas waktu gugatan di Bawaslu dan [pengadilan] tata usaha negara. Melihat konstruksi UU, tampaknya sulit dilakukan," ujarnya kepada Alinea.id, Kamis (8/2).
Di sisi lain, ia berpandangan, sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim masih jauh dari harapan. Menurutnya, Hasyim mestinya mendapat hukuman lebih berat, yakni pergantian ketua KPU seperti putusan MKMK.
Karenanya, Kaka menganggap keputusan DKPP tersebut hanyalah formalitas agar tampak ada ketegasan di mata publik. "Saya pikir, dagelan saja putusan DKPP."